RESUME
dr.
Sutomo adalah salah seorang dari sekian banyak pahlawan nasional yang dimiliki
oleh bangsa Indonesia. Ia merupakan tokoh pejuang pergerakan nasional dalam
melawan pemerintahan kolonial Belanda. Berikut uraian tentang perjuangan dan
perjalanan hidup tokoh nasional tersebut.
Sutomo
atau yang lebih dikenal sebagai Pak Tom lahir pada 30 Juli 1888 di Desa Ngepah,
Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Ia terlahir dengan nama Soebroto. Ia adalah anak
dari Raden Suwaji, seorang bangsawan yang menjabat sebagai wedana di Maospati,
Madiun.
Sejak
kecil Soebroto diasuh oleh nenek dan kakeknya. Kakeknya bernama Raden Ngabehi
Singowijoyo. Kakek dan neneknya sangat sayang kepadanya. Bahkan, Soebroto
selalu dimanja. Meskipun begitu Soebroto tidak rewel dan cengeng. Saat masih
kecil, Soebroto juga nakal, tapi ia tidak angkuh dan sombong. Terhadap
teman-temannya, ia bersikap baik dan sopan terhadap orang tua.
Pada
usia 8 tahun, Soebroto dititipkan oleh orang tuanya kepada pamannya yang bernama
Arjodipuro di Bangil. Di tempat ini Soebroto didaftarkan di sekolah dasar
Belanda, Europeesche Lagere School
(ELS). Namun, ia tidak diterima. Gagal memasukkan Soebroto, pamannya tidak
berputus asa. Keesokan harinya Pak Arjodipuro kempali membawa Soebroto ke
sekolah. kepada kepala sekolah Pak Arjudipuro kembali menyampaikan keinginannya
untuk memasukkan keponakannya tersebut, namun dengan menggunakan nama Sutomo.
Dengan nama tersebut, Soebroto berhasil diterima di Europeesche Lagere School. Sejak itu pula (1896), Soebroto berganti
nama menjadi Sutomo. Sutomo pun suka dengan nama baru itu. Demikian pula orang
tuanya tidak keberatan.
Di
sekolah, Sutomo termasuk anak yang pintar sehingga disegani oleh
kawan-kawannya, baik anak-anak Indonesia maupun Belanda. Bahkan, guru-guru
Belanda juga saying kepadanya. Sutomo juga gemar berolahraga.
Setelah
menyelesaikan pelajarannya di sekolah dasar, Sutomo bermaksud untuk melanjutkan
pendidikan ke sekolah dokter di Jakarta (STOVIA). Cita-cita Sutomo ini mendapat
dukungan penuh dari orang tuanya.
Saat
menginjak usia 15 tahun, pada 10 Januari 1903, Sutomo bersama 13 orang temannya
yang berasal dari berbagai daerah mendaftarkan diri di STOVIA. Diantara
teman-teman dekatnya terdapat nama Gumbreg, Soeratji, Gunawan Mangunkusumo,
Mohamad Saleh, dan M. Sulaiman.
Saat
menuntut ilmu di STOVIA, Sutomo mendapat cobaan yang berat. Ia mendapat telegram
pada 28 Juli 1907 yang memberitakan bahwa ayahnya telah meninggal dunia.
Kejadian in membawa kesadaran dan perubahan yang sangat besar pada sikap dan
pemikirannya di kemudian hari. Kesadaran itulah yang akan membawanya ke jenjang
kesuksesan sebagai seorang pemuka. Ketika keadaan jiwanya sudah mantap dan
matang, ia bertemu dengan dr. Wahidin Sudiro Husodo.
dr.
Wahidin Sudiro Husodo adalah seorang pensiunan dokter. Ia bercita-cita untuk
mendirikan suatu badan yang menyelenggarakan dana pendidikan bagi anak-anak
yang tidak mampu. Cita-citanya tersebut diwujudkannya dlam bentuk perjalanan
kelilinga Jawa pada akhir 1906-1907. Ia menemui orang-orang terkemuka dan para
bangsawan. dr. wahidin mengajak mereka untuk aktif memikirkan pendidikan bagi
bangsa Indonesia.
Pada
1907, dr. Wahidin pergi ke Banten. Dalam perjalannya tersebut, ia sempat
singgah dan menemui siswa-siswa STOVIA di Jakarta. Di tempat ini, ia bertemu
dengan Sutomo dan Suwaji. dr. Wahidin lalu memaparkan cita-citanya kepada kedua
pemuda itu. Bagi beberapa siswa STOVIA, pertemuan dengan dr. Wahidin sangat
berkesan karena telah membuka wawasan kebangsaan dan cita-cita untuk membela
rakyat kecil. Pertemuan ini memantapkan cita-cita Sutomo untuk membela kaum
lemah dan mematangkan jiwanya.
Selain
dari dr. Wahidin, Sutomo juga mendapat pengaruh dari dr. Douwes Dekker, seorang
Indo-Belanda yang banyak berjuang untuk kepentingan rakyat Indonesia. Tokoh
pergerakan nasional ini mendirikan Indische
Partij bersama dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat atau
yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara.
Tulisan-tulisannya
antara lain di surat kabar Bataviaasch
Nieuwsblad banyak menyerang kebijakan pemerintah colonial Hindia-Belanda
yang bertindak tidak adil dan sewenang-wenang terhadap kaum pribumi. Berbagai
tulisan Douwes Dekker ini sangat besar pengaruhnya kepada bangsa Indonesia,
yaitu mendorong dan mempercepat timbulnya pergerakan nasional. Para pelajar
STOVIA, termasuk sutomo juga telah lama mengikuti surat kabar ini. mereka
sangat terkesan dan terpengaruh akan cita-cita Douwes Dekker.
Setelah
pertemuan dengan dr. Wahidin, para pelajar STOVIA sepakat bahwa “cita-cita yang
luhur tidak mungkin dapat dicapai jika tidak mendirikan sebuah perkumpulan”.
Oleh karena itu mereka berencana membahas hasil pertemuan tersebut.
Pada
hari rabu tanggal 20 mei 1908, kurang lebih pukul 9 pagi, Sutomo dan
kawan-kawannya berkumpul. Mereka berkumpul di dalam ruang kuliah anatomi dan
membicarakan rencana mendirikan suatu perkumpulan. Mereka yang hadir diantaranya
Sutomo, Suwaji, Mohamad Saleh, Suwarno, gunawan Mangunkusumo, M. Sulaiman,
Suwarno, Gumbreg, dan Angka.
Mereka
sepakat memilih nama Budi Utomo (budi yang utama) untuk menjadi nama
perkumpulan mereka. Nama ini lahir ayas usul Suwaji yang diambil dari kata-kata
dr. Wahidin ketika perpisahan dengan Sutomo, yaitu “punika satunggaling pedamelan sae serta nelakeken budi utami” (itu
suatu perbuatan yang baik dan menunjukkan budi yang utama).
Setelah nama Budi Utomo diterima oleh
semua peserta rapat, diadakan pemilihan pengurus. Sutomo kemudian dipilih
menjadi ketua dengan susunan pengurus sebagai berikut.
Ketua : Sutomo
Wakil
ketua : Sulaiman
Sekertaris
I : Suwarno
Sekertaris
II : Gunawan Mangunkusumo
Bendahara : Angka
Komisaris : suwarno dan Mohamad Saleh
Dalam
waktu yang singkat, Budi Utomo mendapat pendukung dan anggota yang banyak. Para
pelajar STOVIA banyak yang masuk menjadi anggota Budi Utomo. Namun,
perkembangan ini mendapat respon negatif terutama dari beberapa ornag guru
STOVIA yang merasa khawatir perkumpulan tersebut pada akhirnya akan melawan
pemerintah Hindia-Belanda. Bahkan, sutomo diancam akan dikeluarkan dari
sekolah.
Dalam
keadaan yang begitu gawat, Sutomo tetap mendapat dukunga yang besar dari
kawan-kawannya dan kepala sekolah, yaitu dr. H. F. Roll. Berkat pengaruh dr. H.
F. Roll, Sutomo dan teman-temannya tidak jadi dikeluarkan dari sekolah dokter.
Bahkan, dr. H. F. Roll memberikan pinjaman uang untuk keperluan kongres Budi
Utomo yang pertama di Yogyakarta.
Setelah
kesulitan pertama berhasil diatasi, Budi Utomo meningkatkan perjuangannya.
Sutomo mengadakan hubungan dengan pelajar-pelajar di kota lain. Ia kemudian
membuka cabang-cabang Budi Utomo di Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Magelang.
Pembentukan cabang di Magelang langsung ditangani oleh Sutomo dan beberapa
pengurus pusat.
Selain
dengan pelajar, para pengurus Budi Utomo juga mendekati para pemimpin dan
pemuka masyarakat di berbagai daerah, antara lain Bupati Cokroadikusumo di
Temanggung, Bupati Jepara R.M.A.A. Kusumo Utoyo, Bupati Serang Pangeran Ahmad
Jayadiningrat, P.A.A. Kusumoyudo di Jakarta, dan Bupati Karang Anyar, R.A.A.T.
Tirtokusumo.
Pada
tanggal 3 Oktober 1908 pukul 21.00, kongres Budi Utomo yang pertama di
Yogyakarta dibuka secara resmi. Kongres ini berlangsung sampai dengan 5 Oktober
1908. Kongres kemudian memilih 9 orang pengurus besar, yaitu sebagai berikut:
1.
R.A.A.T. Tirtokusumo (Bupati Karang
Anyar)
2.
M.B. Dwijosewoyo (Guru dari Yogyakarta)
3.
R. Kuwatin Sosrosugondo (Guru dari
Yogyakarta)
4.
dr. Tjipto Mangoenkoesoemo (Dokter dari
Demak)
5.
dr. Wahidin Sudirohusodo (Dokter dari
Yogyakarta)
6.
R.M. Arjo Suryodiputro (Jaksa dari
Bondowoso)
7.
R.A. Danukusumo (Bupati dari Magelang)
8.
R.M. Panji Gondoatmojo (Paku Alam dari
Yogyakarta)
9.
R.M. Panji Gondosumaryo (Jaksa dari
Surakarta)
R.A.A.T.
Tirtokusumo kemudian dipilih sebagai ketua dan dr. Wahidin Sudirohusodo sebagai
wakil ketua. Kongres yang dipimpin oleh dr. Wahidin ini berhasil menetapakan
serta mengesahkan anggaran dasar. Pada pokoknya tujuan perhimpunan Budi Utomo
ditetapkan sebagai berikut:
a.
Memajukan Negara dan bangsa secara
selaras (harmonis).
b.
Memajukan pengajaran dan kebudayaan,
kesenian, dan ilmu pengetahuan.
c.
Memajukan pertanian, peternakan, dagang,
teknik, dan industri.
Meskipun
kesadaran nasional belum tumbuh betul dikalangan para anggota Budi Utomo,
organisasi ini tetap merupakan pelopor pergerakan nasional di Indonesia. Tujuan
yang diutamakan ialah memajukan dan membina rakyat untuk mencapai kemerdekaan.
Organisasi ini hendak mencapai pertumbuhan yang selaras bagi nusa dan bangsa.
Pada
akhir 1909, Budi Utomo telah memiliki 40 cabang dengan anggota 10.000 orang.
Sutomo tetap memimpin Budi Utomo cabang Jakarta sampai lulus sebaga dokter dari
STOVIA pada 1911.
Setelah
lulus dari STOVIA, daerah pertama dr. Sutomo mula-mula ditugaskan adalah
Semarang. Di kota ini, ia mulai menjalankan tugas pengabdiannya kepada
masyarakat. Disini ia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana sengsaranya
rakyat Indonesia.
dr.
Sutomo hanya bertugas selama setahun di Semarang. Ia kemudian dipindahkan ke Tuban.
Seperti halnya di Semarang, dr. Sutomo hanya bertugas selama setahun di Tuban.
Kemudian ia dipindahkan kembali ke Lubuk Pakam, Sumatera Barat.
Kepindahannya
ke Lubuk Pakam merupakan perjalanan pertama yang dilakukan dr. Sutomo keluar
Jawa. Pengalaman pertamanya di Sumatera Barat lebih memberikan keyakinan pada
dr. Sutomo bahwa pergerakan nasional jangan hanya terpusat di pulau Jawa,
tetapi harus betul-betul meliputi seluruh Indonesia. Oleh karena itu, dr.
Sutomo sering menyampaikan gagasan-gagasannya.
Pada
1914, dr. Sutomo dipindahkan ke Malang, Jawa Timur. Hampir tiga tahun ia
bertugas di daerah ini. pegalamannya semakin lengkap, baik dalam bidang
kesehatan maupun bidang pergerakan.
Ia
juga pernah bertugas di daerah Kepajen, Magelang dan Blora. Dari daerah
tersebut, ia kemudian dipindahkan ke Batu Raja, Sumatera Selatan. Ini merupakan
tugas kedua bagi dr. Sutomo di daerah Sumatera. Pengalaman yang kedua ini ikut
memperkaya hidupnya, baik sebagai seorang dokter maupun pemimpin pergerakan.
Dr.
Sutomo tidak lama bertugas di Batu Raja karena pada 1917 ia ditugaskan di RS.
Blora, Jawa Tengah. RS. Blora merupakan RS zending.
Di RS ini ia berkenalan dengan Ny. E. Burning, seorang juru rawat wanita asal
Belanda yang baru ditinggal suaminya. dr. Sutomo kemudian menikah dengan Ny. E.
Burning.
Pada
1919 dr. Sutomo memperoleh kesempatan belajar di Universitas Amsterdam,
Belanda. dr. Sutomo dan istrinya kemudian pindah ke negeri kincir angin
tersebut. Kehidupan keluarga dr. Sutomo di negeri Belanda dapat dikatakan prihatin.
Sebagian besar waktu Sutomo digunakan untuk menambah pengetahuan. Nafkah yang
diterimanya hanya cukup untuk keperluan sehari-hari. Ny. Sutomo terpaksa
bekerja keras untuk memelihara rumah tangga yang sederhana. Namun kemikian Ny.
Sutomo menerima keadaan ini dengan sabar dan selalu mendampingi suaminya dengan
setia.
Selain
belajar, kesibukan dr. Sutomo di Belanda bertambah karena ia juga aktif dalam
Perhimpunan Indonesia (PI). Organisasi ini adalah perkumpulan mahasiswa
Indonesia di negeri Belanda. perkumpulan ini dengan tegas memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia dan telah memberikan dorongan yang kuat kepada pergerakan
nasional di Indonesia. Kerja sama yang erat antara kaum pergerakan Indonesia dan
PI di Negeri Belanda saat itu berjalan dengan baik.
Pertemuan
dengan tokoh-tokoh PI lainnya seperti Mohammad Hatta, Ahmad Subarjo, Ali
Sastroamijoyo, Sunariyo, Iwa Kusuma Sumantri, dan Nazir Pamuncak di negeri
Belanda semakin mempertebal keyakinan dr. Sutomo bahwa Budi Utomo harus
menanggalkan baju jawanya dan bersifat nasional serta dengan tegas
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Pada
Juni 1923, dr. Sutomo pulang ke Indonesia. Sebelum meninggalkan negeri Belanda,
ia berpesan kepada teman-temannya yang masih tinggal di negeri Belanda, agar
terus berjuang mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Setibanya
di Indonesia, dr. Sutomo bertugas menjadi guru sekolah dasar NIAS (Nederlandse
Indische Artsen School) di Surabaya. Selain menjadi guru, dr. Sutomo menjadi
anggota Dewan Kota(Gemeenteraad) di Surabaya. Keanggotaannya dalam dewan ini
didorong oleh keyakinannya bahwa melalui dewan ini suara rakyat makin cepat
didengar. Keluhan rakyat dapat langsung disampaikan kepada pemerintah
Hindia-Belanda.
Namun,
harapan beliau itu ternyata tidak terwujud karena kedudukannya di dewan dalam
pelaksanaannya tidak menguntungkan rakyat banyak. Kepentingan rakyata yang
sejang awal diperjuangkan tidak dapat diharapkan lagi dalam dewan ini. oleh
karena itu, bersama-sama dengan kawan-kawannya, yaitu R.M.H. Suyono, Sunyoto,
dan Asmiwinangun, dr. Sutomo keluar dari Dewan Kota.
Dalam
kedudukannya sebagai guru sekolah dasar NIAS di Surabaya, keluarga Sutomo
memiliki kehidupan yang lebih baik dibandingkan ketika masih tinggal di
Belanda. Dengan gaji yang cukup, suami-istri itu dapat hidup sejahtera. Ia
tinggal di kota besar dan kemungkinan untuk berpindah-pindah sangat tipis.
Namun,
kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama. Ny. Sutomo jadi sering
sakit-sakitan karena tidak cocok dengan udara kota Surabaya yang panas.
Lama-kelamaan, badan Ny. Sutomo semakin lemah dan kesehatannya semakin menurun.
Akhirnya Ny. Sutomo meninggal dunia pada 17 Februari 1934.
Pergaulannya
dengan para pemimpin PI saat masih belajar di negeri belanda telah menyadarkan
dr. Sutomo bahwa Budi Utomo harus segera menanggalkan baju jawanya dan bersifat
nasional serta dengan tegas memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Saat
itu dr. Sutomo menganggap bahwa perkumpulan Budi Utomo perlu mengalami
perubahan. Mementingkan pengjaran dan kebudayaan saja tidak cukup dalam pergerakan
nasional. Apalagi anggotanya hanya terdiri atas orang yang berkebudayaan Jawa
dan Madura. Karena sifat keanggotaannya tersebut Budi Utomo sudah tidak menarik
perhatian masyarakat luas lagi. Akibatnya, lambat laun Budi Utomo kehilangan
pengikut. Apalagi setelah munculnya perkumpulan yang anggotanya meliputi
seluruh bangsa Indonesia, seperti Serikat Islam (SI) dan Muhammadiyah.
Oleh
karena usulan perubahan yang diajukan kepada pengurus pusat Budi Utomo tidak
mendapat respon yang positif, dr. Sutomo kemudian mendirikan perkumpulan lain.
Perkumpulan itu didirikan pada 11 Juli 1924 dan diberi nama Indonesische Studieclub (IS).
Perkumpulan ini berjuang untung membangkitkan semangat kaum terpelajar supaya
memilki keinsyafan dan kewajiban terhadap masyarakat.
IS
juga menerbitkan majalah bulanan dengan nama Indonesia Muda. dr. Sutomo ikut
membimbing majalah ini dan setiap terbit memberikan tulisan yang berharga.
Melalui majalah ini, dr. Sutomo menguraikan cita-citanya yaitu perjuangan untuk
mencapai kemerdekaan.
Perasaan
persatuan dikalangan pemimpin Indonesia makin lama makin kuat. dr. Sutomo
termasuk salah seorang pemimpin yang dikehendaki persatuan itu. Sesudah
dicetuskannya sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928, jiwa persatuan Indonesia
makin mantap. Kongres para pemuda Indonesia di Jakarta mengakui lagu Indonesia
Raya sebagai lagu kebangsaan.
Pada
16 Oktober 1930, Indonesische Studieclub
(IS) berubah menjadi Partai Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). PBI betul-betul
merupakan partai politik yang tetap diketuai dr. Sutomo. Anggotanya tidak hanya
terbatas pada kaum pelajar, tapi terbuka untuk seluruh bangsa Indonesia. PBI
berusaha menyempunakan derajat bangsa dan tanah air, berdasarkan kebangsaan
Indonesia. PBI bekerja dengan cara mengadakan pidato-pidato dan kursus politik.
Pada
1931, PBI telah memiliki 15 cabang. Pengurus besarnya terdiri atas dr. Sutomo
dan Mr. Soebroto. Setahun kemudian cabangnya sudah berjumlah 30 dengan anggota
2500 orang. Pada Juli 1933, PBI mengadakan rapat tahunan Rukun Tani yang
pertama. Waktu itu Rukun Tani PBI memiliki 158 cabang dan beranggota 2000
orang. Pada tanggal 28 maret-2 April 1934 PBI mengadakan kongres ketiga. Waktu
itu PBI telah memiliki 38 cabang.
Pada
kongres 1935 di Surabaya, disetujui adanya fusi antara Budi Utomo dan PBI.
Keputusan ini kemudian ditindaklanjuti dengan adanya penyelenggaraan kongres
fusi pada 24-26 Desember 1935 di Solo. Partai baru hasil fusi itu diberi nama
Partai Indonesia Raya (Parindra). Tujuan Parindra antara lain sebagai berikut:
a.
Memperkukuh semangat kebangsaan
Indonesia.
b.
Menjalankan aksi politik untuk
memperoleh hak dalam politik dan pemerintahan berdasarkan demokrasi dan
nasionalisme.
c.
Memajukan kehidupan rakyat dalam hal
ekonomi dan sosial.
Dalam
perkembangannya partai baru ini dalam waktu singkat telah memiliki 53 cabang
dengan anggota 2.425 orang di seluruh Indonesia. Parindra kemudian mengadakan
rapat-rapat umum untuk mensosialisasikan tujuannya.
Pada
Maret 1936, dr. Sutomo mengadakan perjalanan ke luar negeri. Negeri-negeri yang
dikunjungi adalah Jepang, Malaka, India, Thailan, Mesir, Belanda, Inggris,
Turki dan Palestina. Semua negeri yang telah dikunjungi dipelajari oleh dr.
Sutomo dengan melihat segala sesuatu yang dapat dijadikan contoh bagi kemajuan
Indonesia. Kisah perjalanan dr. Sutomo tersebut dipaparkan dalam harian
nasional yang terbit dibawah asuhannya, yaitu Suara Umum dan Tempo di Surabaya,
Pewarta Umum di Solo, serta Berita Umum dan mingguan Penyebar semangat di
Surabaya. Buku tentang perjalanannya pernah pula diterbitkan, yaitu Puspita
Manca Negara dan Melawat Ke Mesir.
Perjalanan
dr. Sutomo ke luar negeri memakan waktu kurang lebih setahum lamanya. Setelah
dr. Sutomo sampai di Indonesia, Parindra mengadakan kongres yang pertama di
Jakarta pada 15 Mei 1937. Dalam kongres itu dr. Sutomo dipilih kembali menjadi
ketua umum Parindra. Bersama beberapa pengurus pusat, dr. Sutomo kemudian
mengadakan perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia untuk kepentingan partai
dan kepentingan umum.
Akibat
kesibukan dan pekerjaan yang terlampau berat, dr.Sutomo jatuh sakit dan semakin
parah. Akhirnya pada 3 Mei 1938 dr. Sutomo menghembuskan nafas terakhirnya.
Beliau dikebumikan di halaman Gedung Nasional Surabaya.
LAMPIRAN
TEXT
PIDATO BUNG TOMO 10 NOVEMBER 1945
Bismillahirrahmanirrahim …
Merdeka !!!
Saoedara-saoedara ra’jat djelata di seloeroeh Indonesia,
teroetama, saoedara-saoedara pendoedoek kota Soerabaja. Kita semoeanja telah
mengetahoei bahwa hari ini tentara Inggris telah menjebarkan pamflet-pamflet
jang memberikan soeatoeantjaman kepada kita semoea. Kita diwadjibkan oentoek
dalam waktoe jang mereka tentoekan, menjerahkan sendjata-sendjata jang kita reboet
dari tentara Djepang.
Mereka telah minta supaja kita datang pada mereka
itoe dengan mengangkat tangan. Mereka telah minta supaja kita semoea datang
kepada mereka itoe dengan membawa bendera poetih tanda menjerah kepada mereka.
Saoedara-saoedara, didalam pertempoeran-pertempoeran
jang lampaoe, kita sekalian telah menundjukkan bahwa ra’jat Indonesia di Soerabaja,
pemoeda-pemoeda jang berasal dari Maloekoe, pemoeda-pemoeda jang berasal
dariSoelawesi, pemoeda-pemoeda jang berasal dari Poelaoe Bali, pemoeda-pemoeda
jang berasal dari Kalimantan, pemoeda-pemoeda dari seloeroeh Soematera,
pemoeda Atjeh, pemoeda Tapanoeli & seloeroeh pemoeda Indonesia jang ada
diSoerabaja ini, didalam pasoekan-pasoekan mereka masing-masing dengan
pasoekan-pasoekan ra’jat jang dibentuk di kampoeng-kampoeng, telah
menoenjoekkan satoe pertahanan jang tidak bisa didjebol, telah menoenjoekkan satoe
kekoeatan sehingga mereka itoe terdjepit di mana-mana.
Hanja karena taktik jang litjik daripada mereka
itoe, saoedara-saoedara dengan mendatangkan presiden & pemimpin-pemimpin lainnja
ke Soerabaja ini, maka kita toendoek oentoek menghentikan pertempoeran. Tetapi
pada masa itoe mereka telah memperkoeat diri, dan setelah koeat sekarang inilah
keadaannja.
Saoedara-saoedara, kita semuanja, kita bangsa
Indonesia jang ada di Soerabaja ini akan menerima tantangan tentara Inggris ini.
Dan kalaoe pimpinan tentara Inggrisjang ada di Soerabaja ingin mendengarkan djawaban
ra’jat Indonesia, ingin mendengarkan djawaban seloeroeh pemoeda Indonesia jang
ada di Soerabaja ini. Dengarkanlah ini hai tentara Inggris, ini djawaban ra’jat
Soerabaja, ini djawaban pemoeda Indonesia kepada kaoe sekalian.
Hai tentara Inggris !
Kaoe menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera
poetih takloek kepadamoe, menjuruh kita mengangkat tangan datang kepadamoe,
kaoe menjoeroeh kita membawa sendjata-sendjata jang kita rampas dari Djepang oentoek
diserahkan kepadamoe.
Toentoetan itoe walaoepoen kita tahoe bahwa kaoe sekalian
akan mengantjam kita oentoek menggempoer kita dengan seloeroeh kekoeatan jang
ada. Tetapi inilahdjawaban kita: Selama banteng-banteng Indonesia masih
mempoenjai darah merah jang dapat membikin setjarik kain poetih mendjadi merah
& putih, maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah kepada siapapoen
djuga!
Saoedara-saoedara ra’jat Soerabaja, siaplah keadaan
genting tetapi saja peringatkan sekali lagi, djangan moelai menembak, baroe kalaoe
kita ditembak, maka kita akanganti menjerang mereka itu.
Kita toendjoekkan bahwa kita adalah benar-benar
orang jang ingin merdeka. Dan oentoek kita, saoedara-saoedara, lebih baik kita
hantjur leboer daripada tidak merdeka. Sembojan kita tetap: MERDEKA atau MATI.
Dan kita jakin, saoedara-saoedara, pada akhirnja pastilah
kemenangan akan djatuh ke tangan kita sebab Allah selaloe berada di pihak jang
benar, pertjajalah saoedara-saoedara, Toehan akan melindungi kita sekalian
Allahu
Akbar..! Allahu Akbar..! Allahu Akbar…!
MERDEKA!!!
DAFTAR
PUSTAKA
Saleh, B.A. 2007. dr.
Sutomo. Bandung. CV Citra Praya.
Pidato Bung Tomo 10 November 1945. (http://www.klikunic.com/2010/11/pidato-bung-tomo-10-november-1945.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar