Sabtu, 21 Januari 2012

Pendidikan yang selalu menjadi topik hangat

Pendidikan akan selalu dan senantiasa menjadi topik hangat yang tidak berkesudahan. Seperti layaknya ombak, pasang surut (inovasi dan stagnasi) dalam dunia pendidikan takkan terlekakkan lagi. Dari zaman ke zaman permasalahan pendidikan selalu muncul dan tak habis-habisnya diperbincangkan. Hal ini disebabkan pendidikan sudah menjadi semacam kebutuhan pokok bagi tiap individu, minimal sejak orang tua memasukkan anak-anaknya ke taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Tak urung ini akan bersentuhan dengan sebanyak penduduk di Indonesia yang memiliki anak. Karena menyangkut banyak kepala tak pelak lagi setiap kebijakan pendidikan yang digulirkan selalu menimbulkan kontroversi, terlebih apabila kebijakan tersebut tidak pro pada kepentingan umum.

Beberapa kebijakan yang sudah di gulirkan, akan tetapi terkendala dalam pelaksanaannya sehingga mengalami stagnasi, diantaranya adalah: Pelaksanaan Ujian Nasional (UN), Penerapan Manajemen Berbasis sekolah (MBS), Penggunaan Buku Sekolah Elektronik (BSE), dan Penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) .

Ujian nasional sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik dan sejak diberlakukannya tahun 50-an Ujian Nasional memang sudah menimbulkan kontroversi di masyarakat. Pada periode 1950-an akhir penyelenggaraan UN dilakukan dengan essay. Selanjutnya pada tahun 1972-1979 setiap sekolah menyelenggarakan ujian masing-masing dan pemerintah hanya menyusun pedomannya saja. Pada tahun 1980-an sampai dengan tahun 2001 diadakan EBTANAS yang memuat mata pelajaran pokok saja dan siswa dianggap lulus jika minimal mencapai nilai rata-rata 6,00. Pada tahun 2003 dilaksanakanlah UAN dengan nilai minimal 3,00 dengan mata pelajaran yang diujikan terdiri dari: bahasa Indonesia, bahasa inggris dan matematika. Pada tahun 2004 terjadi banyak penolakan, namun UN tetap berjalan dengan nilai minimum kelulusan 4,0. Pada tahun 2005 sampai dengan sekarang UN tetap dilaksanakan dengan nilai minimum yang terus naik. Apalagi UN tahun 2011 batas kelulusan siswa harus mencapai nilai rata-rata minimal 5,5 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimum 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya dan khusus SMK nilai mata pelajaran praktik kejuruan minimal 7,00. Sungguh menyiksa siswa.di tambah lagi muatan mata pelajaran yang diujikan bertambah dari yang hanya 3 mata pelajaran menjadi 6 mata pelajaran untuk SMA IPA (matematika, bahasa Indonesia, bahasa inggris, fisika, kimia biologi). Untuk SMA IPS mencakup 6 mata pelajaran (matematika, bahasa Indonesia, bahasa inggris, ekonomi, sosiologi, geografi. Untuk SMA Bahasa mencakup 6 mata pelajaran (matematika, bahasa Indonesia, bahasa inggris, sastra Indonesia, sejarah/antropologi, dan bahasa asing pilihan). Untuk SMK memuat 3 mata pelajaran (matematika, bahasa Indonesia, bahasa inggris, ditambah teori kejuruan yang dilaksanakan sebelum UN). Untuk SMP memuat 4 mata pelajaran (matematika, bahasa Indonesia, bahasa inggris, dan IPA) dan untuk SD diadakan pula UASBN yang memuat 3 mata pelajaran (matematika, bahasa Indonesia, bahasa inggris).

Seiring berjalannya kebijakan tentang ujian nasional terus-menerus memunculkan kontroversi di berbagai kalangan. Bahkan hingga tahun 2012, perguruan-perguruan tinggi ternama (salah satunya Universitas Gajah Mada) belum setuju apabila nilai hasil ujian nasional digunakan sebagai saringan masuk calon mahasiswa ke universitas negeri. Ini sebagai salah satu indikator bahwa kredibilitas pelaksanaan UN masih diragukan oleh kalangan perguruan tinggi, tentunya mereka memiliki argumentasi yang jelas mengapa menolak hasil UN untuk saringan masuk perguruan tinggi, yang salah satunya di lihat dari temuan-temuan di lapangan bahwa dalam pelaksanaannya, UN masih kental dengan berbagai modus kecurangan dan ketidakjujuran sekalipun ada tim pengawas independen (TPI) dari perguruan tinggi. Selain itu mayoritas sekolah juga belum memenuhi 8 standar minimum yang harus dipenuhi sesuai PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Akhirnya penyelenggaraan UN tidak berjalan optimal.

Maka dari itu sebaiknya pemerintah segera mengubah arah kebijakan UN, di mana UN hanya sebagai pemetaan mutu pendidikan, hasil UN dapat digunakan sebagai acuan untuk seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya, untuk melakukan pembinaan dan pemberian bantuan kepada sekolah,

Selanjutnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang dapat dikatakan stagnan. Meskipun sudah diterapkan sejak tahun 1999/2000 tetapi belum sepenuhnya sekolah menerapkan konsep MBS secara total (masih parsial). Sekolah yang menerapkan MBS secara total memiliki karakteristik sebagai berikut:

1

Dari sub-ordinasi menuju otonomi

:

sekolah memiliki otonomi (kemandirian) untuk berbuat yang terbaik bagi sekolahnya

2

Dari pengambilan keputusan terpusat menuju pengambilan keputusan partisipatif

:

melibatkan warga sekolah, yang selain cepat hasilnya, juga sesuai hasilnya dengan kebutuhan sekolah

3

Dari ruang gerak kaku menuju ruang gerak luwes

:

ruang gerak sekolah sangat luwes karena apa yang selama ini dilakukan oleh Pusat, Wilayah, dan Kandep, sebagian besar kini diserahkan ke sekolah

4

Dari pendekatan birokrasi menuju pendekatan profesionalisme

:

apa yang dilakukan oleh sekolah didasarkan atas profesionalisme

5

Dari manajemen sentralistik menuju manajemen desentralistik

:

banyak kewenangan Pusat, Wilayah, dan Daerah yang diserahkan ke sekolah

6

Dari kebiasaan diatur menuju kebiasaan motivasi diri

:

motivasi diri (dorongan internal)

7

Dari over regulasi menuju deregulasi

:

mampu menumbuhkan daya kreativitas dan prakarsa sekolah, dan membuat sekolah sebagai pusat perubahan. Deregulasi juga mampu memberikan kelenturan sekolah dalam mengelola sekolahnya

8

Dari mengontrol menuju mempengaruhi

:

lebih menekankan pada "mempengaruhi"

9

Dari mengarahkan menuju memfasilitasi

:

lebih menekankan pada pemberian "fasilitasi"

10

Dari menghindari resiko menuju mengolah resiko

:

lebih menekankan untuk "menghindari resiko",

11

menghabiskan semua anggaran menuju menggunakan anggaran seefisien mungkin

:

gunakan uang secukupnya

12

Dari individu yang cerdas menuju "Teamwork" yang kompak dan cerdas.

:

disadarkan bahwa hanya melalui "teamwork" yang kompak dan cerdaslah yang akan mampu meningkatkan kinerja sekolah

13

Dari informasi terpribadi menuju informasi terbagi

:

informasi harus tersebar/terbagi secara merata keseluruh warga sekolah

14

Dari pendelegasian menuju pemberdayaan

:

Pusat, Wilayah, dan Daerah harus memberdayakan sekolah, yaitu melalui penyerahan tugas dan fungsi, tanggungjawab, hak dan kewajiban, yang disertai kewenangan untuk mengambil keputusan

15

Dari organisasi hirarkis menuju organisasi datar

:

organisasi sekolah harus dibuat lebih datar agar lebih responsif dan antisipatif, tidak saja terhadap isu-isu strategis/kritis yang dihadapi oleh sekolah, bahkan terhadap perubahan-perubahan sosial

Akan tetapi kenyataan di lapangan, tidak semua konsep ideal MBS dapat diterapkan, terlebih bagi sekolah negeri. Misalnya saja dalam melakukan pengelolaan ketenagaan (pengangkatan dan pemberhentian). Guru-guru yang mengajar di sekolah negeri merupakan guru-guru PNS yang ditempatkan oleh dinas pendidikan kab/kota, sehingga dalam hal ini kepala sekolah tidak memiliki wewenang menseleksi guru yang sesuai dengan kebutuhan sekolah. Begitupun dalam hal pemberhentian guru, Dinas Pendidikan Kab/Kota yang memiliki kewenangan untuk memberhentikan mereka. Selain itu dalam pengadaan sarana dan prasarana sekolah, misalnya saja bantuan alat-alat pendidikan (alat olahraga, alat TIK, alat kesenian, alat MTK, alat IPS, dan alat IPA). Kemendikbud tidak secara langsung memberikan bantuan itu ke sekolah, tetapi melalui dinas pendidikan kab/kota, sehingga yang terjadi adalah alat-alat pendidikan yang dikirim ke sekolah tidak sesuai dengan kebutuhan riil sekolah dan akhirnya alat-alat tersebut tidak terpakai dan hanya menjadi konsumsi pribadi.

Berikutnya adalah Penggunaan Buku Sekolah Elektronik (BSE) yang kurang optimal sejak diluncurkannya pada 20 Agustus 2008. Karena BSE ini berupa e-book, maka untuk mendapatkan filenya diperlukan komputer yang terkoneksi internet, yakni dengan mengakses salah satu dari beberapa situs yang disediakan, diantaranya:http://www.bse.depdiknas.go.id,www.depdiknas.go.id,www.pusbuk.or.id, atau www.sibi.or.id. Akan tetapi beberapa masalah ditemui, yaitu: (1) Jangankan memiliki fasilitas internet, perangkat komputerpun bagi sebagian sekolah di tanah air mungkin belum terakomodasi sehingga biaya yang harus dikeluarkan untuk mendownload hingga tahap pencetakan bisa jadi lebih mahal; (2) buku yang disediakan belum memadai/mengakomodasi semua kebutuhan sekolah; (3) masih banyak sekolah dan orang tua siswa yang belum terbiasa dengan internet sehingga sulit bagi mereka untuk mendownload sendiri, ini berdampak pada tidak semua sekolah dapat merasakan manfaat BSE, dapat dikatakan hanya sebagian kecil saja yang mampu secara mudah mendownload, mencetak serta mendistribusikannya kepada para siswa; (4) tidak semua pihak setuju dengan kebijakan ini, terutama para penerbit buku, karena sejak diluncurkannya BSE melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 2008 para penerbit buku dilarang menjual buku ke sekolah-sekolah. Untuk memenuhi kebutuhan buku di sekolah, diambil alih oleh pemerintah dengan membeli langsung hak cipta buku dari penulis dan menyebarluaskan buku melalui internet. Guru, murid, dan kepala sekolah dibolehkan mengunduh buku, mencetak dan juga memperjualbelikan buku dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah.

Melihat kondisi seperti ini, sangat disayangkan apabila uang negara yang dipakai untuk membayar royalti kepada setiap penulis Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas dan hanya terbuang sia-sia. Agar masalah ini tidak berlarut-larut tentu perlu ada perbaikan yang segera harus dilakukan, agar kebijakan yang terlanjur digulirkan ini dapat berjalan sesuai on the track. Terutama dalam hal ketersediaan perangkat komputer dan akses internet, Departemen Pendidikan kebudayaan hendaknya memberikan fasilitas komputer pada tiap sekolah dan membuatkan jaringan internet dengan akses cepat untuk mempermudah pengunduhan buku-buku pelajaran.

Penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan SBI tak luput dari kontroversi di kalangan masyarakat. Hal yang paling menimbulkan kontroversi adalah RSBI dan SBI identik dengan biaya mahal. Sehingga hanya siswa-siswa yang mampu saja yang dapat bersekolah di RSBI dan SBI. Meskipun sebenarnya pemerintah melalui Permendiknas No. 78 tahun 2009 BAB III pasal 16 telah mengamanahkan bahwa sekolah wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% dari jumlah seluruh peserta didik. Tetapi kenyataan di lapangan, jauh panggang dari api. Permasalahan lain yang ditemukan di lapangan terkait penyelenggaraan RSBI dan SBI antara lain:


Ø Potensi terjadi Sistem Pendidikan yang Bersifat Diskriminatif dan Eksklusif.

Penyelenggaraan RSBI dan SBI akan melahirkan konsep pendidikan yang diskriminatif (hanya diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kemampuan/kecerdasan unggul) dan ekslusif (pendidikan bagi anak orang kaya).

Ø Konsep SNP+X kurang jelas

Dalam kurikulum RSBI dan SBI ada rumus SNP + X. Artinya Standar Nasional Pendidikan ditambah atau diperkaya/ dikembangkan/ diperluas/ diperdalam dengan standar internasional dari salah satu anggota OECD atau lembaga tes/sertifikasi internsional. Faktor X dalam rumus di atas tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas. Sebab, konsep ini tidak menjelaskan lembaga/negara tertentu yang harus diadaptasi/diadopsi standarnya, dan faktor apa saja yang harus ditambah/ diperkaya/ dikembangkan/ diperluas/diperdalam? Apakah sistem pembelajaran bahasanya, teknologinya, ekonominya, dan lain-lain. Sehingga mungkin ini merupakan strategi agar target yang hendak dikejar menjadi longgar dan sulit untuk diukur.

Ø Potensi terjadi komersialisasi pendidikan

Lahirnya RSBI dan SBI bisa membawa dampak komersialisasi pendidikan kepada para pelanggan jasa pendidikan, contohnya bagi siswa atau orang tua. Indikasi ini terlihat ketika sekolah RSBI dan SBI menarik puluhan juta kepada siswa baru yang ingin masuk sekolah. Hal ini dilakukan dengan dalih bahwa sekolah tersebut bertaraf internasional, dilengkapi dengan sistem pembelajaran yang mengacu pada negara anggota OECD, menggunakan teknologi informasi canggih, bilingual, dan lain-lain.

Ø Tujuan pendidikan yang misleading

Selama ini siswa RSBI dan SBI dihadapkan pada 2 kiblat ujian, yakni UN dan Cambridge misalnya. Beberapa sekolah nasional plus yang selama ini dirancang untuk mengikuti dua kiblat tersebut mengakui bahwa sangat sulit mereka untuk mengikuti dua kiblat sekaligus. Jika yang hendak dituju adalah peningkatan kualitas pembelajaran dan output pendidikan, maka mengadopsi atau berkiblat pada sistem ujian Cambridge ataupun IB bukanlah jawabannya. Bahkan, sebenarnya menggerakkan semua potensi terbaik pendidikan di Indonesia untuk berkiblat ke sistem Cambridge adalah sebuah pengkhianatan terhadap tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Di negara-negara maju seperti Singapura, Australia dan New Zealand, pemerintah tidak membiarkan sistem pendidikan luar ataupun internasional macam Cambridge ataupun IB masuk dan digunakan dalam kurikulum sekolah mereka. Hanya sekolah yang benar-benar berstatus International School dengan siswa asing saja yang boleh mengadopsi sistem pendidikan lain.

Ø Konsep RSBI dan SBI cenderung lebih menekankan pada alat daripada proses.

Indikasi ini nampak ketika penyelenggaraan RSBI dan SBI lebih mementingkan alat/media pembelajaran yang canggih, bilingual sebagai medium of instruction, berstandar internasional, daripada proses penanaman nilai pada peserta didik. Kesalahan asumsi tentang penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL.

Ø Kebijakan RSBI dan SBI bertolak belakang dengan otonomi sekolah dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Bergulirnya otonomi sekolah melahirkan sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Sebenarnya MBS digunakan sebagai legitimasi untuk menentukan kebijakan sistem pembelajaran di sekolah. Sekolah memiliki kemerdekaan untuk menentukan kebijakan yang diambil, termasuk kemerdekaan guru dan siswa untuk menentukan sistem pembelajarannya. Sedangkan dalam RSBI dan SBI, sekolah masih dibelenggu dengan sistem pembelajaran dari negara lain.

Dengan melihat permasalahan di atas tentunya perlu dilakukan inovasi pendidikan agar pendidikan Indonesia menjadi lebih bermutu.

FIVE MINDS FOR THE FUTURE

ANALISIS BUKU “FIVE MINDS FOR THE FUTURE

Howard Gardner dalam bukunya yang bertajuk Five Minds for the Future menyimpulkan adanya lima jenis pola pikir yang akan memiliki peran penting dalam perjalanan sejarah masa depan. Lima pola pikir tersebut adalah:

I. THE DISCIPLINE MINDKerangka Dasar atau Kerangka Utama Kecerdasan/ Pemikiran

Pola pikir yang pertama adalah the disciplined mind (pikiran terdisiplin) atau suatu perilaku kognisi yang mencirikan disiplin ilmu, ketrampilan, atau profesi tertentu. Seseorang harus memiliki paling tidak satu disiplin ilmu atau kerangka berpikir yang sangat dikuasai untuk memecahkan masalah di segala hal. Discipline Mind juga berarti seseorang harus selalu melatih keahliannya tersebut untuk meningkatkan performansinya.

Pola pikir disciplined mind sesungguhnya sudah terlebih dahulu menjadi sorotan dan titik pijak dalam filsafat sepanjang masa, sejak filsafat kuno hingga filsafat modern dan post modern. Sebagaimana ciri khas filsafat adalah membangun pemikiran secara kritis-analitis, sistematis, totalitas dan komprehensif – yang merupakan ciri khas disciplined mind – demikian pun filsafat mendorong setiap ilmu apapun untuk memiliki ciri khas yang demikian. Ciri ini pun pada tataran selanjutnya harus dimiliki oleh setiap orang yang menggeluti ilmu tertentu. Menurut filsuf Karl Pearson, pikiran adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dan diungkapkan dengan istilah sederhana. Setiap orang yang menekuni disiplin ilmu tertentu harus mampu menguasai secara komprehensif dan selanjutnya diungkapkan secara tepat dalam praksis hidup.

Seorang praktisi yang menekuni dunia bisnis dan manajemen misalnya, setidaknya mesti menguasai ilmu dan ketrampilan yang solid dalam bidang tersebut. Demikian pula, semua profesional lainnya – entah arsitek, ahli komputer, perancang grafis – harus menguasai jenis-jenis pengetahuan dan ketrampilan kunci yang membuat mereka layak menjadi bagian dari profesi mereka masing-masing. Keahlian itu sendiri tidak bisa dicapai dalam waktu singkat, butuh waktu. Namun seiring peningkatan dan penambahan area keahlian seseorang maka pemecahan masalah pun bisa lebih terarah dan lebih mudah jika menerapkan discipline mind tersebut karena dilandasi oleh kerangka berpikir yang tepat dan keahlian yang mumpuni.

Esensi dari pola pikir yang pertama ini adalah : untuk benar-benar menjadi manusia yang profesional, kita seharusnya menguasai secara tuntas, komprehensif, mendalam dan terdisiplin satu bidang pengetahuan/ketrampilan tertentu.

II. THE SYNTHESIZING MINDMensinergikan Ide dan Pemikiran dari Disiplin Ilmu Yang Berbeda

Pola pikir yang kedua adalah : the synthesizing mind (pikiran mensintesa) atau juga pola untuk menyerap informasi dari beragam sumber, memahami, mensintesakannya, dan lalu meraciknya menjadi satu pengetahuan baru yang powerfull.

Pola pikir ini juga merupakan salah satu ciri khas filsafat. Filsafat selalu menekankan kemampuan pikiran untuk mensintesiskan pengetahuan. Filsuf Immanuel Kant dalam karya utamanya yang terkenal terbit tahun 1781 yang berjudul Kritik der reinen vernunft (Ing. Critique of Pure Reason), memberi arah baru mengenai pengetahuan. Menurutnya, pengetahuan yang dimiliki manusia merupakan hasil sintesis antara yang apriori (yang sudah ada dalam kesadaran dan pikiran manusia) dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman. Bagi Kant yang terpenting bagaimana pikiran manusia mamahami dan menafsirkan apa yang direkam secara empirikal, bukan bagaimana kenyataan itu tampil sebagai benda itu sendiri.

Seseorang harus mampu menggabungkan berbagai pola pemikiran dan disiplin ilmu agar dapat mengumpulkan informasi dan pengetahuan seluasnya dari berbagai macam sumber serta melahirkan berbagai macam ide dan ilmu pengetahuan baru yang bermanfaat. Oleh karenanya seseorang dituntut untuk dapat mensinergikan berbagai macam disiplin ilmu, pengetahuan, serta kerangka berpikir. Kemampuan untuk mensinergikan tersebut sangatlah vital untuk masa sekarang dan masa depan karena merupakan keahlian dasar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang inovatif.

III. THE CREATING MINDMembuka Tabir dan Memecahkan Masalah Melalui Kreativitas dan Ide Inovatif

Pola pikir yang ketiga adalah the creating mind (pikiran mencipta). Pikiran ini mengharuskan kita untuk senantiasa merekahkan ide-ide baru, membentangkan pertanyaan-pertanyaan tak terduga, menghamparkan cara-cara berpikir baru, dan sekaligus memunculkan unexpected answers. Pola pikir inilah yang akan membawa kita masuk dalam wilayah-wilayah baru yang menjanjikan harapan dan peluang untuk direngkuh dan dimanfaatkan. Pola pikir inilah yang akan membuat kita mampu berpikir secara lateral dan bukan sekedar berpikir linear mengikuti jalur konvensional yang acap hanya akan membuat kita stagnan. Dan pola pikir inilah yang akan menemani kita untuk bergerak maju, progresif, demi terciptanya sejarah hidup yang positif dan bermakna (meaningful life).

Dalam filsafat, pola pikir kreatif merupakan hal penting yang menuntut setiap orang untuk melihat ilmu atau pun pandangan apa saja sebagai sesuatu yang selalu terbuka untuk disempurnakan. Kreativitas dalam berpikir mendorong setiap orang untuk selalu mencoba, menguji, dan mencari jawaban yang paling sempurna tentang sesuatu. Radhakrishnan dalam bukunya, History of Philosophy, menyebutkan tugas filsafat bukanlah sekadar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan pikiran dan keyakinan kepada kita untuk menompang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang menjadikan penggolongan-penggolongan berdasarkan 'nation', ras, dan keyakinan keagamaan mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan.

Di dalam pola pikir ini, seseorang dituntut harus memiliki kreativitas berpikir. Kreativitas tersebut digunakan untuk membantu pemecahan masalah di luar cara yang sudah ditentukan sebagai alternatif pemecahan masalah juga kemampuan membuat terobosan baru. Kreativitas disini juga adalah suatu kemampuan menciptakan sesuatu yang tidak bisa diidentifikasi komponennya. Kreativitas tidak terbatas dan tidak dapat dibatasi sehingga diharapakan para pemimpin sangat mengerti akan kunci kreativitas berpikir tersebut sehingga dapat respek akan ide-ide kreatif, membuka ruang dan kesempatan serta menciptakan atmosfer yang mendukung.

IV. THE RESPECTFUL MIND Penghargaan Perbedaan Dengan Orang Lain

Pola pikir berikutnya adalah the respectful mind (pikiran merespek) atau sebuah pola pikir untuk menerima perbedaan pandangan dengan sikap terbuka, dan bukan dengan sikap saling curiga. Sebuah pola pikir yang akan membuat kita terhindar dari anarki akibat pemaksaan kepentingan. Sebuah pola pikir yang senantiasa mengajak kita untuk merayakan keragaman pandangan dan sekaligus menghadirkan empati bagi pendapat/pikiran orang lain – meski pendapat itu mungkin berbeda dengan yang kita hadirkan.

Filsafat yang autentik sangat respek terhadap perbedaan pandangan, ide, gagasan, atau pemikiran. Filsafat tidak pernah merasa “puas” atau “sempurna” dengan apa yang telah dicapai, tetapi senantiasa melihat sisi-sisi lain dari berbagai pandangan yang ada untuk mendapatkan suatu kebenaran universal. Di dalam filsafat, tidak ada diskriminasi pandangan. Yang ada adalah penghargaan atas perbedaan dan membangun sikap dialog yang kritis untuk menemukan dan menyepakati kebenaran yang dapat diterima umum. Sebagai contoh ketika berhadapan dengan pertentangan epistemologik pengetahuan antara kaum rasionalisme versus kaum empirisme, Immanuel Kant berupaya “mendamaikan” pertentangan itu. Pada dasarnya Kant tidak mengingkari kebenaran pengetahuan yang dikemukakan baik oleh kaum rasionalisme maupun empirisme. Menurutnya, kesalahan terjadi bila masing-masing pihak mengklaim secara ekstrem pendapatnya dan menolak pendapat yang lain.

Seseorang yang memiliki the respectful mind dapat menerima dan menghargai pendapat dan perbedaan dengan orang lain, agar dapat bekerja sama, dan mampu menciptakan suasana keterbukaan dan hubungan timbal-balik serta tenggang rasa dan toleransi.

Sangat penting untuk ditanamkan pemikiran bahwa hak dan kewajiban serta kemauan seseorang itu terbatas oleh hak, kewajiban, dan kemauan orang lain. Sehingga apabila pemikiran itu bisa diterapkan maka setiap orang sudah memiliki the respectful mind yang diharapkan.

Pekerjaan yang dilakukan dalam tim pun dapat secara langsung atau tidak langsung membangun the respectful mind orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dan bukan tidak mungkin kekuatan kerja dari tim tersebut bisa berkurang atau hilang sehingga gagal jika tidak memiliki the respectful mind yang tinggi.

V. THE ETHICAL MINDBerpikir untuk orang lain demi kepentingan bersama

Pola pikir yang kelima yang juga amat dibutuhkan adalah the ethical mind (pikiran etis). Inilah pola pikir yang terus mendorong kita untuk berikhtiar membangun kemuliaan dan keluhuran dalam kehidupan personal dan profesional kita. The ethical mind adalah kemampuan/kecerdasan seseorang untuk berpikir di luar keinginan pribadi dan di luar kemampuan diri yang telah dimiliki.

Filsafat mengartikan pikiran etis atau berpikir etis sebagai kegiatan berpikir dengan budi yang baik dan diterapkan dalam kehidupan setiap hari. Menurut Plato, berpikir etis adalah kegiatan manusia untuk mencapai budi atau pengetahuan yang baik. Dengan pengetahuan yang baik, manusia berupaya mencapai kebahagiaan hidup sebagai nilai yang dituju setiap manusia.

Sebenarnya the ethical mind ini sangat erat hubungannya dengan the respectful mind dan the synthesizing mind, serta the creating mind. Seperti dasar pemikiran the respectful mind bahwa hak, kewajiban, serta kemauan seseorang terbatas oleh hal yang sama dari orang lain, maka the ethical mind pun seperti itu sehingga dia sangat tahu di mana menempatkan diri dan bersikap serta apa yang boleh dan dapat diperbuatnya.

Seseorang yang memiliki the ethical mind itu tentu sangatlah cerdas karena dia harus dapat respek ke lingkungan sekitar sehingga dengan kemampuannya dapat bekerjasama dan mensinergikan berbagai pengetahuan dipadu dengan the creating mind yang dimiliki. Dia juga sangat tahu bagaimana caranya menerapkan segala pemikirannya pada lingkungannya di mana hal ini dimungkinkan karena dia memiliki pengetahuan di luar kemampuan yang sudah dimiliki sendiri tersebut.