Senin, 22 Maret 2010

DILEMA UN YANG BERULANG-ULANG

KECURANGAN UN YANG BERULANG-ULANG

Lagi-lagi pelaksanaan UN yang dimulai hari ini, Senin 22 Maret 2010 menuai permasalahan. Permasalahan muncul di beberapa Provinsi di Indonesia antara lain di Medan, Denpasar, Kendari dan Bandar Lampung tentunya dengan modus operandi yang berbeda-beda.

Di Medan terjadi jual beli soal UN yang dilakukan oleh oknum Dinas Pendidikan. Soal UN yang diperjualbelikan adalah mata pelajaran Biologi, Bahasa Indonesia dan Sosiologi. Melalui joki para siswa SMA membeli soal UN seharga Rp.1.000.000,- untuk siswa SMP soal UN di jual lebih mahal yakni Rp.1.500.000,- (sumber TV One Petang) yang terdiri dari 6 eksemplar.

Lain lagi di Bandar Lampung. Kebocoran UN dilakukan melalui sms. Para siswa menerima kunci jawaban soal UN pada pagi hari sebelum pelaksanaan UN, akan tetapi keabsahan UN masih diragukan. Beredarnya sms berantai berdampak pada pecahnya konsentrasi siswa dan menambah kebimbangan.

Temuan Di Denpasar, tepatnya di SMAN 1 Karangasem terjadi kesalahan pemberian soal ujian. Seharusnya pada hari ini dilakukan ujian 2 mata pelajaran, yaitu jam pertama diujikan mata pelajaran Bahasa Indonesia dan pada jam kedua diujikan mata pelajaran biologi untuk IPA dan sosiologi untuk IPS. Yang terjadi malah mereka mendapatkan soal Bahasa Inggris. Tentunya paniklah para siswa yang telah menerima soal tersebut. Akhirnya para pengawas memfoto kopi soal UN bahasa Indonesia dari amplop cadangan dan siswa diberikan tambahan waktu 25 menit untuk menyelesaikan soal. Mengenai tertukarnya amplop antara soal paket A dengan soal paket B pun kerap terjadi, karena dalam pelaksanaan UN tahun ini menggunakan sistem paket soal silang untuk meminimalisir kecurangan, tetapi yang terjadi malah sebaliknya, terjadi kecerobohan, yah…salah satunya tertukar…..bukannya memberikan solusi, malah memperbesar kesalahan.

Lain lagi di Kendari, Sulawesi Tenggara. Modus operandi para “oknum” untuk meraup untung dari para siswa yakni dengan sengaja memperjualbelikan soal UN palsu. Soal tersebut diperjualbelikan dengan harga Rp.500.000 – Rp.6.000.000,-. Ternyata banyak pihak yang mengambil keuntungan di tengah-tengah keresahan para siswa. Himbauan untuk para oknum, BERHENTILAH MENCIDERAI PELAKSANAAN UN yang sudah menghabiskan dana trilyunan rupiah ini…ibarat pepatah….”gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga…”!!!

Minggu, 21 Maret 2010

BUKU SEKOLAH ELEKTRONIK (BSE)

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN

BUKU SEKOLAH ELEKTRONIK

Buku merupakan salah satu sarana penting dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Ada pepatah mengatakan bahwa buku merupakan jendela dunia, ini menyiratkan bahwa betapa pentingnya keberadaan buku dalam mencerdaskan anak bangsa. Kebijakan mengenai pemanfaatan buku khususnya buku-buku pelajaran telah beberapa kali dilakukan oleh pemerintah, yang salah satunya yaitu pergantian buku teks pelajaran dapat dipergunakan selama lima tahun, setelah itu dapat dilakukan revisi dan pembaharuan sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi kebijakan ini ternyata tak berjalan lancar, masih terdapat segelintir ’oknum’ yang memanfaatkan kedudukannya untuk mengkomersilkan buku bagi para siswa, tak pelak yang menjadi sasaran utama adalah para orang tua siswa yang cukup dipusingkan dengan keharusan membeli buku atau lembar kerja siswa (LKS) yang telah ditentukan oleh sekolah pada tiap semesternya.

Seiring berjalannya waktu, meski telah diberlakukannya otonomi daerah permasalahan perbukuan masih menjadi salah satu isu pendidikan, terutama menyangkut ketersediaan buku yang memenuhi standar nasional pendidikan dengan harga murah yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Ditambah krisis ekonomi global yang sedikit banyaknya berdampak pada daya beli masyarakat. Ini menjadi dilema bagi orang tua siswa, di satu sisi mereka tentu ingin anak-anak mereka mendapat layanan pendidikan yang layak dan terbaik, akan tetapi di sisi lain biaya sekolahpun turut melambung, termasuk biaya pembelian buku.

Melihat kondisi tersebut, maka pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional sepertinya mencoba membuat kebijakan baru guna memberikan solusi terhadap masalah perbukuan yakni dengan meluncurkan Buku Sekolah Elektronik (BSE) pada tanggal 20 Agustus 2008. Pemerintah telah membeli hak cipta buku teks pelajaran langsung dari penulis dan menyebarluaskan buku melalui internet. Guru, murid/orang tua murid, dan kepala sekolah diperbolehkan mengunduh, mencetak dan juga memperjualbelikan buku dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah. Tujuan diluncurkannya BSE tak lain adalah dapat menyediakan sumber belajar alternatif bagi siswa, dapat merangsang siswa untuk berpikir kreatif dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi, memberi peluang kebebasan untuk menggandakan, mencetak,memfotocopy, mengalihmediakan, dan/atau memperdagangkan BSE tanpa prosedur perijinan, dan bebas biaya royalti, dan memberi peluang bisnis bagi siapa saja untuk menggandakan dan memperdagangkan dengan proyeksi keuntungan 15% sesuai dengan ketentuan yang diberlakukan Menteri.

Karena BSE ini berupa e-book, maka untuk mendapatkan filenya diperlukan komputer yang terkoneksi internet, yakni dengan mengakses salah satu dari beberapa situs yang disediakan, diantaranya: http://www.bse.depdiknas.go.id, www.depdiknas.go.id, www.pusbuk.or.id, atau www.sibi.or.id. Setelah mendapat filenya, masyarakat diberi kebebasan untuk meng-copy, mencetak, menggandakan, mengalihmediakan bahkan sampai dengan memperdagangkannya. Buku yang diterbitkan secara online tersebut, menurut Mendiknas, merupakan buku-buku yang telah dibeli hak ciptanya oleh Depdiknas yang telah dinilai kelayakannya oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Ternyata kebijakan inipun tak serta merta memberikan solusi, bahkan dapat dikatakan berekses pada timbulnya permasalahan baru. beberapa masalah yang ditemui, yaitu: (1) Jangankan memiliki fasilitas internet, perangkat komputerpun bagi sebagian sekolah di tanah air mungkin belum terakomodasi sehingga biaya yang harus dikeluarkan untuk mendownload hingga tahap pencetakan bisa jadi lebih mahal; (2) cara mendownload kurang praktis dan efektif karena file yang disediakan masih per bab, tidak satu buku utuh, sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengunduh satu buku saja; (3) kondisi file-file yang mau diunduh masih campur aduk, tidak sistematis walaupun sudah dipisahkan per jenjang; (4) besarnya file yang mau diunduh, sehingga perlu dilakukan kompresi dan terkadang jika banyak yang mengakses pada saat yang bersamaan butuh waktu yang cukup lama untuk dapat mendownload 1 file saja; (5) buku yang disediakan belum memadai/mengakomodasi semua kebutuhan sekolah; (6) masih banyak sekolah dan orang tua siswa yang belum terbiasa dengan internet sehingga sulit bagi mereka untuk mendownload sendiri, ini berdampak pada tidak semua sekolah dapat merasakan manfaat BSE, dapat dikatakan hanya sebagian kecil saja yang mampu secara mudah mendownload, mencetak serta mendistribusikannya kepada para siswa; (7) tidak semua pihak setuju dengan kebijakan ini, terutama para penerbit buku, karena sejak diluncurkannya BSE melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 2008 para penerbit buku dilarang menjual buku ke sekolah-sekolah. Untuk memenuhi kebutuhan buku di sekolah, diambil alih oleh pemerintah dengan membeli langsung hak cipta buku dari penulis dan menyebarluaskan buku melalui internet. Guru, murid, dan kepala sekolah dibolehkan mengunduh buku, mencetak dan juga memperjualbelikan buku dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah. Dampak yang sangat terasa ada pada karyawan yang berada di bagian marketing, karena marketing untuk buku pelajaran tidak dibutuhkan lagi, maka banyak karyawan yang dipecat, terhitung hingga Mei 2009 ada 7000-an karyawan yang ‘dirumahkan’. sungguh ironis!

Melihat kondisi seperti ini, sangat disayangkan apabila uang negara yang dipakai untuk membayar royalti kepada setiap penulis Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas dan hanya terbuang sia-sia. Agar masalah ini tidak berlarut-larut tentu perlu ada perbaikan yang segera harus dilakukan, agar kebijakan yang terlanjur digulirkan ini dapat berjalan sesuai on the track. Pertama, untuk masalah ketersediaan perangkat komputer dan akses internet, Departemen Pendidikan Nasional hendaknya memberikan fasilitas komputer pada tiap sekolah dan membuatkan jaringan internet dengan akses cepat untuk mempermudah pengunduhan buku-buku pelajaran. Kedua, Karena BSE ini dapat di download bahkan diperjualbelikan kepada siapapun, maka perlu adanya sosialisasi yang lebih kontinyu kepada para pihak yang berkepentingan, terutama kepada pihak sekolah dan para orang tua siswa, karena kemungkinan besar orang tua siswa yang memiliki akses internet dapat membantu sekolah dalam mendownload dan bahkan mencetak/mengcopynya untuk siswa yang lain. Ketiga, seyogyanya kebijakan ini didukung oleh semua pihak, dalam arti tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan, maka Departemen Pendidikan Nasional hendaknya dapat melakukan dialog dengan pihak-pihak yang merasa dirugikan dalam hal ini para penerbit agar ditemui win-win solution dengan tidak mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Jika dimungkinkan, para penerbit diperbolehkan untuk menjual CD atau bahkan buku cetaknya asalkan dengan harga sesuaikan peraturan pemerintah.

Pada akhirnya, semua kembali kepada sekolah karena pemerintah tidak mungkin dapat mengontrol peredaran buku setiap saat. sehingga kemungkinan adanya ‘penyelewengan’ perdagangan buku ilegal dengan harga melebihi batas minimum yang dipersyaratkan pemerintah besar sekali dapat terjadi. Maka dari itu disinilah orang tua berperan sebagai pengontrol dan peran itu hanya bisa dilakukan jika orang tua memiliki pemahaman penuh tentang BSE.