Masa Kecil dan
Masa Pendidikan
Pada
tanggal 3 Desember 1918, H.A. Halim Nasution seorang pedagang tekstil dari Huta
Pungkut mendapatkan kabar bahwa istrinya telah melahirkan anak kedua. H.A.
Halim Nasution saat itu sedang menjalankan perniagaannya di Sibolga yang
berjarak kurang lebih 180 km dari Huta Pungkut. Bayi yang lahir itu berjenis
kelamin laki-laki yang selanjutnya diberi nama Abdul Haris Nasution. Meski
terlahir sebagai anak kedua, Abdul Haris Nasution adalah anak laki-laki pertama
dalam keluarga itu.
Ketika
memasuki usia sekolah, Nasution masuk sekolah pendidikan dasar zaman Hindia
Belanda yaitu Holland Inlandsche School (HIS) di Kotanopan. Nasution menjalani
pendidikannya di HIS Kotanopan pada pagi hari hingga siang hari, selanjutnya
sore hari ia belajar di madrasah dan malam harinya ditambah kegiatan mengaji di
surau. Selama belajar di HIS Nasution mulai dihinggapi rasa cinta Tanah Air.
Sikap ini tercermin pada kesukaannya dalam dua pelajaran yakni, ilmu bumi dan
sejarah.
Pada
tahun 1932, Nasution berhasil menyelesaikan pendidikannya di HIS dan selanjutnya
menjalani pendidikan di Hogere Inlandsche Kweekschool (HIK) yang populer
disebut dengan Sekolah Raja atau Sekolah Guru di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Di asrama dan sekolah itu, Nasution mempunyai sahabat yang bernama Artawi. Ia
berasal dai Madura dan mempunyai keluarga berlatar belakang KNIL (Koninkljik
Nederlands Indische Leger) atau dinas tentara kerajaan di Hindia Belanda. Dalam
kesehariannya sebagai anak asrama dengan cerita-cerita tentang kehidupan
tentara dari Artawi itu, Nasution mulai ada ketertarikan terhadap kehidupan
para tentara. Baginya, hehidupan tentara yang penuh disiplin dan teratur itu
akan berperan banyak dalam pembentukan karakter dan diri seseorang.
Karena
sesuatu dan lain hal, pada tahun 1935 Sekolah Guru Bukittinggi dibubarkan. Menyikapi
hal ini maka pihak pengurus sekolah mengeluarkan kebijakan, jika para siswa
ingin menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Guru itu maka mereka dipersilakan
untuk melanjutkan pendidikannya ke Bandung. Namun untuk dapat melanjutkan serta
menamatkan pendidikan tersebut seluruh siswa harus melalui tahapan
penyeleksian. Dari sekitar 100 siswa, tersaring lima siswa yang diperbolehkan
melanjutkan di Bandung. Salah satu siswa di antara yang lulus adalah Nasution,
demikian halnya dengan rekan karibnya Artawi.
Selama
belajar di Bandung, Nasution selalu meneruskan kebiasaannya yakni memperdalam
pengetahuan tentang sejarah dan politik. Bersama beberapa kawannya ia
seringkali turut menghadiri pertemuan dan rapat politik. Hal tersebut
menimbulkan minatnya terhadap kehidupan politik semakin tinggi dan ia mulai
merasakan keinginannya menjadi guru mulai sedikit luntur. Namun begitu, ia
tetap bertekad dan berusaha keras untuk menyelesaikan pendidikannya. Akhirnya
tahun 1937, Nasution berhasil menamatkan Sekolah Guru (Kweekschool) Bandung.
Daerah
pertama yang menjadi tempat tugas mengajar adalah Bengkulu. Bengkulu merupakan
tempat pengasingan dari Bung Karno (pemimpin Partai Nasional Indonesia, PNI)
yang merupakan tokoh politik paling populer di masa itu. Nasution seringkali
bertemu dan berbicara dengan sosok yang dikaguminya itu.
Di
lain pihak menjadi seorang guru, Nasution berkeinginan memasuki dunia militer.
Berkat ketekunan, kegigihan serta bantuan dari rekan-rekan sesama guru,
Nasution dapat mengikuti ujian Algemene Middelbare School (AMS) di palembang
dan lulus.
Memasuki Dunia
Militer
Pada
tahun 1940, Negeri Belanda mendapatkan serangan dari Jerman, serangan tersebut
merupakan imbas dari Perang Dunia I dan dengan munculnya aksi militer Jerman
itu maka Perang Dunia II sudah diambang pintu. Peperangan di Eropa berimbas ke
Asia, Jepang yang merupakan sekutu Jerman di Asia mulai melakukan serangan
mendadak yang diawali dengan serangan terhadap pangkalan militer AS di Pearl
Harbour, Hawaii. Setelah itu Jepang berhasil merebut Indochina dan Muangthai,
Semenanjung Malaya lalu Filipina berhasil mereka duduki.
Untuk
menghadapi ancaman serangan dari Jepang, pemerintah Kolonial mengeluarkan
himbauan kepada kaum muda di seluruh kawasan Hindia Belanda untuk memasuki
pendidikan Milisi yang bernama Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO) yang
nantinya akan dipersiapkan untuk membantu menghadapi serangan belanda. Dengan
berbekal ijazah AMS Nasution mendaftarkan diri dan menjalani tes masuk di tahun
1940. Seleksi penerimaan dilakukan di Palembang dan Nasution lulus dan kemudian
menjalani pendidikan militer di CORO. Di CORO Nasution berkawan dengan T.B.
Simatupang dan Alex Kawilarang. Beberapa lama setelah menjalani pendidikan pada
September 1940, Nasution naik pangkat dari kadet taruna menjadi kopral. Tiga
bulan kemudian pangkatnya naik menjadi sersan.
Pada
akhir Februari 1942 pasukan Balatentara Jepang yang dipimpin Letnan Jenderal
Hitoshi Imamura mendarat di berbagai tempat di Pulau Jawa. Beberapa waktu
sebelum kedatangan Jepang itu, pendidikan CORO ditutup. Para taruna yang telah
menjalani pendidikan mendapatkan pengangkatan sebagai perwira dengan pangkat
Vaandrig (pembantu letnan) termasuk Nasution. Vaandrig Nasution tergabung dalam
Batalyon III dan dikirim ke Surabaya dengan tugas mempertahankan Pelabuhan
Tanjung Perak dari serangan pasukan Jepang.
Masa Pendudukan Jepang
Pada
tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Jepang.
Setelah kalah memepertahankan Pelabuhan Tanjung Perak, Nasution kembali ke
Bandung dan langsung menuju rumah Gondokusumo. Di sini Nasution mendapat kabar
jika Jepang mengajak pihak Indonesia untuk bekerja sama membangun kemakmuran
bersama Asia dengan membentuk Gerakan Tiga A, Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dan
Jawa Hookokai.
Jepang
membentuk pendidikan militer kepada para pemuda Indonesia dalam wadah Giyugun,
Heiho, Peta, Seinedan dan Keibodan. Nasution kemudian memutuskan ikut kegiatan
tersebut. Selain itu Nasution dipercaya membentuk Barisan Pemuda Parahiyangan
(Bandung).
Memasuki
tahun 1994 keadaan Jepang terbalik menjadi pihak yang diserang. Jepang lebih
sering menderita kekalahan di peperangan. Dengan santernya berita kekalahan
Jpang itu bangsa Indonesia bersiap menyambut kemerdekaan.
Mempertahankan
Kemerdekaan
Jepang
akhirnya menyerah pada
14 Agustus 1945 setelah kota Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh AS. Tanpa
menunggu janji Jepang, Bung Karno dan Bung Hatta dengan mengatasnamakan rakyat
Indonesia menyatakan Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Guna menjamin
ketertiban umum, Pemerintah RI membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), dimana
Nasution diangkat menjadi penasihat BKR di Bandung berkat pengalamannya sebagai
bekas vaandrig.
Pada
5 Oktober 1945 BKR dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuklah Tentara Keamanan
Rakyat (TKR) yang dikepalai oleh Oerip Soemohardjo. Nasution sendiri ditunjuk
sebagai Kepala Staf (Kastaf) Komandemen Jawa Barat yang bermarkas di
Tasikmalaya, Nasution mendapat pangkat Kolonel. Sebagai Kastaf, Kolonel
Nasution mendapatkan tugas menyusun TKR di Jawa Barat. Ditengah kesibukannya
itu, Kolonel Nasution diperintahkan menanggalkan jabatan Kastaf dan selanjutnya
memegang jabatan baru sebagai Panglima Divisi III Priangan.
Pada
tanggal 29 September 1945, pasukan Inggris yang diboncengi pasuka Belanda
mendarat di Indonesia. Tujuan dari pasukan Inggris yaitu untuk melucuti tentara
Jepang, sedangkan pasukan Belanda bertujuan ingin kembali menguasai Indonesia.
Mengetahui tujuan tersebut, sering terjadinya bentrok antara pasukan Belanda
dengan pemuda Indonesia. Akibatnya meletusnya pertempuran di sepanjang Bandung
sampai Bogor. Selanjutnya dicapai kesepakatan antara Inggris dan pemerintah
Indonesia untuk mengosongkan Bandung Selatan. Tetapi sebagai panglima pasukan,
Kolonel Nasution tidak ingin menyerahkan Bandung begitu saja. Setelah melalui
kesepakatan yang diambil bersama jajaran staf di Divisi III, diputuskan untuk
membumihanguskan kota Bandung sebelum diduduki Inggris dan Belanda. Tindakan
bumi hangus akhirnya dilaksanakan pada 23 Maret 1946 dan para penduduk
mengungsi ke luar kota. Peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan “Bandung
Lautan Api”.
Saat
berada di Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta, Nasution ditunjuk sebagai
Panglima Divisi I Siliwangi yang pelantikannya dilakukan oleh Bung Karno. Tugas
Nasution adalah melanjutkan program penertiban tentara di Jawa Barat.
Hari-harinya terkuras untuk melakukan perjalanann ke markas-markas kesatuan
dalam rangka konsolidasi. Dengan upaya yang gigih itu Nasution berhasil
menciptakan kebersamaan sebagai sesama anggota Siliwangi. Pada tahun 1947,
Belanda mengerahkan kekuatan militernya untuk menyerang daerah-daerah RI.
Akibat serangan mendadak ini kekuatan dan pertahan Divisi Siliwangi
tercerai-berai.
Konsep Gerilya
Akibat
Agresi Militer Belanda, Kolonel Nasution berusaha keras menyatukan dan
membangkitkan semangat tempur Divisi Siliwangi yang tercerai-berai. Setelah
Divisi Siliwangi berhasil disatukan, selanjutnya Nasution menyusun strategi
perang baru untuk menghadapi Belanda. Maka lahirlah konsep Perang Gerilya.
Strategi ini sangat ampuh dengan membuat pasukan Belanda terdesak oleh pasukan
Siliwangi. Tetapi sekali lagi pemerintah Indonesia membuat perjanjian
perdamaian dengan pihak Belanda yaitu perjanjian Renville. Akibat dari
perjanjian tersebut wilayah Indonesia dipersempit menjadi hanya Jawa Tengah.
Seminggu
di Yogyakarta, Kolonel Nasution diangkat sebagai Wakil Panglima Besar
(Wapansar) oleh panglima TNI, Letnan Jenderal Soedirman. Karena suatu tuntutan,
jabatan Wapansar ditiadakan yang selanjutnya Kolonel Nasution ditunjuk sebagai
Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang.
Mempersatukan
Angkatan Darat
Pada
tahun 1949 setelah penyerahan kedaulatan RI oleh pihak Belanda, Kolonel
Nasution menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Sementara jabatan
Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) dipercayakan kepada Letjen Soedirman, namum
tidak lama beliau wafat dan jabatannya digantikan oleh Kolonel T.B. Simatupang
yang kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi mayor jenderal. Setelah menjadi KSAD,
Kolonel Nasution tetap ingin melanjutkan program-program yang pernah
dilakukannya saat menjadi Panglima Siliwangi dan Wapansar. Program tersebut
ditujukan untuk mewujudkan angkatan perang yang ramping, efisien dengan
dilengkapi kemampuan dan teknik kemiliteran yang memadai.
Pada
tahun 1952, jabatan KSAD Kolonel Nasution dicopot karena Kolonel Nasution dkk
diangkap melakukan upaya kudeta karena meminta Bung Karno membubarkan parlemen
terjadi perpecahan di Angkatan Darat.
Setelah
tidak aktif, Nasution terjun ke dunia politik dengan membentuk Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Partai IPKI menjadi salah satu kontestan dalam
pemilu 1955, dan A.H. Nasution terpilih menjadi anggota Konstituante untuk
daerah pemilihan Jawa Tengah.
Kembali Menjadi KSAD
Pada
tahun 1955, Mayjen Bambang Sugeng selaku KSAD akan segera mengakhiri masa
jabatannya. Pertikaian pun timbul mengenai masalah siapa sosok yang tepat untuk
menggantikan Mayjen Bambang Sugeng yang berhasil meredam konflik selama menjadi
KSAD. Awalnya ditunjuklah nama Kolonel Bambang Utoyo sebagai KSAD, tetapi
justru banyak tentangan keras dari para perwira. Untuk mencari solusi,
pemerintah mengajukan lima nama yang akan dipilih untuk jabatan KSAD baru,
mereka adalah: Kolonel M.Simbolon, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Alex
Kawilarang dan A.H. Nasution.
Melalui
rapat kabinet, diputuskan untuk mengangkat kembali A.H.Nasution sebagai KSAD
untuk kedua kalinya. Pada tanggal 7 November 1955, A.H. Nasution pun dilantik
oleh Bung Karno menjadi KSAD serta pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Jenderal.
Kritik keras pun muncul akibat pengangkatan Nasution menjadi KSAD untuk kedua
kalinya, yang paling menentang yaitu Kolonel Zulkifli Lubis yang sebelumnya
menjabat menjadi wakil KSAD. Yang lebih membuat penentangan Kolonel Zulkifli
Lubis terhadap Mayjen Nasution yaitu dipindahkannya Kolonel Zulkifli Lubis dari
Wakil KSAD menjadi Panglima Tentara I Bukit Barisan. Sementara alasan Mayjen
Nasution memindah tugaskan Kolonel Zulkifli Lubis yaitu berdasarkan pertimbangan
etnis, Nasution tidak ingin pejabat KSAD dan Wakilnya bersamaan dipegang oleh
orang Batak Mandailing.
Beberapa
perwira yang menentang Mayjen Nasution pun membentuk Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) dan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang
berencana melakukan pemberontakan kepada pemerintah pusat. Pada Februari 1958
meletus pemberontakan PRRI di Sumbar dan Sumut, serta Permesta di Sulut. Namun
dengan kegighan dan ketepatan strategi dalam serangkaian operasi militer,
seperti Operasi 17 Agustus, Operasi Saptamarga, Operasi Tegas, dsb
pemberontakan dapar diselesaikan.
Pembebasan Irian
Barat
Pada tahun 1960 pemerintah RI
menghadapi tugas berat yaitu membebaskan Irian Barat yang masih dikuasai
Belanda. Berbagai upaya jalur diplomatik telah dilakukan tetapi pihak Belanda
tidak mau melepaskan Irian Barat. Pada akhirnya mengomandokan Trikora (Tri
Komando Rakyat). Nasution yang sudah menjadi Jenderal penuh pada saat itu juga
disibukkan dengan persiapan yang harus dilakukan guna mendukung Trikora itu.
A.H. Nasution menjadi perwira kedua setelah Jenderal Soedirman yang mencapai
pangkat Jenderal penuh.
Jenderal
Nasution selaku KSAD dan Mayjen Ahmad Yani selaku Deputi KSAD melakukan misi
pembelian senjata dan perlengkapan militer untuk mendukung operasi militer
dalam rangka menghadapi Belanda. Jenderal Nasution juga melakukan penggalangan
sukarelawan Trikora yang terdiri dari mahasiswa dan pemuda. Para relawan
Trikora ini difungsikan sebagai pendukung TNI dalam melakukan penyusupan keberbagai
tempat di Irian Barat, dikarenakan militer Belanda melakukan penjagaan ketat
dan rapat di wilayah perairan Irian Barat.
Setelah
melakukan tekanan dan penyusupan militer serta upaya diplomasi di forum
internasional dengan perantara PBB, akhirnya Belanda menyerahkan Irian Barat
kepada Indonesia 15 Agustus 1962.
Berseberangan
Dengan Bung Karno
Pada
tanggal 26 Juli 1962, Jenderal Nasution mengakhiri jabatannya sebagai KSAD dan
sebagai penggantinya ditunjuk Mayjen Ahmad Yani. Sebenarnya Nasution menghendaki
Mayjen Gatot Subroto menjadi penggantinya dengan pertimbangan Mayjen Gatot
Subroto telah cukup lama menjadi wakil KSAD.
Setelah
tidak menjadi KSAD, Nasution menempati jabatan sebagai Kepala Staf Angkatan
Bersenjata (KSAB). Ada isu yang menyatakan, salah satu pihak menginginkan agar
pengaruh Nasution di AD habis. Dengan hanya menjadi KSAB, Jenderal Nasution
sudah tidak punya wewenang komando pasukan. Penenpatannya sebagai KSAB hanya
menangani hal-halo administratif semata. Penempatan ini juga dinilai sebagai
akibat dari terganggunya hubungannya dengan Bung Karno.
Peristiwa G30S
Pada tahun 1960-an PKI berhasil
membangun hubungan erat dengan presiden. Meskipun Bung Karno bukan komunis
namun dengan adanya hubungan ini PKI menjadi sangat leluasa. PKI juga melakukan
provokasi terhadap Angkatan Darat terutama kepada jajaran perwira tingginya.
Isu paling panas adalah mengenai Dewan Jenderal. Dewan ini diisukan terdiri
dari para Jenderal AD yang telah mempersiapkan upaya kudeta terhadap Bung
Karno. Isu tersebut disebutkan bahwa Jenderal Nasution diplot sebagai Perdana
Menteri dan Letnan Jenderal Ahmad Yani sebagai wakil perdana menteri.
Menanggapi
isu tersebut Ahmad Yani menyatakan secara langsung kepada Bung Karno, bahwa isu
Dewan Jenderal tidak ada. Tetapi, isu tersebut sudah terlanjur menyebar luas
yang mengakibatkan pecahnya peristiwa G30S yang dilakukan oleh PKI. Tujuan
gerakan tersebut yaitu untuk melindungi presiden dari kudeta Dewan Jenderal dan
untuk itu mereka telah menangkap bebarapa Jenderal yang disebutnya sebagai
anggota Dewan Jenderal, termasuk Jenderal Nasution dan Jenderal Ahmad Yani.
Tetapi Jenderal Nasution berhasil lolos dari peristiwa penangkapan itu,
sedangkan Jenderal Ahmad Yani dan enam perwira AD ditemukan mayatnya di kawasan
Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur.
Menjadi Ketua
MPRS
Setelah
aksi G30S berakhir, maka seluruh intitusi Angkatan Darat yang bercerai berai
akibat isu dari PKI mulai dapat dipersatukan kembali. Awalnya banyak pihak yang
meminta Jenderal Nasution kembali menjadi KSAD menggantikan Jenderal Ahmad Yani
yang tewas menjadi korban G30S. Namun Nasution menolaknya dengan pertimbangan
untuk membuktikan ketidakbenaran isu Dewan Jenderal atas tuduhan tentang
sosoknya yang dinilai ambisius terhadap kekuasaan. Dengan itu Jenderal Nasution
mengangkat Mayjen Soeharto sebagai KSAD.
Pada
21 Juni 1966, Jenderal Nasution dipercaya menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS). Setelah menjadi ketua MPRS ini, tugas Nasution yaitu
mananggapi tuntutan rakyat serta mahasiswa serta sebagian besar anggota MPRS
yang menanggapi Bung Karno melepaskan jabatannya. Tugasnya semakin berat karena
ia tahu persis Bung Karno Masih mempunyai banyak pendukung selain juga secara
pribadi dirinya mengagumi dan mengakui sosok Bung Karno sebagai pendiri dan
pemimpin bangsa. Meski begitu karena sudah menjadi tuntutan dan pilihan yang
konstitusional, Nasution dalam kapasitasnya sebagai Ketua MPRS dengan berat
hati melaksanakan tuntutan itu.
Pertanggungjawaban
Bung Karno kepada MPRS secara mayoritas mendapatkan penolakan dari para
anggota. Dengan ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967, sebagai Ketua MPRS, Jenderal
Nasution melimpahkan kekuasaan Bung Karno kepada pejabat Presiden, Jenderal
Soeharto.
Dengan
berbagai tindakan yang telah dilakukannya tersebut sekaligus menjadi bukti
bahwa tuduhan tentang sosoknya yang dinilai ambisius terhadap kekuasaan pupus
sudah. Jika Nasution menghendaki kekuasaan, maka hal itu dengan mudah dapat
dilakukan karena ia adalah Jenderal paling senior di Korps Angkatan Bersenjata
RI, selain itu sosoknya sangat pantas untuk menjadi presiden menggantikan Bung
Karno. Semua yang telah dilakukannya itu tidak lebih sebagai bentuk pengabdian
dan keyakinan dalam menjawab panggilan tugas yakni mempersatukan Angkatan
Bersenjata RI dan menegakkan konstitusi negara.
Dicekal Rezim
Orde Baru
Jenderal
Nasution adalah sosok kunci dalam menegakkan pemerintahan Orde Baru di bawah
pimpinan Jenderal Soeharto. Ia juga dikenal sebagai sosok yang paling berjasa
dalam mempersatukan Angkatan Darat yang sebelumnya selalu identik dari konflik.
Belum lagi jasa dan sumbangannya dalam mengembangkan konsep Perang Gerilya yang
tebukti ampuh dalam menghadapi Belanda dalam Perang Kemerdekaan 1945-1949.
Namun
dengan berbagai jasa dan kiprahnya itu bukan berarti rezim Orde Baru dan
Jenderal Soeharto lantas memberikan penghargaan yang layak. Bahkan ketika
kekuasaan Jenderal Soeharto dan Orde Barunya sudah mantap, Nasution justru
dipinggirkan. Diawali dengan pembubaran MPRS oleh Presiden Soeharto tahun 1971,
selain itu pada 1972 Jenderal Nasution dipensiunkan dari TNI. Selain itu semua
aktivitas dan gerak-geriknya dibatasi dan diawasi, pencekalan pidato dan
ceramah di kampus-kampus bahkan tulisan-tulisannya juga tidak boleh diterbitkan
di media massa. Dengan begitu praktis posisinya semakin terjauh dan
terpinggirkan.
Perlakuan
agak berbeda baru diperoleh tahun 1997, satu tahun menjelang jatuhnya kekuasaan
Soeharto. Pada peringatan Hari ABRI ke-52, A.H. Nasution mendapatkan gelar
sebagai Jenderal Besar (jenderal berbintang lima). Gelar ini juga diberikan
kepada Soeharto (presiden RI) dan Jenderal Soedirman, Panglima Besar TNI tahun
1945-1950.
Dua
tahun setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru, pada Rabu 6 Agustus 2000, Jenderal
A.H. Nasution wafat di Rumah Sakit Gatot Subroto, Jakarta. Bangsa Indonesia
kehilangan salah seorang putra terbaiknya.
Sumber Lain
JENDERAL BESAR ABDUL HARIS NASUTION (1918-2000)
Sebagai seorang tokoh militer, Nasution sangat dikenal sebagai ahli perang gerilya.
Pak Nas demikian sebutannya dikenal juga sebagai penggagas dwifungsi ABRI. Orde Baru yang ikut didirikannya (walaupun ia hanya sesaat
saja berperan di dalamnya) telah menafsirkan konsep dwifungsi itu ke dalam
peran ganda militer yang sangat represif dan eksesif. Selain konsep dwifungsi
ABRI, ia juga dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya. Gagasan perang
gerilya dituangkan dalam bukunya yang fenomenal, Fundamentals of Guerrilla
Warfare. Selain diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, karya itu menjadi
buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite militer
dunia, West Point, Amerika Serikat.
Tahun 1940,
ketika Belanda membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda Indonesia, ia ikut
mendaftar. Ia kemudian menjadi pembantu letnan di Surabaya.
Pada 1942,
ia mengalami pertempuran pertamanya saat melawan Jepang di Surabaya.
Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II,
Nasution bersama para pemuda eks-PETA
mendirikan Badan Keamanan Rakyat. Pada Maret 1946, ia
diangkat menjadi Panglima Divisi III/Priangan. Mei 1946, ia dilantik Presiden Soekarno
sebagai Panglima Divisi Siliwangi. Pada Februari 1948, ia menjadi Wakil
Panglima Besar TNI (orang kedua setelah Jendral Soedirman).
Sebulan kemudian jabatan "Wapangsar" dihapus dan ia ditunjuk menjadi
Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Di penghujung tahun 1949, ia diangkat menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat.
Akibat pertentang internal di dalam Angkatan Darat maka ia menggalang kekuatan
dan melawan pemerintahan yang terkenal dengan peristiwa 17
Oktober 1952. Akibat peristiwa ini Presiden Soekarno
mencopotnya dari jabatan KSAD
dan menggantinya dengan Bambang Sugeng. Setelah inilah
akhirnya pada November 1955 ia menjabat kembali posisinya sebagai KASAD. Tidak
hanya itu, pada Desember 1955 ia pun diangkat menjadi Panglima Angkatan Perang
Republik Indonesia.
Memang tragis. Pak Nas pernah bertahun-tahun dikucilkan dan dianggap sebagai
musuh politik pemerintah Orba. Padahal Pak Nas sendiri menjadi tonggak lahirnya
Orba. Ia sendiri hampir jadi korban pasukan pemberontak yang dipimpin Kolonel
Latief. Pak Nas-lah yang memimpin sidang istimewa MPRS yang memberhentikan Bung
Karno dari jabatan presiden, tahun 1967.
Pak Nas, di usia tuanya, dua kali meneteskan air mata. Pertama, ketika melepas
jenazah tujuh Pahlawan Revolusi awal Oktober 1965. Kedua, ketika menerima
pengurus pimpinan KNPI yang datang ke rumahnya berkenaan dengan penulisan buku,
Bunga Rampai TNI, Antara Hujatan dan Harapan.
Apakah yang membuatnya meneteskan air mata? Sebagai penggagas Dwi Fungsi ABRI,
Pak Nas ikut merasa bersalah, konsepnya dihujat karena peran ganda militer
selama Orba yang sangat represif dan eksesif. Peran tentara menyimpang dari
konsep dasar, lebih menjadi pembela penguasa ketimbang rakyat.
Pak Nas memang salah seorang penandatangan Petisi 50, musuh nomor wahid
penguasa Orba. Namun sebagai penebus dosa, Presiden Soeharto, selain untuk
dirinya sendiri, memberi gelar Jenderal Besar kepada Pak Nas menjelang akhir
hayatnya. Meski pernah “dimusuhi” penguasa Orba, Pak Nas tidak menyangkal peran
Pak Harto memimpin pasukan Wehrkreise melancarkan Serangan Umum ke Yogyakarta,
1 Maret 1949.
Pak Nas dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya melawan kolonialisme
Belanda. Tentang berbagai gagasan dan konsep perang gerilyanya, Pak Nas menulis
sebuah buku fenomenal, Strategy of Guerrilla Warfare.
Buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, jadi buku wajib
akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite bagi militer dunia,
West Point Amerika Serikat (AS). Dan, Pak Nas tak pernah mengelak sebagai
konseptor Dwi Fungsi ABRI yang dikutuk di era reformasi. Soalnya, praktik Dwi
Fungsi ABRI menyimpang jauh dari konsep dasar.
Jenderal Besar Nasution menghembuskan nafas terakhir di RS Gatot Subroto, pukul
07.30 WIB (9/9-2000), pada bulan yang sama ia masuk daftar PKI untuk dibunuh.
Ia nyaris tewas bersama mendiang putrinya, Ade Irma, ketika pemberontakan PKI
(G-30-S) meletus kembali tahun 1965. Tahun 1948, Pak Nas memimpin pasukan
Siliwangi yang menumpas pemberontakan PKI di Madiun.
Usai tugas memimpin MPRS tahun 1972, jenderal besar yang pernah 13 tahun duduk
di posisi kunci TNI ini, tersisih dari panggung kekuasaan. Ia lalu menyibukkan
diri menulis memoar. Sampai pertengahan 1986, lima dari tujuh jilid memoar
perjuangan Pak Nas telah beredar. Kelima memoarnya, Kenangan Masa Muda,
Kenangan Masa Gerilya, Memenuhi Panggilan Tugas, Masa Pancaroba, dan Masa Orla.
Dua lagi memoarya, Masa Kebangkitan Orba dan Masa Purnawirawan, sedang dalam
persiapan. Masih ada beberapa bukunya yang terbit sebelumnya, seperti
Pokok-Pokok Gerilya, TNI (dua jilid), dan Sekitar Perang Kemerdekaan (11
jilid).
Sumber
:
-
http://kolom-biografi.blogspot.com/2010/02/biografi-jendral-ah-nasution.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar