Pendidikan akan selalu dan senantiasa menjadi topik hangat yang tidak berkesudahan. Seperti layaknya ombak, pasang surut (inovasi dan stagnasi) dalam dunia pendidikan takkan terlekakkan lagi. Dari zaman ke zaman permasalahan pendidikan selalu muncul dan tak habis-habisnya diperbincangkan. Hal ini disebabkan pendidikan sudah menjadi semacam kebutuhan pokok bagi tiap individu, minimal sejak orang tua memasukkan anak-anaknya ke taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Tak urung ini akan bersentuhan dengan sebanyak penduduk di Indonesia yang memiliki anak. Karena menyangkut banyak kepala tak pelak lagi setiap kebijakan pendidikan yang digulirkan selalu menimbulkan kontroversi, terlebih apabila kebijakan tersebut tidak pro pada kepentingan umum.
Beberapa kebijakan yang sudah di gulirkan, akan tetapi terkendala dalam pelaksanaannya sehingga mengalami stagnasi, diantaranya adalah: Pelaksanaan Ujian Nasional (UN), Penerapan Manajemen Berbasis sekolah (MBS), Penggunaan Buku Sekolah Elektronik (BSE), dan Penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) .
Ujian nasional sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik dan sejak diberlakukannya tahun 50-an Ujian Nasional memang sudah menimbulkan kontroversi di masyarakat. Pada periode 1950-an akhir penyelenggaraan UN dilakukan dengan essay. Selanjutnya pada tahun 1972-1979 setiap sekolah menyelenggarakan ujian masing-masing dan pemerintah hanya menyusun pedomannya saja. Pada tahun 1980-an sampai dengan tahun 2001 diadakan EBTANAS yang memuat mata pelajaran pokok saja dan siswa dianggap lulus jika minimal mencapai nilai rata-rata 6,00. Pada tahun 2003 dilaksanakanlah UAN dengan nilai minimal 3,00 dengan mata pelajaran yang diujikan terdiri dari: bahasa Indonesia, bahasa inggris dan matematika. Pada tahun 2004 terjadi banyak penolakan, namun UN tetap berjalan dengan nilai minimum kelulusan 4,0. Pada tahun 2005 sampai dengan sekarang UN tetap dilaksanakan dengan nilai minimum yang terus naik. Apalagi UN tahun 2011 batas kelulusan siswa harus mencapai nilai rata-rata minimal 5,5 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimum 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya dan khusus SMK nilai mata pelajaran praktik kejuruan minimal 7,00. Sungguh menyiksa siswa.di tambah lagi muatan mata pelajaran yang diujikan bertambah dari yang hanya 3 mata pelajaran menjadi 6 mata pelajaran untuk SMA IPA (matematika, bahasa Indonesia, bahasa inggris, fisika, kimia biologi). Untuk SMA IPS mencakup 6 mata pelajaran (matematika, bahasa Indonesia, bahasa inggris, ekonomi, sosiologi, geografi. Untuk SMA Bahasa mencakup 6 mata pelajaran (matematika, bahasa Indonesia, bahasa inggris, sastra Indonesia, sejarah/antropologi, dan bahasa asing pilihan). Untuk SMK memuat 3 mata pelajaran (matematika, bahasa Indonesia, bahasa inggris, ditambah teori kejuruan yang dilaksanakan sebelum UN). Untuk SMP memuat 4 mata pelajaran (matematika, bahasa Indonesia, bahasa inggris, dan IPA) dan untuk SD diadakan pula UASBN yang memuat 3 mata pelajaran (matematika, bahasa Indonesia, bahasa inggris).
Seiring berjalannya kebijakan tentang ujian nasional terus-menerus memunculkan kontroversi di berbagai kalangan. Bahkan hingga tahun 2012, perguruan-perguruan tinggi ternama (salah satunya Universitas Gajah Mada) belum setuju apabila nilai hasil ujian nasional digunakan sebagai saringan masuk calon mahasiswa ke universitas negeri. Ini sebagai salah satu indikator bahwa kredibilitas pelaksanaan UN masih diragukan oleh kalangan perguruan tinggi, tentunya mereka memiliki argumentasi yang jelas mengapa menolak hasil UN untuk saringan masuk perguruan tinggi, yang salah satunya di lihat dari temuan-temuan di lapangan bahwa dalam pelaksanaannya, UN masih kental dengan berbagai modus kecurangan dan ketidakjujuran sekalipun ada tim pengawas independen (TPI) dari perguruan tinggi. Selain itu mayoritas sekolah juga belum memenuhi 8 standar minimum yang harus dipenuhi sesuai PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Akhirnya penyelenggaraan UN tidak berjalan optimal.
Maka dari itu sebaiknya pemerintah segera mengubah arah kebijakan UN, di mana UN hanya sebagai pemetaan mutu pendidikan, hasil UN dapat digunakan sebagai acuan untuk seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya, untuk melakukan pembinaan dan pemberian bantuan kepada sekolah,
Selanjutnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang dapat dikatakan stagnan. Meskipun sudah diterapkan sejak tahun 1999/2000 tetapi belum sepenuhnya sekolah menerapkan konsep MBS secara total (masih parsial). Sekolah yang menerapkan MBS secara total memiliki karakteristik sebagai berikut:
1 | Dari sub-ordinasi menuju otonomi | : | sekolah memiliki otonomi (kemandirian) untuk berbuat yang terbaik bagi sekolahnya |
2 | Dari pengambilan keputusan terpusat menuju pengambilan keputusan partisipatif | : | melibatkan warga sekolah, yang selain cepat hasilnya, juga sesuai hasilnya dengan kebutuhan sekolah |
3 | Dari ruang gerak kaku menuju ruang gerak luwes | : | ruang gerak sekolah sangat luwes karena apa yang selama ini dilakukan oleh Pusat, Wilayah, dan Kandep, sebagian besar kini diserahkan ke sekolah |
4 | Dari pendekatan birokrasi menuju pendekatan profesionalisme | : | apa yang dilakukan oleh sekolah didasarkan atas profesionalisme |
5 | Dari manajemen sentralistik menuju manajemen desentralistik | : | banyak kewenangan Pusat, Wilayah, dan Daerah yang diserahkan ke sekolah |
6 | Dari kebiasaan diatur menuju kebiasaan motivasi diri | : | motivasi diri (dorongan internal) |
7 | Dari over regulasi menuju deregulasi | : | mampu menumbuhkan daya kreativitas dan prakarsa sekolah, dan membuat sekolah sebagai pusat perubahan. Deregulasi juga mampu memberikan kelenturan sekolah dalam mengelola sekolahnya |
8 | Dari mengontrol menuju mempengaruhi | : | lebih menekankan pada "mempengaruhi" |
9 | Dari mengarahkan menuju memfasilitasi | : | lebih menekankan pada pemberian "fasilitasi" |
10 | Dari menghindari resiko menuju mengolah resiko | : | lebih menekankan untuk "menghindari resiko", |
11 | menghabiskan semua anggaran menuju menggunakan anggaran seefisien mungkin | : | gunakan uang secukupnya |
12 | Dari individu yang cerdas menuju "Teamwork" yang kompak dan cerdas. | : | disadarkan bahwa hanya melalui "teamwork" yang kompak dan cerdaslah yang akan mampu meningkatkan kinerja sekolah |
13 | Dari informasi terpribadi menuju informasi terbagi | : | informasi harus tersebar/terbagi secara merata keseluruh warga sekolah |
14 | Dari pendelegasian menuju pemberdayaan | : | Pusat, Wilayah, dan Daerah harus memberdayakan sekolah, yaitu melalui penyerahan tugas dan fungsi, tanggungjawab, hak dan kewajiban, yang disertai kewenangan untuk mengambil keputusan |
15 | Dari organisasi hirarkis menuju organisasi datar | : | organisasi sekolah harus dibuat lebih datar agar lebih responsif dan antisipatif, tidak saja terhadap isu-isu strategis/kritis yang dihadapi oleh sekolah, bahkan terhadap perubahan-perubahan sosial |
Akan tetapi kenyataan di lapangan, tidak semua konsep ideal MBS dapat diterapkan, terlebih bagi sekolah negeri. Misalnya saja dalam melakukan pengelolaan ketenagaan (pengangkatan dan pemberhentian). Guru-guru yang mengajar di sekolah negeri merupakan guru-guru PNS yang ditempatkan oleh dinas pendidikan kab/kota, sehingga dalam hal ini kepala sekolah tidak memiliki wewenang menseleksi guru yang sesuai dengan kebutuhan sekolah. Begitupun dalam hal pemberhentian guru, Dinas Pendidikan Kab/Kota yang memiliki kewenangan untuk memberhentikan mereka. Selain itu dalam pengadaan sarana dan prasarana sekolah, misalnya saja bantuan alat-alat pendidikan (alat olahraga, alat TIK, alat kesenian, alat MTK, alat IPS, dan alat IPA). Kemendikbud tidak secara langsung memberikan bantuan itu ke sekolah, tetapi melalui dinas pendidikan kab/kota, sehingga yang terjadi adalah alat-alat pendidikan yang dikirim ke sekolah tidak sesuai dengan kebutuhan riil sekolah dan akhirnya alat-alat tersebut tidak terpakai dan hanya menjadi konsumsi pribadi.
Berikutnya adalah Penggunaan Buku Sekolah Elektronik (BSE) yang kurang optimal sejak diluncurkannya pada 20 Agustus 2008. Karena BSE ini berupa e-book, maka untuk mendapatkan filenya diperlukan komputer yang terkoneksi internet, yakni dengan mengakses salah satu dari beberapa situs yang disediakan, diantaranya:http://www.bse.depdiknas.go.id,www.depdiknas.go.id,www.pusbuk.or.id, atau www.sibi.or.id. Akan tetapi beberapa masalah ditemui, yaitu: (1) Jangankan memiliki fasilitas internet, perangkat komputerpun bagi sebagian sekolah di tanah air mungkin belum terakomodasi sehingga biaya yang harus dikeluarkan untuk mendownload hingga tahap pencetakan bisa jadi lebih mahal; (2) buku yang disediakan belum memadai/mengakomodasi semua kebutuhan sekolah; (3) masih banyak sekolah dan orang tua siswa yang belum terbiasa dengan internet sehingga sulit bagi mereka untuk mendownload sendiri, ini berdampak pada tidak semua sekolah dapat merasakan manfaat BSE, dapat dikatakan hanya sebagian kecil saja yang mampu secara mudah mendownload, mencetak serta mendistribusikannya kepada para siswa; (4) tidak semua pihak setuju dengan kebijakan ini, terutama para penerbit buku, karena sejak diluncurkannya BSE melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 2008 para penerbit buku dilarang menjual buku ke sekolah-sekolah. Untuk memenuhi kebutuhan buku di sekolah, diambil alih oleh pemerintah dengan membeli langsung hak cipta buku dari penulis dan menyebarluaskan buku melalui internet. Guru, murid, dan kepala sekolah dibolehkan mengunduh buku, mencetak dan juga memperjualbelikan buku dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah.
Melihat kondisi seperti ini, sangat disayangkan apabila uang negara yang dipakai untuk membayar royalti kepada setiap penulis Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas dan hanya terbuang sia-sia. Agar masalah ini tidak berlarut-larut tentu perlu ada perbaikan yang segera harus dilakukan, agar kebijakan yang terlanjur digulirkan ini dapat berjalan sesuai on the track. Terutama dalam hal ketersediaan perangkat komputer dan akses internet, Departemen Pendidikan kebudayaan hendaknya memberikan fasilitas komputer pada tiap sekolah dan membuatkan jaringan internet dengan akses cepat untuk mempermudah pengunduhan buku-buku pelajaran.
Penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan SBI tak luput dari kontroversi di kalangan masyarakat. Hal yang paling menimbulkan kontroversi adalah RSBI dan SBI identik dengan biaya mahal. Sehingga hanya siswa-siswa yang mampu saja yang dapat bersekolah di RSBI dan SBI. Meskipun sebenarnya pemerintah melalui Permendiknas No. 78 tahun 2009 BAB III pasal 16 telah mengamanahkan bahwa sekolah wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% dari jumlah seluruh peserta didik. Tetapi kenyataan di lapangan, jauh panggang dari api. Permasalahan lain yang ditemukan di lapangan terkait penyelenggaraan RSBI dan SBI antara lain:
Ø Potensi terjadi Sistem Pendidikan yang Bersifat Diskriminatif dan Eksklusif.
Penyelenggaraan RSBI dan SBI akan melahirkan konsep pendidikan yang diskriminatif (hanya diperuntukkan bagi siswa yang memiliki kemampuan/kecerdasan unggul) dan ekslusif (pendidikan bagi anak orang kaya).
Ø Konsep SNP+X kurang jelas
Dalam kurikulum RSBI dan SBI ada rumus SNP + X. Artinya Standar Nasional Pendidikan ditambah atau diperkaya/ dikembangkan/ diperluas/ diperdalam dengan standar internasional dari salah satu anggota OECD atau lembaga tes/sertifikasi internsional. Faktor X dalam rumus di atas tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas. Sebab, konsep ini tidak menjelaskan lembaga/negara tertentu yang harus diadaptasi/diadopsi standarnya, dan faktor apa saja yang harus ditambah/ diperkaya/ dikembangkan/ diperluas/diperdalam? Apakah sistem pembelajaran bahasanya, teknologinya, ekonominya, dan lain-lain. Sehingga mungkin ini merupakan strategi agar target yang hendak dikejar menjadi longgar dan sulit untuk diukur.
Ø Potensi terjadi komersialisasi pendidikan
Lahirnya RSBI dan SBI bisa membawa dampak komersialisasi pendidikan kepada para pelanggan jasa pendidikan, contohnya bagi siswa atau orang tua. Indikasi ini terlihat ketika sekolah RSBI dan SBI menarik puluhan juta kepada siswa baru yang ingin masuk sekolah. Hal ini dilakukan dengan dalih bahwa sekolah tersebut bertaraf internasional, dilengkapi dengan sistem pembelajaran yang mengacu pada negara anggota OECD, menggunakan teknologi informasi canggih, bilingual, dan lain-lain.
Ø Tujuan pendidikan yang misleading
Selama ini siswa RSBI dan SBI dihadapkan pada 2 kiblat ujian, yakni UN dan Cambridge misalnya. Beberapa sekolah nasional plus yang selama ini dirancang untuk mengikuti dua kiblat tersebut mengakui bahwa sangat sulit mereka untuk mengikuti dua kiblat sekaligus. Jika yang hendak dituju adalah peningkatan kualitas pembelajaran dan output pendidikan, maka mengadopsi atau berkiblat pada sistem ujian Cambridge ataupun IB bukanlah jawabannya. Bahkan, sebenarnya menggerakkan semua potensi terbaik pendidikan di Indonesia untuk berkiblat ke sistem Cambridge adalah sebuah pengkhianatan terhadap tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Di negara-negara maju seperti Singapura, Australia dan New Zealand, pemerintah tidak membiarkan sistem pendidikan luar ataupun internasional macam Cambridge ataupun IB masuk dan digunakan dalam kurikulum sekolah mereka. Hanya sekolah yang benar-benar berstatus International School dengan siswa asing saja yang boleh mengadopsi sistem pendidikan lain.
Ø Konsep RSBI dan SBI cenderung lebih menekankan pada alat daripada proses.
Indikasi ini nampak ketika penyelenggaraan RSBI dan SBI lebih mementingkan alat/media pembelajaran yang canggih, bilingual sebagai medium of instruction, berstandar internasional, daripada proses penanaman nilai pada peserta didik. Kesalahan asumsi tentang penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL.
Ø Kebijakan RSBI dan SBI bertolak belakang dengan otonomi sekolah dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Bergulirnya otonomi sekolah melahirkan sistem Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Sebenarnya MBS digunakan sebagai legitimasi untuk menentukan kebijakan sistem pembelajaran di sekolah. Sekolah memiliki kemerdekaan untuk menentukan kebijakan yang diambil, termasuk kemerdekaan guru dan siswa untuk menentukan sistem pembelajarannya. Sedangkan dalam RSBI dan SBI, sekolah masih dibelenggu dengan sistem pembelajaran dari negara lain.
Dengan melihat permasalahan di atas tentunya perlu dilakukan inovasi pendidikan agar pendidikan Indonesia menjadi lebih bermutu.