MENGENAL BOEDIONO
Siapakah Boediono itu?
Boediono
lahir di kampung Kepanjen Lor, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, pada 25 Februari
1943. Beragama Islam Dalam bahsa Jawa, Boedi dapat diartikan sebagai berbaik
hati (berbudi luhur). Sedangkan Ono, dapat diartikan adalah ada. Jadi kalau
digabung Boediono berarti Ada Kebaikan.
Sewaktu
muda, Boediono menuntut ilmu sampai ke Negara sing, ia harus tinggal di Negara
yang berbudaya Barat, namun ia tidak pernah meninggalkan basis kulturalnya
sebagai orang Jawa asli Blitar yang memiliki latar belakang adat istiadat dan
budaya kesantunan tersebut. Hingga menjadi Menteri pun, atau menjabat Gubernur
Bank Central, dan menjadi calon Wakil Presiden, Boediono tidak pernah berubah
menjadi orang yang santun. Tidak pernah terlintas menjadi arogan dan berpamer
diri.
Titisan Soekarno
Dalam
perspektif budaya Jawa, Boediono, boleh dikata sebagai “titisan” Soekarno (Bung
Karno, presiden RI petama). Bukan secara kebetulan kalau keduanya dilahirkan
dari kota yang sama, yaitu Blitar. Semikian juga halnya dalam soal memandang
politik ekoniomi, memiliki kemiripan persepsi, sama-sama konsentrasi terhadap
pengembangan perekonomian rakyat.
Soekarno
dulu menerapkan konsepsi dasar pemikiran perekonomian Berdikari – Berdiri di
atas kaki sendiri. Boediono kini menerapkan konsepsi perekonomian nasional.
Menggunakan dasar ideologisnya sama, konsentrasi terhadap jiwa nasionalisme.
Pandangannya pun sama, tetap berpegang teguh pada kepentingan perekonomian
nasional dengan memanfaatkan modal asing dan bantuan internasioanl sebagai
pelengkap utuk kemakmuran rakyat, demi perekonomian dalam negeri. Kalau kata
orang-orang asingitu banyak tingkah, ingin mengatur macam-macam, lalu apa kata
Presiden Soekarno Go to hell with your
aid. Persetan dengan bantuanmu!.persis sebagaimana tindakan Boediono dalam
mendukung kebijakan Presiden SBY : “Enyahkan
IMF, dan bubarkan CGI”.
Muslim yang Soleh
Boediono
dikenal seorang muslim, seorang santri yang sholeh. Menurut kesaksian KH Maktub
Effendi, rais am Jam’iyyah Ahli Thoriqoh Mutabaroh Indonesia, di kala muda,
Boediono pernah menjadi santri Kyai Haji Thohir Wijaya, pemilik dan pemimpin
Pondok Pesantren di Blitar.
Pada
waktu itu, KH Thohir Wijaya telah memberikan pelajaran amalan zikir kepada
Boediono. Amun belum sempat membaitkannya sebagai anggota terekat ikrar ke
mursyid (guru), karena Boediono keburu meninggalkan Indonesia untuk studi ke
luar negeri.
Boediono
tinggal lama di luar negeri, hal inilah yang kemudian menimbulkan penilaian
orang terutama untuk konsumsi politik Boediono dianggap bukan muslim. Sebuah
penyesatan informasi yang nampak ingin menjatuhkan citra Boediono sebagai
seorang muslim sejati.
Menanggapi
hembusan itu, nampak Boediono tenang-tenang saja, karena beliau tahu, hanya
Tuhan yang akan memberikan keadilan bagi orang-orang yang suka menzalimi.
Bagaimana mungkin Boediono dikatakan bukan seorang muslim, tidak memperjuangkan
aspirasi dan kepentingan perekonomian umat Islam di Indonesia. Kalau
diperhatikan, Undang-Undang Surat Berharga Syariah Negara dan Perbankan yariah,
keduanya lahit saat Boediono menjadbat Menko Perekonomian.
MENGARUNGI PERJALANAN HIDUP
BOEDIONO
Sewaktu
kecil, Boediono tinggal bersama kedua orangtuanya, di kampung Kepanjen Lor,
Blitar, Jawa Timur. Beliau anak dari pasangan Ahmad Siswo Harjono dan Samilah.
Ia anak sulung, dengan dua adiknya bernama Tutik (perempuan) dan Kuncoro Jati
(laki-laki). Ayahnya menghidupi keluarganya dengan berjualan batik, runag tamu
yang hanya seluas 3x8 meter, diubah fungsinya menjadi took batik. Hasil
berdagang batik ini belum cukup untuk penghidupan keluarga sederhana ini.
Ibunya, Ibu Samilah membantu mencari tambahan hasil dengan berjualan perhiasan.
Kondisi keuangan keluarga inilah yang mengajarkan kepada pribadi Boediono untuk
selalu hemat, menghargai uang yang tidak gampang dicari dan mengajarkan pola
hidup sederhana. Hingga kini Boediono memiliki tabungan sebesar Rp. 18 miliyar,
namun belaiau tetap berpegang teguh dengan gaya hidup sederhananya.
Pendidikan
Boediono,
yang lahir dari keluarga tidak berkecukupan itu menyadari, hanya pendidikanlah
satu-satunya cara untuk mengubah nasib hidup, dari tidak mampu emnjadi
berkemampuan. Maka ia bulatkan tekad untuk sukses menempuh pelajaran di
sekolahnya.
Boediono
menempuh pendidikan dari sekolah dasar hingga menengah atas diselesikan di
Blitar. Tahun 1957, ia masuk SMA Negeri 1 Blitar sebagai angkatan ketiga sejak
SMA itu berdiri yang merupakan satu-satunya SMAdi Blitar waktu itu. Boediono
teemasuk murid paling muda, teman-temannya rata-rata umurnya jauh diatasnya.
Pelajaran sekolah yang paling disukai adalah ilmu hitung dagang dan ekonomi.
Setelah
lulus SMA, pada tahun 1960, Boediono diterima di Fakultas Ekonomi Universitas
Gajah Mada. Untuk mengurangi beban biaya kuliah agar tiodak memberatkan orang
tuanya, Boediono berusaha berprestasi untuk mendapatkan beasiswa. Usahanya
berhasil, setelah naik tingkat II, Boediono mendapatkan beasiswa dari badan
internasional Clombo Plan, namun ia harus meninggalkan “Gadjah Mada”, dan
meneruskan kuliah di Australia. Tekadnya bulat. Iamendapatkan restu dari orang
tuanya, ia harus tinggalkan Indonesia, dan merampungkan studi ekonominya di
Negara kangguru tersebut.
Prestasi dan Penghargaan
Boediono
memperoleh gelar Bachelor of Economics (Hons) dari Universitas Western
Australia pada tahun 1967. Lima tahun kemudian, gelar Master of Economics
diperolehnya dari Universitas Monash. Kemudian pada tahun 1979, ia mendapatkan
gelar S3 (Ph.D.) dalam bidang ekonomi dari Wharton School, Universitas
Pennsylvania, Amerika Serikat.
Serangkaian
pendidikannya itu diperoleh berkat adanya bea siswa, maka ia dikesankan sebagai
“spesialis bea siswa”. Ia berangkat dari ketidakberdayaan ekonomi menuju
kedigdayaan ekonomi. Kuncinya adalah penguasaan ilmu ekonomi.
Setelah
menyelesaikan studi di luar negeri, ia kembali ke Indonesia. Ia masuk kerja di
sebuah bank di Jakarta. Pada tahun 1972, ia kembali ke kampusnya Gadjah Mada,
menjadi dosen regular. Boediono mendapatkan penghargaan Bintang Mahaputra
Adipradana tahun 1999, dan Distinguished International Alumnus Award dari
University of Western Australia pada tahun 2007.
Perubahan Nasib
Kecintaan
Boediono terhadap ilmu ekonomi telah ikut mengubah nasibnya, dari anak tak
mampu menjadi berkemampuan. Pada tahun 1990-an, Boediono yang mempunyai
kebiasaan menulis menuangkan gagasan dan pikirannya dalam sebuah artikel
mengenai pembangunan Indonesia. Rupanya artikel itu dibaca dan dicermati oleh
JB Sumarlin yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional. Sumarlin tertarik artikel Boediono tersebut. Tidak berapa
lama, Boediono dipanggil ke Jakarta, dan oleh Sumarlin ditawari posisi menjabat
Kepala Biro Ekonomi. Tawaran kerja baru itu pun diterima oleh Boediono.
Pada
periode tahun 1997-1998, ketika Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi yang
berujung pada berakhirnya jabatan Presiden Soeharto, Boediono diangkat
menduduki jabatan sebagai Direktur III Bank Indonesia Urusan Pengawasan Bank
Perkreditan Rakyat. Prestasi Boediono dinilai cukup baik, sehingga settahun
kemudian ia dialihkan untuk menempati posisi Direktur I Bank Indonesia Urusan
Operasi dan Pengendalian Moneter.
Pada
era pemerintahan Presiden BJ Habibie, tahun 1998-1999, Boediono diangkat
menjabat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Ketua Bappenas
Kabinet Reformasi Pembangunan.
Pada
pemerintahan Megawati Soekarnoputri tahun 2001-2004, Boediono diangkat menjadi
Menteri Keuangan Kabinet Gotong Royong. Pada bulan Desember 2005, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono meminta Boediono, mantan Menteri Keuangan Kabinet
Gotong Royong (Presiden Megawati) untuk masuk memperkuat tim ekonomi Kabinet
Indonesia Bersatu, menggantikan Aburizal Bakrie. Presiden menilai Boediono
mampu mengelola makro-ekonomi yang waktu itu belum didukung pemulihan sector
riil dan moneter.
Ketika
itu Indonesia terancam menghadapi krisis tajam ketika memasuki tahun 2004. Hal
ini mungkin terjadi jika Indonesia secara bersama-sama gagal mengatasi tiga
program yakni berakhirnya program Dana Moneter Umum 2004, dan soal integritas
wilayah.
Masa
transisi pasca program IMF sangat rawan, bukan hanya menyangkut masalah dana
tetapi juga menyangkut rasa percaya (confidence) pasar. Untuk mengatasi hal
itu, Presiden SBY memprtcayakan kepada Boediono. Oleh karena itu, ketika akan
dilangsungkan Pilpres bulan 2009, Presiden SBY meminta Boediono untuk bersedia
menjadi calon wakil presiden mendampingi dirinya. Permintaan SBY itu tidak seta
merta langsung diterimanya begitu saja. Boediono meminta waktu untuk berpikir
jernih dan meminta pertimbangan kepada keluarga. Pada akhirnya tawaran itu
diterimanya, disambut baik oleh Boediono yang mengaku dekat dan cocok
bekerjasama dengan SBY selama bertahun-tahun sebelumnya, yakni ketika
menjalankan tugas sebagai menteri. Waktu itu Boediono menjabat sebagai Menteri
Keuangan,sedangkan SBY sebagai Menteri Polkam.
PANDANGAN EKONOMI
Ekonomi dan Demokrasi
Boediono
mengungkapkan, neoliberal yang dicapka pada dirinya hanya sebuah label yang
tidak jelas juntrungannya. Dalam pandangannya, neoliberal tak pernah
dipraktikan dalam kebijakan perekonomian nasional Indonesia selama Boedinono
menjadi menteri. Dalam program kampanyenya boediono banyak mengetengahkan tiga
kata kunci : Pertama, kesejahteraan
rakyat. Kedua, pemerintahan yang
bersih. Ketiga penguatan demokrasi.
Bangsa
Indonesia telah memiliki jalur demokrasi untuk membangun Negara ini. Pilihan
itu adalah benar. Selanjutnya, dengan menarik pelajaran dari pengalaman sendiri
dan pengalaman Negara-negara lain yang mengikuti jalur ini, bangsa Indonesia
memperoleh gambaran mengenai jalan yang kemungkinan akan dilalui ke depan.
Demikian pokok-pokok pikiran yang disampaikan oleh Prof Dr Boediono, yang waktu
itu menjabat Menko Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu. Saat menyampaikan
orasi ilmiah yang berjudul “Dimensi Ekonomi Politik Pembangunan Indonesia”
sewaktu pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah
Mada (UGM), di Balai Senat UGM, Jogyakarta, tanggal 24 Februari 2007.
Menurut
Boediono, pada tahap awal factor ekonomi sangat menentukan pelaksanaan
demokrasi. Kemungkinan kegagalan demokrasi sangat tinggi pada tingkat
penghasilan per kapita rendah, dan secara progresif menurun dengan kenaikan
penghasilan. Apabila dihitung, tahun 2006 penghasilan per kapita sekitar 4.000
dollar AS, sedangkan batas kritis bagi demokrasi sekitar 6.000 dolar AS.
Indonesia belum dua pertiga jalan menuju batas aman bagi demokrasi.
Sejumlah
studi empiris lain, terutama oleh para ekonom menyimpulkan, demokrasi bukan
penentu utama prestasi ekonomi. Bagi Negara-negara berpenghasilan rendah,
penegakan hukum lebih menentukan kinerja ekonomi daripada demokrasi.
Kedua,pemerintahan yang bersih. Apabila kesimpulan ini benar, lanjutannya, maka
Negara-negara berpenghasilan rendah dapat memacu pertumbuhan ekonominya,
meskipun mereka belum siap menerapkan demokrasi, asalkan dapat memperbaiki
penegakkan hukum. Tetapi, eperti yang telah disinggung tadi, dengan
meningkatkanya kemakmuran, demokrasi akan makin “diminta” oleh masyarakat.
Karya dan Publikasi
Boediono
sebagai ekonom dikenal produktif berkarya tulis, beberapa karya tulisnya yang
sempat dipublikasikan, antara lain :
1. Mubyarto,
boediono, Ace Partadiredja. 1981. Ekonomi
Pancasila. BPFE. Yogyakarta.
2. Boediono.
2001. Indonesia menghadapi ekonomi global.
BPFE. Yogyakarta.
3. Boediono.
Strategi Industrialisasi : Adakah Titik
Semu ? Prisma Tahun CV, No.1. (1986)
4. The International Monetary Fund
Support Program in Indonesia: Comparing Implementation Under Three Presidents.
Bulletin of Indonesia Economic Studies, 38(3): 385-392, Desember 2002.
5. Kebijakan Fiskal : Sekarang dan
Selanjutnya?. Dalam Subiyantoro dan S.Riphat (Eds.).
2004. KEbijakan Fiskal : PEmikiran, Konsep dan implementasi. Penerbit Buku
Kompas, 43-55 pp.
6. Professor
Mubyarto, 1938-2005. Bulletin of Indonesia Economic Studies 41(2):159-162,
August 2005.
7. Stabilization in A Period of
Transition: Indonesia 2001-2004. Dalam The Australian Government-Thhe Treasury, Macroeconomic Policy and
structural Change in East Asia : Conference
Proceedings, Sydney (2005), ISBN 0 642 74290 1, 43-48 pp.
GUBERNUR BANK INDONESIA
Sejak
era reformasi, hampir semua Gubernur Bank Indonesia, bermasalah. Mulai dari
Sudrajat Djiwandono, Sjahril Sabirin, dan Burhanuddin Abdullah. Hanya Boediono
yang selamat.
Gubernur
Bank Indonesia dan jajarannya mempunyai peran dan tanggung jawab yang besar
terhadap kondisi keuangan Negara. Telah menjadi perbincangan umum, posisi
tertinggi dalam BI sejak lama menjadi incaran partai politik. Sebab dia
merupakan pemimpin lembaga yang begitu independen. Undang-undang Nomor 3 Tahun
2004 tentang BI yang biasa disebut sebagai UUBI, yang berlaku saat ini,
menjamin lembaga BI tidak “tersentuh” pemerintah, terlebih dalam kebijakan
pengelolaan moneter. Itu berarti urusan peredaraan uang Negara sepenuhnya
menjadi kebijakan Gubernur dan Dewan Gubernur Bank Indonesia. Posisi ini amat
menarik bagi banyak kalangan termasuk para politisi di parlemen yang suka
menyoroti soal indenpendensi BI dan menjadi ajang perebutan untuk meraih
jabatan Gubernur bagi kelompok penting tersebut.
Akhirnya
terbit Keputusan Komisi XI DPR, Boediono ditetapkan sebagai Gubernur BI periode
2008-2013, pada tanggal 9 April 2008, DPR mengesahkan Boediono sebagai Gubernur
BI menggantikan Burhanuddin Abdullah. Penetapan Boediono merupakan calon
tunggal yang diusulkan Presiden SBY dan pengangkatannya pun didukung oleh
Burhanuddin Abdullah, Menkeu Sri Mulyani, Kamar Dagang Industri (Kadin),
seluruh anggota DPR, terkecuali fraksi PDIP yang tetap menolak.
Terpilihnya
Boediono, secara otomatis telah mengakhiri isu konflik antara eksekutif dan
legislative yang sempat menghebohkan itu. Setelah diangkat menjadi Gubernur BI,
Boediono berusaha keras membenahu budaya dan pengertian indepedensi yang dianut
Bank Indonesia.
BOEDIONO
Mencerminkan Pribadi Bersahaja,
Santun, Pekerja Keras,
Mumpuni, Cermat dan Cinta Kasih
Sebuah
fenomena kehidupan bernegara yang berlangsung setiap lima tahun sekali
pergantian kepemimpinan nasional, Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih
langsung oleh rakyat, telah melahirkan sejumlah analisis prediksi kualitatif.
Terpilihnya
Boediono sebagai Cawapres yang mendampingi Capres SBY pada Pilpres 8 juli 2009,
selain menunjukan kecenderungan agenda pembangunan lima tahun mendatang yang
Nampak lebih berkonsentrasi pada pembangunan ekonomi ketimbang bidang bidang
lain telah dapat terbaca sejak awal.
Tantangan
Indonesia pada perjalanan lima tahun kedepan, secara normative lebih
beraksentusipada jalur tuntutan peningkatan kesejahteraan rakyat dan tema
pemberantasan kemiskinan yang berkaitan dengan usaha penciptaan lapangan kerja,
itulah agenda utama Indonesia. Untuk itu, jabatan politik tertinggi harus
memiliki visi dan misi ekonomi yang menunjang. Wapres harus berkemampuan
menguasai ilmu ekonomi dan telah terpuji secara empiris melahirkan kebijakan
yang tepat. Pilihannya jatuh pada Boediono yang bukan belatar belakang orang
bismis (pelaku bisnis), tetapi seorang akademisi yang visioner membangun
negeri.
TAMBAHAN dari SUMBER LAIN
Riwayat Hidup Boediono:
Nama : Prof. Dr. Boediono
Tempat/Tanggal Lahir : Blitar, Jawa Timur/25
Februari 1943
Anggota Keluarga:
- Nama Istri : Herawati Boediono
- Nama Anak : Ratriana Ekarini dan Dios
Kurniawan
Riwayat Pendidikan
- Sarjana Ekonomi di University Of Westren,
Australia (1967)
- Master di bidang ekonomi dari Monash
University, Australia (1972)
- Doctor of Phhilosophy (Dr) dari Wharton
School, University of Pennsylvania, AS (1979)
- Profesor dari Universitas Gadjah Mada (2006)
Riwayat pekerjaan
- Dosen (1973-hingga sekarang)
- 1988-1993 menjabat Deputi Ketua Bidang Fiskal
dan Moneter Bappenas
- 1993-1998 Menjabat sebagi Direktur (saat ini
setara Deputi Gubernur) Bank Indonesia
- 1998-1999 menjabat Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
- 2001-2004 Menjabat Sebagai Menteri Keuangan
- 2008-2013 Menjadi Gubernur Bank Indonesia
Boediono adalah seorang ekonom
jenius yang memuncaki karir politik sebagai wakil presiden Indonesia periode
2009-2014. Sebelum merambah dalam dunia birokrasi dan politik, Boediono
tercatat sebagai guru besar Fakultas Ekonomi UGM. Ia dikenal cakap dan brilian
menangani dan memecahkan permasalahan ekonomi Indonesia hingga dipecaya dalam
jabatan penting mulai dari menteri keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dalam
era Presiden Megawati. Selama menjabat Menkeu beliau
berhasil membenahi bidang fiskal, masalah kurs, suku bunga dan pertumbuhan
ekonomi.
Boediono lahir di Blitar, Jawa
Timur, 25 Februari 1943 menikah dengan Herawati memiliki dua anak Ratriana
Ekarini dan Dios Kurniawan. Gelar Master of Economics diperolehnya dari Monash
University, Melbourne, Australia (1972) dan gelar doktor ekonomi di Wharton
School University of Pennsylvania, AS tahun 1979. Boediono dan Sri Mulyani
berhasil menstabilkan kurs rupiah pada kisaran Rp 9000-an per dolar AS dan suku
bunga bank dalam posisi baik sehingga merangsang kegiatan bisnis dan dampaknya
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pria berpenampilan kalem dan santun serta
terukur berbicara itu juga dinilai mampu membuat situasi ekonomi yang kacau
menjadi kondusif.
Saat baru menjabat Menkeu, langkah
pertama yang dilakukan berpenampilan rapih dan low profile itu adalah
menyelesaikan Letter of Intent dengan IMF yang telah disepakati sebelumnya
serta mempersiapkan pertemuan Paris Club September 2001. Paris Club ini
merupakan salah satu pertemuan penting karena menyangkut anggaran 2002. Setelah
itu, dia bersama tim ekonomi Kabinet Gotong-Royong, secara terencana mengakhiri
kerjasama dengan IMF (Dana Moneter Internasional) Desember 2003.
Departemen Keuangan di bawah kendali
pria kelahiran Blitar, Jawa Timur, 25 Februari 1943, itu pun berhasil melampaui
masa transisi pascaprogram IMF, yang sebelumnya sudah dia ingatkan akan sangat
rawan, bukan hanya menyangkut masalah dana, tetapi juga menyangkut rasa percaya
(confidence) pasar. Apalagi kala itu, Pemilihan Umum 2004 juga berlangsung.
Kondisi rawan itu pun berhasil dilalui tanpa terjadi guncangan ekonomi.
Sebagai Menteri Keuangan dalam
Kabinet Gotong Royong, ia berhasil memperbaiki keuangan pemerintah dengan
sangat baik sehingga mampu membawa Indonesia lepas dari bantuan Dana Moneter
Internasional. Tak heran bila majalah BusinessWeek (AS), memberi Boediono
pengakuan sebagai tokoh yang kompeten di posisinya sebagai menteri keuangan. Ia
dipandang sebagai salah seorang menteri yang paling berprestasi dalam Kabinet
Gotong Royong.
Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan perombakan
(reshuffle) kabinet pada 5 Desember 2005, Boediono diangkat menggantikan Aburizal Bakrie menjadi Menteri Koordinator bidang Perekonomian dan
mengangkat Sri Mulyani menggantikan Jusuf Anwar sebagai Menteri Keuangan.
Presiden berharap Boediono akan mampu membenahi kinerja ekonomi Indonesia,
terutama di sektor riil dan terkait dengan tingginya laju inflasi saat ini
menyusul kenaikan harga BBM pada 1 Oktober 2005 diiringi tingginya tingkat
konsumsi pada bulan puasa Ramadhan dan Lebaran November 2005. Puncak karir
Boediono terjadi pada Pemilu 2009 bersama SBY terpilih menjadi wakil presiden
mendampingi SBY hingga tahun 2014.
REFERENSI
(Referensi Utama)
Yuwono, Son. Boediono “Titisan” Soekarno dari Blitar. 2009. Jakarta : Golden
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar