Sjahrir lahir pada tanggal 5 Maret 1909 di Padang Panjang, Sumatra
Barat sebagai anak Moh. Rasad Gelar Maha Raja Soetan (asal Kota Gedang, Bukit
Tinggi) yang jabatan terakhirnya ialah Hoofd Jaksa pada Landraad di Medan.
Masa jadi pelajar AMS A di Bandung (1926-1929)
Sesudah menamatkan Europese Langere School dan Mulo di Medan tahun
1926, ia melanjutkan sekolah di Algemeene Middelbare School, jurusan Westers
Klassiek di Bandung. Sjahrir tiba di Bandung pada tahun 1926 waktu PKI
mengadakan pemberontakan di Pulau Jawa dan waktu pemerintahan Hindia Belanda
mengambil tindakan terhadap para pemimpin PKI dengan membuang mereka ke Boven
Digeol.
Sjahrir sebagai pemuda selalu mengikuti perkembangan dengan membaca
surat kabar Belanda AID (Algemeene Indische Dagblad) yang diterbitkan
oleh Vorkink dan ditempelkan di atas papan agar dapat dibaca oleh khalayak.
Sebagai seorang pelajar Sjahrir telah menunjukkan sifat kritisnya dengan lebih
mengutamakan pengertian daripada sekedar menghafalkan pelajaran. Sifat-sifat
ini terutama menonjol pada mata pelajaran sejarah dan bahasa Latin. Sjahrir
tidak hanya mempelajari bahasa Latinnya saja tetapi mengajukan
pertanyaan-pertanyaan tentang filsafah dan sejarah Kerajaan Romawi.
Perhatiannya terhadap perkembangan masyarakat Indonesia timbul dengan adanya
pemberontakan PKI dan dia berusaha memahami serta mendalami filsafah dan
sejarah perkembangan masyarakat, negara dalam kemanusiaan.
Dalam usaha semuda itu Sjahrir telah menghubungkan ilmu dan
pengetahuan dengan perkembangan masyarakat. Dia menarik perhatian di sekolah
karena kecerdasannya, ketajaman berpikir, cepat menangkap isi dan arti
soal-soal yang ia lihat, dengar atau baca.
Bersama-sama temannya di AMS ia berhimpun dalam suatu study club
yang bernama Patriae Scientiaeque (PSQ), artinya: untuk tanah air dan ilmu
pengetahuan. Sjahrir pada tahun 1927 juga aktif dalam organisasi pemuda yang
berasaskan persatuan bangsa yaitu Jong Indonesia ia aktif dalam aksi
pemberantasan buta huruf. Di samping kegiatan-kegiatan kemasyarakatan ia pun populer
karena sifat-sifat pribadinya yang simpatik, murah senyum, selalu bergembira,
bersikap terbuka serta bebas terhadap siapa pun. Ia suka musik dan pandai
menggesek biola. Ia giat dalam olahraga, khususnya olahraga sepak bola.
Sejak mudanya Sjahrir tidak melihat dan merasakan sebagai suatu
persoalan yang harus dipertentangkan yaitu kegiatan kerakyatan, kejelataan dan
kebangsaan dengan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang yang datang dari dunia
Barat. Kecerdasan dan ketajaman pikirannya disertai dengan jiwa bebas dan wajar
telah menyebabkan ia pada usia masih muda melihat dan memiliki pengetahuan
tentang keadilan, kebenaran dan kejujuran.
Melihat ketidakadilan dalam kolonialisme
Sjahrir melihat
dalam kolonialisme dan penjajahan Belanda ketidakadilan, kejujuran dan
ketidakbenaran pemerintah Hindiu Belanda memperlakukan bangsa dan rakyat
Indonesia. Dalam usia semuda itu Sjahrir sudah memiliki pengertian dan
kesadaran tentang kolonialisme dan kekuasaan Hindia Belanda yang mengutamakan
kekuasaan ketimbang menegakkan keadilan dan kebenaran, terutama untuk bangsa
dan rakyat Indonesia. Sebaliknya Sjahrir lebih mementingkan pengertian daripada
mengembangkan rasa benci dan permusuhan terhadap bangsa Belanda dan dunia
Barat. Oleh sebab itulah ia berani dan wajar dimana saja bertukar pikiran dan
menyatakan pendapatnya tentang kolonialisme dan penjajahan dengan tidak
mempunyai rasa benci dan permusuhan terhadap bangsa Belanda. Akibat kegiatannya
di dalam masyarakat ia beberapa kali dipanggil menghadap rektor sekolahnya. Tetapi Sjahrir tidak merasa takut terhadap
ancamannya, teguran dan tidak mempunyai rasa benci terhadap rektor sekolahnya.
Ia menjadi terkenal di kalangan sekolah AMS di Bandung bahwa rektor Dr. Bessem
dengan perasaan jengkel dan secara mengolok-olok bertekuk lutut di depan
muridnya yang penuh semangat dan penuh keyakinan itu sambil berkata, “Ik geef
my gewonnen, o wyze heer” (saya menyerah, ya Tuan yang amat tahu).
Tidak hanya dia
berani terhadap rektor dan guru-guru Belanda yang pada saat itu dianggap
sebagai dewa oleh para murid pada umumnya, tetapi juga terhadap pemimpin
nasional yang pada waktu itu sedang menanjak namanya seperti Bung Karno sebagai
ketua PNI yang didirikan pada tanggal 4 Juli 1927, Sjahrir berani menegurnya
dalam suatu rapat organisasi Pemuda Indonesia yang dipimpin oleh Sjahrir.
Soekarno sebagai
ketua PNI diminta memberikan pengarahan pada rapat tersebut. Pada waktu itu
timbulah perdebatan seru antar Bung Karno dengan seorang peserta puteri dari
Pemuda Indonesia (PI) yang bernama Soewarni. Bung Karno mengemukakan saran dan
keinginanya dengan cara beragitasi serta mmenggunakan bahasa Indonesia, bahasa
Sunda, bahasa Belanda. Sjahrir berusaha menenangkan suasana dan menyarankan
kepada Bung Karno agar membatasi pada soal-soal pokok saja yang mudah dapat
dimengerti oleh otak orang-orang muda dan jangan menggunakan bahasa Belanda
dalam rapat nasional ini. Seluruh peserta kaget melihat keberanian Sjahrir
tersebut. Sebaliknya Bung Karno menyampaikan permintaan maaf kepada pimpinan
rapat, kemudia rapat berjalan dengan baik. Di sini kelihatan lagi Sjahrir lebih
mengutamakan pengertian daripada mengorbankan agitasi dan permusuhan.
Setamat dari AMS
tahun 1929, Sjahrir melanjutkan pelajarannya ke negeri Belanda mengikuti
keluarga Dr. Djuhana, sebab Ny. Djuhana ialah kakak Sjahrir.
Kegiatan sebagai mahasiswa di Nederland (1929-1931)
Sjahrir meneruskan
pelajaran pada Universitas Amsterdam. Setibanya di negeri Belanda dia langsung
menghubungi pengurus Amsterdamsche Sociaal Democratische Studenten Club. Sjahrir
merupakan mahasiswa Indonesia pertama yang mencari hubungan dengan perkumpulan
mahasiswa sosialis. Perkumpulan mahasiswa sosialis adalah suatu organisasi yang bebas dan tidak
merupakan bagian dari SDAP, tetapi banyak berhubungan dengan sayap kiri SDAP
(Sociaal Democratische Arbeiders Partij = Partai Buruh). SDAP sebagai partai
partai sosial demokrat menentang kolonialisme dan menghendaki Indonesia merdeka
dengan jalan evolusi.
Sjahrir sebagai
mahasiswa sesuai dengan semangat mudanya ingin merangkul seluruh kemanusiaan,
terutama rakyat jelata atau sekurang-kurangnya kaum buruh. Oleh sebab itulah ia
secara sepiritual menyemplungkan diri dalam proletariat.
Menyelami kehidupan kaum buruh
Sjahrir berpandangan kehidupan sosialisme yang sesungguhnya dapat
ditemukan pada klas pekerja. Pengertian mengenai klas pekerja dan solidaritas
dengan mereka hanya dapat diperoleh dengan turut dalam kehidupan mereka. Sjahrir
juga mengikutsertakan seorang mahasiswa wania yaitu Maria Ulfah agar
menggunakan kesempatan di negaeri Belanda, negeri yang merdeka, ikut menyelami
kehidupan kaum buruh.
Dalam usahanya menyelami sosialisme dan gerakan sosialis ia
menceburkan diri dalam gerakan Sekretariat Federasi Buruh Transport
Internasional (Internasional Transport Workers Federation) yang pada waktu itu
memainkan peranan internasional yang penting.
Sebagai mahasiswa Indonesia Sjahrir menjadi anggota Perhimpinan
Indonesia (PI) yaitu suatu gerakan mahasiswa di negeri Belanda yang pada waktu
ketuanya ialah Mohammad Hatta dan tiga orang anggota PI yaitu Abdul Madjid
Djojohadiningrat, Nazir Pamuntjak dan Ali Sastroamidjojo. Hatta pada waktu
Sjahrir bergabung pada PI mempersiapkan beberapa orang kader untuk
menggantikannya sebagai ketua PI. Mahasiswa-mahasiswa yang direncanakan oleh
Hatta untuk menggantikannya sebagai ketua PI berturut-turut ialah Abdul Sjukur,
Roesbandi, dan Sjahrir yang baru datang dari Indonesia.sesuai dengan rencana,
Hatta dalam tahun 1929 mengundurkan diri sebagai ketua dan digantikan oleh
Abdul Sjukur. Semasa Hatta menjadi ketua PI pada tahun 1927 dia menjadi ketua
Delegrasi Indonesia menghadiri Kongres Internasional Anti Penindasan Kolonialisme
dan Imperalisme. Pada akhir kongres diputuskanlah kongres itu diubah menjadi
suatu badan yang dinamakan League Against Imperialism and for National
Independence (Liga Anti Imperialisme dan Untuk Kemerdekaan Nasional). Liga ini
mempunyai seksi di negeri Belanda dan PI merupakan pusat dan penggeraknya.
Pemerakarsa pembentukan Liga ialah seorang komunis Jerman Willy Muzenberg pada
tahun 1927. Orang komunis membuat sel-sel di Liga dan di Belanda orang komunis
membuat sel-sel di PI, sehingga kaum komunis berhasil mencapai kemenangan dalam
PI dan tindakan mereka adalah menyingkirkan setiap orang yang membantah
pengaruh komunis. Waktu itu yang menjadi ketua PI ialah Abdullah Sjukur yang
kurang berwibawa. Anggota PI yang beraliran komunis dan mempunyai pengaruh
besar adalah Rustam Effendi, Abdul Madjid dan Setiadjid.
Hatta berusaha keras agar PI keluar dari Liga karena menurut Hatta
Liga telah menjadi komunis yang sangat ekslusif. Hatta menulis dalam Majalah PI
dan di sana di antaranya ada kalimat yang berbunyi “Kita tidak mau dijadikan
kuda penarik kereta Moskow”
Orang-orang komunis memecatnya dari PI
Orang-orang komunis dalam PI yaitu Rustam Effendi, Abdul Madjid dan
Setiadjid berhasil dalam suatu rapat pleno memecat Hatta dan Sjahrir dari
keanggotaan PI. Pemecatan Hatta dan Sjahrir dari PI terjadi pada tanggal 27
November 1931. Buat Hatta yang dalam masa jabatan ketua PI menjadi organisasi
politik yang menggariskan strategi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia,
pemecatan itu dirasakannya sebagai suatu pukulan berat dan menggoyahkan
kepercayaan pada dirinya sendiri. Hatta juga merasakan reputasinya dirusak oleh
orang-orang komunis. Sjahrir yang pada waktu itu berumur 21 tahun sama sekali
tidak gentar oleh pengumuman tentang pemecatan dirinya. Ternyata Sjahrir tidak
panik, ia tidak diintimidasikan semenit pun oleh deklarasi resmi atau pura-pura
resmi, tidak ditakuti oleh komunike atau formulasi lain, tidak takut sedetik
pun terhadap manuver-manuver yang langsung menantang dia, apabila khawatir
mengenai reputasinya.
Percampuran kepercayaan diri dan realisme serta keberanian yang
berdasarkan tidak adanya ambisi atau kesombongan, itulah yang mencirikan orang
itu. Kejadian itu nampaknya kecil walau tidak demikian halnya bagi mahasiswa
muda yang masa depannya kelak akan terlibat lagi dalam kejadian seperti itu.
Bagaimanapun juga, siapa pun yang telah pernah berdiri tegak dalam suatu
krisis, ia akan demikian juga di masa depan.
Pembubaran PNI ditentang “golongan merdeka”
Sjahrir dan Hatta
yang telah bersatu dalam perjuangan melawan komunis kemudian menempuh jalan
mereka bersama-sama.
Pada tanggal 22
Desember 1930 Pengadilan Negeri Bandung menghukum empat orang pemimpin PNI
yaitu Soekarno, Gatot Mangkupradja, Maskoen dan Soepriadinata. Keempat orang
tersebut naik banding dan pada tanggal 17 April 1931 Raad Van Justitie Batavia
mengukuhkan keputusan Pengadilan Negeri Bandungdengan tetap menghukum penjara
keempat pemimpin PNI tersebut. Pengurus besar PNI atas anjuran Mr. Sartono
berhubung dengan keputusan Pengadilan Negeri Bandung tersebut membubarkan PNI,
dan sebagai gantinya mereka mendirikan Partai Indonesia. Kejadian itu ditentang
oleh pemimpin tengah, antara lain Soedjadi Moerad, Kantaatmaka, Bondan,
Soekarto dan Teguh. Mereka menolak ikut dengan Partai Indonesia dan membentuk
dalam daerah masing-masing “Golongan Merdeka”. Soedjadi sudah lama
berkorespondensi dengan Hatta yaitu sejak sebelum didirikannya PNI (tanggal 4
Juli 1927) menyampaikan sikap mereka kepada Hatta. Dari jauh Hatta membantu
golongan merdeka itu.
Mohammad Hatta
memandang pembubaran PNI memalukan dan perbuatan itu melemahkan pergerakan
rakyat. Pemimpin-pemimpin yang membubarkan yang membubarkan PNI lupa bahwa
dengan demikian mereka menunjukkan kelemahan mereka dan menyatakan pula mereka
tidak bersedia berkorban. Padahal kemauan berkorban itulah yang dididik
bertahun-tahun oleh PI.
Rakyatlah yang mempunyai kekuasaan
Mohammad Hatta
membuat suatu perjanjian dengan Soedjadi, salah seorang terkemuka dalam
golongan merdeka, untuk menertibkan majalah yang diterbitkan sekali dalam 10
hari guna pendidikan kader baru. Hatta mengusulkan majalah itu diberi nama Daulat
Rakyat. Majalah ini akan mempertahankan asas kerakyatan yang sebenarnya
dalam segala susunan dalam politik, perekonomian dan pergaulan sosial. Menurut
Hatta rakyatlah yang utama, rakyat umum yang mempunyai kekuasaan karena rakyat
itulah jantung hati bangsa dan rakyat pulalah yang menjadi tinggi rendahnya
derajat suatu bangsa. Hatta dan Sjahrir bermufakat agar Sjahrir pulang ke
Indonesia pada bulan Desember 1931 untuk membantu golongan merdeka serta
membantu Daulat Rakyat.
Sebelum Sjahrir
meninggalkan negeri Belanda untuk menjalankan tugas di Indonesia, dalam suatu
rapat kelompok sayap kiri partai SDAP ia
bertemu dan berkenalan dengan J. de Kadt. Selesai rapat Sjahrir
berbincang-bincang sebentar dengan J. de Kadt, Sjahrir menyatakan perlu adanya
kerja sama antar kaum sosialis kiri Belanda dengan pergerakan kebangsaan
Indonesia yang masih lemah di banyak bidang, karena selalu ditekan oleh
Pemerintah Hindia Belanda dan juga karena kurangnya kesadaran akan sosialisme.
Sjahrir mengharapkan sosialis kiri Belanda membantu para pejuang di Indonesia
dalam perjuangan mereka yang berat itu dengan jalan menerbitkan
karangan-karangan yang bersifat umum dan brosur-brosur.
Kesan J. de Kadt
tentang Sjahrir yang menonjol waktu itu adalah sifat merendahkan diri dan
pikiran sehatnya. Sjahrir sama sekali tidak ada niat menjadi pahlawan yang
mengorbankan diri di Hindia Belanda. Tetapi ia sadar pula segala tindakannya
yang betapa sederhana pun akan dapat membangkitkan reaksi keras dari Pemerintah
dan ia siap menghadapi tindakan keras itu.
Kegiatan setelah kembali di Indonesia (1932-1934)
Sesampainya di
Indonesia anggota-anggota yang bergabung dalam gerakan Golongan Merdeka baru
menyelesaikan konperensinya pada bulan Februari 1932 di Yogyakarta. Dalam
konferensi tersebut diputuskan pendirian partai politik baru dengan nama
“Pendidikan Nasional Indonesia” dengan ketuanya Soekemi. Sjahrir menggabungkan
diri pada partai Pendidikan Nasional Indonesia cabang Jakarta dan ia dipilih
sebagai ketua cabang serta Djohan Sjahruzah sebagai sekretaris cabang.
Sebelum diadakan kongres
Pendidikan Nasional Indonesia pada bulan Juni 1932, kegiatan Sjahrir di samping
ketua Cabang Pendidikan Nasional Indonesia Jakarta juga membantu Soedjadi dalam
penerbitan majalah “Daulat Rakyat”.
Partai politik dan partai kader
Dalam kongres itu sesuai dengan namanya dirumuskan: adapun PNI
suatu Partai Politik dan suatu Partai Kader. Dalam pembicaraan sebelum sampai
pada keputusan tentang sifat Partai Politik yang merupakan Partai Kader itu,
argumentasi yang paling kuat adalah yang dianjurkan oleh Sjahrir. Pada waktu
itu dia berumur 23 tahun, jadi ia termasuk golongan pemuda. Sebagian anggota
yang belum mengenal Sjahrir memang agak kurang antusias waktu kongres
memutuskan memilihnya menjadi Ketua Pimpinan Umum karena Sjahrir berperawakan
kecildan berwajah mirip anak sekolah. Tetapi mereka yang telah mengenal
Sjahrir, terutama teman-temannya waktu dia masih sekolah di AMS dan Pimpinan
Pemuda Indonesia, sungguh-sungguh merasakan mempunyai pimpinan yang tahu apa
yang ia harus kerjakan dengan keberanian penuh tanggung jawab. Ia seoarang
realis yang memiliki pendirian tegas dan tujuan luas dengan mengesampingkan
segala sifat pribadi, sentimen dan demagogi. Oleh pihak lawannya, terutama dari
pihak Pemerintah Kolonial Hoofdparket, di antara sekian banyak Pemimpin
Nasional Revosioner Sjahrir dianggap cukup ditakuti akan pengaruhnya terhadap
masa rakyat.
Pimpinan Sjahrir
ditandai oleh pengarahan konsolidasi ke dalam dengan metode pendidikan yang
mengarah pada kematangan politik dan jiwa kritis. Tidak lama sesudah kongres I
PNI, Hatta tiba kembali ke Indonesia dari negeri Belanda. Dengan itu, Ketua
Pimpinan Umum PNI diserahkan Sjahrir kepada Hatta.
“Ke arah Indonesia Merdeka”
Penulisan tentang azas dan tujuan partai diserahkan kepada Hatta
yang kemudian diberi nama Ke arah Indonesia Merdeka (KIM), dan
diterbitkan oleh pimpinan PNI sebagai buku kecil. Semua anggota PNI memiliki KIM
dan untuk memperdalam serta memahami isi KIM atas gagasan Sjahrir
dibuatlah oleh seksi pendidikan Pimpinan Umum PNI pertanyaan-pertanyaan
tertulis bertalian dengan isi KIM. Jumlah pertanyaan-pertanyaan tersebut 150
buah yang oleh PID diberi nama “De Honderd Vijftig Vraagstukken”.
PID Bandung Dinas
Penerangan Politik Hindia Belanda dengan beredarnya 150 pertanyaan itu mulai
memperhatikan Sjahrir dan pemuka-pemuka PNI dengan serius. Sjahrir dianggap dan
dikategorikan sebagai salah seorang pemimpin penggerakan kemerdekaan yang
berbahaya bagi kekuasaan Belanda di Indonesia. Disamping membentuk kader, ia
memberikan pendidikan dengan memimpin kursus-kursus dalam partai, ia juga
menulis karangan dalam majalah Daulat Rakyat.
Sesudah kongres PNI I di Bandung, Sjahrir dibawa oleh Sastra ke
desa-desa di daerah Garut. Sastra adalah pemimpin buruh dari keluarga petani di
Garut, pendidikannya hanya sekolah desa di “Seungkeu”. Sjahrir menyelami dan
menghayati kehidupan rakyat desa, dalam perjalanan mereka acap kali berdiskusi
tentang pemberontakan komunis tahun 1926.
Revolusi dengan syarat-syaratnya
Sjahrir menerangkan kepada Sastra sebagai berikut: Revolusi tidak
mungkin diadakan sembarangan waktu menurut kehendak nafsu si pemimpin yang gila
berontak. Kalau memang mau berhasil maka perjuangan harus tertib dan teratur.
Revolusi hanya mungkin terjadi bila syarat-syaratnya terpenuhi
yaitu syarat-syarat obyektif dan syarat-syarat subyektif. Syarat obyektif
adalah ketidakpuasan rakyat yang umum merata dalam masyarakat, kekalutan dan
lenyapnya disiplin dikalangan aparat pemerintahan dan kebingingan tokoh-tokoh
yang memerintah, sedangkan syarat subyektif adalah manusia-manusia pejuang yang
memperjuangkan perbaikan keadaan itu.
Yang penting dari ajaran Sjahrir ialah ajaran kedaulatan rakyat,
ajaran bagaimana seharusnya mengatur negara sesudah Indonesia Merdeka tidak
cukup dengan asal merdeka sambil tidak peduli golongan mana sepatutnya yang
mengendalikan pemerintahan. Golongan yang memerintah seharusnya adalah mereka
yang bersemangat kemanusiaan dan kerakyatan. Mereka yang keluar mengusahakan
kerjasama secara persaudaraan antara bangsa, demi membantu usaha ke dalam untuk
memajukan dan memakmurkan seluruh rakyat. Pemerintah harus dipilih secara
berkala oleh rakyat, diawasi terus-menerus oleh rakyat dan bertanggungjawab
kepada rakyat yang berdaulat dan yang berkuasa, jadi bukan kepada seorang raja
atau ratu, bukan kepada sekelompok kaum ningrat, kaum intelek atau sekelompok
hartawan kapitalis.
Di samping itu Sjahrir mencurahkan perhatian dan kegiatannya
menyusun pergerakan buruh. Pada akhir tahun 1932 kaum buruh di Indonesia
mengadakan kongres di Surabaya. Dalam kongres itu Sjahrir memberi prasaran yang
kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul Serikat Kerja. Atas dasar
prasaran ini pula Sjahrir dipilih menjadi Ketua Central Persatuan Buruh
Indonesia yang berkedudukan di Surabaya.
Setelah Pemerintah Hindia Belanda mempelajari kegiatan PNI dan
bahan–bahan tertulis itu menyadari PNI lebih berbahaya bagi kelangsungan hidup
kolonialisme daripada Soekarno dengan Partindonya. Kalau dalam hal Partindo
cukup hanya menagkap Soekarno, dalam PNI Pemerintah Hindia Belanda menganggap
perlu menangkap dan menahan pengurus PNI seluruhnya baik yang di Jakarta maupun
yang di Bandung.
Masa Pembuangan (1935-1942)
Sjahrir dan Hatta mengalami pembuangan selama satu tahun di Digoel
yaitu dari tanggal 28-1-1935 sampai bulan Desember 1935, kemudian mereka
dipindahkan ke Banda Neira sampai pecah Perang Pasifik dan pada bulan Februari
1942 dipindahkan ke Sukabumi.
Masa pembuangan
dimanfaatkan oleh Sjahrir dengan membaca dan belajar baik mengenai ekonomi,
budaya maupun politik. Ia mengikuti perkembangan dunia melalui surat-surat
kabar yang terbit di Pulau Jawa maupun yang terbit di negeri Belanda. Usaha
yang paling sadar ia kerjakan ialah tidak menyerah dan hanyut pada penderitaan
akibat pembuangan, baik secara fisik maupun secara spiritual. Pengasingan ke
Diegoel dan Banda Neira dimanfaatkan oleh Sjahrir untuk meningkatkan kesadaran
pengetahuannya tenteng perkembangan dunia dan sejarah kemanusiaan sambil
mendidik dan mendewasakan dirinya sendiri dalam hubungan perkembangan dunia dan
sejarah kemanusiaan.
Di Banda Neira
Sjahrir dan Hatta, berlainan dengan di Boven Diegoel dapat bergerak leluasa di
tengah-tengah masyarakat. Keadaan dan kehidupan mereka lebih baik dan lebih
bebas sekalipun di bawah pengawasan pemerintah dan polisi daerah.
Sjahrir dan Hatta
di amping ada kesempatan belajar dan membaca juga ada kesempatan mendidik dan
memberi pelajaran pada anak-anak. Bagi Sjahrir memberi pelajaran pada anak-anak
tidak semata-mata untuk mendidik dan mengajar tetapi juga untuk teman dan
penghibur dalam hidupnya di pengasingan. Bahkan ia mengambil seorang bayi
berumur 8 bulan bernama Ali, karena kedua orang tua anak tesebut kena penyakit
malaria dan ibumya sedang mengandung lagi. Ali diasuh Sjahrir dengan susu
kaleng. Anak-anak mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan Sjahrir.
Mengembangkan daya pikir yang asli
Bersama-sama dengan anak-anak yang segar dan terbuka dia menikmati
keindahan alam di Banda Neira sambil mendidik dan membuka mata anak-anak yang
masih muda dan segar itu tentang sejarah perasaan indah dan cinta pada alam.
Ditunjukkannya peninggalan-peninggalan historis sepeti benteng Belgica dan
benteng Nassau yang merupakan bukti nyata dari peperangan antar bangsa. Dengan
demikian anak-anak mendapat pengertian tentang fakta-fakta sejarah dan
cita-cita kebangsaan. Di pantai yang sunyi anak-anak diajar menyanyi lagu
Indonesia Raya yang mereka nyanyikan keras-keras dan bebas karena tidak dapat
didengar oleh orang lain.
Keseimbangan yang
ditemukan oleh Sjahrir di Banda Neira yang alamnya indah dan pergaulannya engan
anak-anak memungkinkan ia hidup dan berkembang sebagai manusia yang sehat baik
secara fisik maupun secara spiritual. Dalam keadaan demikian ia dapat mengatur
kehidupannya sehingga dalam studinya di segala bidang baik ekonomi, politik dan
kebudayaan secara intensif dan segar dengan pandangan yang bebas ia tidak
merasa terikat dan tidak lagi menjadi budak ilmu pengetahuan resmi.
Ia dapat
mengembangkan pikirannya yang asli. Dengan demikian ia juga dapat mengikuti dan
merenungkan perkembangan politik dunia dengan jernih dan tajam. Perkembangan
dunia yang demikian membuat Sjahrir meninjau kembali kedudukan dan peran
gerakan rakyat Indonesia. Pergerakan rakyat Indonesia adalah pergerakan rakyat
kebangsaan yang ditimbulkan oleh hubungan antara Belanda dengan Indonesia. Kita
tumbuhkan kesadaran kebangsaan kita, ideologi kita atas dasr antitesa sejarah
Belanda di Indonesia dengan kolonialisme Belanda di Indonesia.
Mempersiapkan rakyat menghadapi bahaya fasisme
Pada Sjahrir sudah timbul kesadaran bahwa bahaya dan ancaman
fasismelah yang utama dan pergerakan rakyat harus dipersiapkan untuk menghadapi
bahaya dan ancaman fasisme tersebut. Renungan dan kesadaran Sjahrir ini serta
pandangannya terhadap perkembangan dunia selanjutnya seperti ditulisnya dalam
bukunya Renungan Indonesia.
Kesadaran yang
dimiliki Sjahrir sesuai dengan perkembangan dunia internasional tentang
kemungkinan kerjasama antara rakyat Belanda dan Indonesia dalam menghadapi
ancaman dan bahaya fasisme tidaklah dimiliki dan tumbuh di kalangan Pemerintah
Belanda di negeri Belanda. Oleh karena tidak ada kesadaran baik dari pihak
Belanda dan Pemerintah Hindia Belanda maupun dari gerakan rakyat Indonesia
seperti yang dimiliki oleh Sjahrir, tidak adalah kerjasama antara Belanda
dengan pergerakan rakyat Indonesia untuk menghadapi fasisme.
Sesudah Sjahrir
dan Hatta dibebeskan oleh Jepang pada bulan Maret 1942, Sjahrir mengambil
keputusan dengan pasti tidak akan bekerja sama dengan Jepang serta akan
mempersiapkan penyusunan gerakan rakyat untuk melawan fasisme Jepang. Sjahrir
bekerja sama dengan Hatta agar hubungan ini tidak diketahui oleh Jepang karena
Sjahrir tidak begitu dikenal oleh Jepang.
Dengan diam-diam Sjahrir memulai kegiatannya dibawah tanah dengan menemui
orang-orang yang ia yakin betul pejuang-pejuang demokrasi dan kemanusiaan
melawan fasisme, antara lain J. de Kadt. Sjahrir menemui J. de Kadt karena
memiliki suatu rencana yang dibuat oleh J. de Kadt, rancangan ini merupakan
semacam pola tenteng tindakan peralihan setelah Indonesia dibebeskan dari
pendudukan negara asing dan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Tindakan ini harus diambil bersama dengan pemimpin-pemimpin kebangsaan
Indonesia agar masa peralihan ini dapat berlangsung secapat mungkin.
Masa pendudukan Jepang (1942-1945)
Jadi apa yang
direnungkan oleh Sjahrir pada tahun 1938 tentang peranan gerakan rakyat dan
kerjasama dan mendapat saling pengertian dengan rakyat dan Pemerintah Belanda
dalam menghadapi lawan bersama yaitu fasisme, dilakukanlah selama pendudukan
Jepang. Ia memperkembangkan suatu gerakan di bawah tanah atau setidak-tidaknya
suatu sikap tidak mau bekerjasama dengan Jepang dengan tujuan yang jelas. Kalau
perlu tujuan itu dicapainya dengan suatu pemberontakan pada akhir perang,
biarpun kemungkinannya sangat besar usaha itu akan ditumpas oleh Jepang dengan
kekuatan senjata.
Untuk mencapai tujuan itu secara tertutup dan berhati-hati ia
menemui tokoh-tokoh pemuda dan cendikiawan yang berpotensi dan bertekad untuk sekurang-kurangnya
tidak bekerjasama dengan Jepang, dan kalau mungkin mempersiapkan perlawanan
baik secara politik maupun fisik terhadap Jepang. Untuk itu Sjahrir mengadakan
perjalanan di pulau Jawa yaitu di pusat-pusat konsentrasi pemuda dan
cendikiawan seperti Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Malang dan
Cirebon.
Yakin Jepang tidak akan menang perang
Sjahrir bisa
dikatakan satu-satunya pemimpin yang dengan sadar tidak mau bekerjasama dengan
Jepang. Dalam bergerak di bawah tanah ini untuk dapat mengikuti perkembangan
dunia dan jalannya perang dia mengikutinya melalui radio yang tidak disegel dan
yang disembunyikan dalam lemari. Dan dia tetap memelihara hubungannya dengan
Hatta melalui anak angkatnya, cara memelihara hubungan dengan Hatta adalah mereka
mengadakan makan malam bersama sambil belajar bermain bridge di rumah Dr.
Djuhana (ipar Sjahrir) dan sekali-kali ditempat tersebut Sjahrir bertemu dengan
Bung Karno.
Dengan mengikuti
perkembangan politik dunia dan jalannya perang melalui radio gelap Sjahrir
dapat memberi informasi baik kepada Hatta maupun kepada jaringan-jaringan yang
telah ia susun di seluruh pulau Jawa sehingga ia dapat meningkatkan persiapan
menggerakkan golongan-golongan yang anti Jepang dan yang pro demokrasi untuk
memberi pukulan pada waktu yang tepat.
Masa Revolusi (1945-1950)
Proklamasi kemerdekaan seperti yang terjadi pada tanggal 17 Agustus
1945 pada akhirnya tidak semata-mata usaha dari gerakan politik di bawah tanah,
juga tidak merupakan usaha dari kaum nasionalis yang bekerjasama dengan Jepang,
akan tetapi penjelmaan perpaduan dari kedua golongan nasionalis yaitu yang pro
Jepang dan yang tidak mau bekerjasama dengan Jepang. Dalam sebuah rapat raksasa
di lapangan Ikada, Jakarta pada tanggal 19 September 1945 yang telah dikerahkan
oleh pemuda-pemuda sebagai suatu pernyataan bangsa Indonesia untuk menentukan
nasibnya sendiri, yang sudah mempunyai negara yang merdeka yang bukan sebagai
hadiah dari Jepang.
Keadaan di pusat
(Jakarta) baik di tingkat kabinet pemerintahan maupun di tingkat KNIP tidak
memperlihatkan usaha nyata bahwa kekuasaan sudah ada di tangan bangsa
Indonesia. Pemerintah Pusat Indonesia menerima Jepang sebagai kekuatan untuk
menjaga keamanan dan hukum sebagai status quo selama tentara Sekutu belum
datang bertindak atas nama Sekutu. Dan rapat yang dilakukan di lapangan Ikada,
Jakarta juga merupakan usaha pemuda untuk memaksa kabinet RI untuk tidak
mengakui keadaan status quo, akan tetapi berani melawan kekuasaan Jepang.
Pada tanggal 16
Oktober 1945, diadakan sidang pleno KNIP. Sidang yang suasananya dipengaruhi sekali
oleh pemuda dan mahasiswa memutuskan untuk menggantikan pimpinan KNIP dengan
orang yang revolusioner. Sidang memilih Sjahrir sebagai ketua dan Amir
Sjarifudin sebagai wakil ketua. Sebagai ketua Badan Pekerja KNIP, Sjahrir ikut
menetapkan garis-garis besar haluan negara yang diwujudkan dalam Manifes
Politik 1 November 1845, yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad
Hatta. Manifes Politik ini adalah pedoman di tingkat negara. Untuk melengkapi
Manifes Politik di tingkat rakyat dan masyarakat ia tulislah buku kecil Perdjoangan
Kita.
Dalam buku itu
disamping berusaha melepaskan pemuda dan bangsa Indonesia umumnya dari pengaruh
fasisme Jepang ia menekankan bahwa perjuangan dan revolusi adalah revolusi
demokrasi.
Apakah tujuan perjuangan bangsa?
Kemerdekaan
hanyalah merupakan jembatan untuk mencapai tujuan yaitu kerakyatan,
kemanusiaan, kebebasan dari kemelaratan, tekanan dan penghisapan, keadilan,
pembebasan bangsa dari gangguan sisa-sisa feodalisme, pendewasaan bangsa.
Sesudah meletakkan
pedoman dalam tingkat kenegaraan dalam Maklumat Politik 1 November 1945 dan
pedoman untuk gerakan rakyat dan bangsa dalam buku Perdjoangan Kita, maka
persoalan yang dihadapai bangsa Indonesia adalah kelemahan dan keragu-raguan
dari pimpinan negara, Pemerintah Republik. Pimpinan negara Soekarno-Hatta
selaku Presiden dan Wakil Presiden di mata internasional, terutama di mata
Belanda dinilai sebagai kolaborator Jepang, bahkan mungkin sebagai penjahat
perang. Sehingga dengan pandangan ini kedudukan Republik dapat dinilai dengan
kedudukan Presiden dan Wakil Presidennya.
Siasat menghadapi pihak Sekutu
Sekalipun Sjahrir
sudah diikutsertakan dalam kepemimpinan bangsa tapi dia terbatas pada bidang
legislatif yaitu sebagai ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Untuk
mengatasi persoalan kepemimpinan negara, diusulkannya suatu pemerintahan
kabinet perlementer yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri sebagai hasil
perjuangan demokrasi melawan fasisme. Presiden dan Wakil Presiden dapat menerima
pemecahan itu dengan menunjuk Sjahrir sebagai formatur dan kemudian
mengangkatnya sebagai PM dari kabinet yang bertanggung jawab. Dengan demikian kedudukan
Republik baik ke luar maupun ke dalam kuat karena pemerintahnya dipimpin oleh
seorang pejuang demokrasi yang bersih dari noda fasisme bahkan berjaung melawan
fasisme.
Kemerdekaan
Indonesia adalah perwujudab hak menentukan nasib sendiri ini di alam kemenangan
demokrasi dan Pemerintah RI dipimpin oleh seorang PM yang pejuang demokrasi,
maka lahirnya RI adalah sesuai dengan tujuan Perang Dunia II dari Sekutu.
Siapa juga dari
pihak Sekutu terutama pihak Belanda yang datang ke Indonesia untuk melanjutkan
kolonialisme barulah dianggap sebagai lawan dan musuh. Karena memang Belanda
pada hekekatnya mau kembali manjajah Indonesia, maka siasat Sjahrir hanya
menghadapi Belanda saja sebagai lawan. Sjahrir kemudian memaksa Inggris
membatasi kekuasaannya hanya pada tugas Inggris melucuti senjata tentara
Jepang, membebaskan tawanan perang dan melikuidasi kekuasaan Jepang. Dan dalam
melikuidasi kekuasaan Jepang, Pemerintah RI membantu Inggris dalam melaksanakan
tugasnya.
Dengan jalan
begini Sjahrir memaksakan kepada Inggris untuk memperlakukan RI sebagai negara
yang merdeka (de facto).
Memberikan pendidikan politik kepada rakyat
Sjahrir menulis
buku Perdjoangan Kita untuk memberi pedoman kepada rakyat tentang arti
revolusi yaitu suatu revolusi demokratis anti fasis dan anti feodal, suatu
perjuangan untuk kemanusiaan, kerakyatan, pendewasaan bangsa, dan membebaskan
diri dari noda-noda fasisme Jepang. Sebagai PM ia di satu pihak mempertahankan
kemerdekaan RI ke luar, di lain pihak dia ke dalam mengembangkan kehidupan
demokrasi, kerakyatan dan kemanusiaan.
Sjahrir sebagai PM
dan sebagai pemimpin eksekutif dalam tiga kabinet berturut-turut melaksanakan
apa yang ia telah letakkan sebagai haluan negara dan pedoman perjuangan rakyat
waktu ia masih berkecimpung dalambidang legislatif seperti maklumat politik
menganjurkan pendirian partai-partai politik serta pedoman perjuangan rakyat
bangsa Inndonesia seperti tertulis dalam buknya Perdjoangan Kita.
Perundingan Sjahrir dengan Belanda melalui perundingan De Hoge
Veluwe samapi kepada perundingan Linggarjati adalah atas dasar bahwa RI suatu
negara yang merdeka, duduk sama tinggi dengan negeri Belanda, sedia kerjasama
dengan Belanda untuk melikuidasi Hindia Belanda dan bersama-sama membentuk
negara RI Serikat yang merdeka dan berdaulat. Pihak Belanda, baik waktu
perundingan De Hoge Veluwe tidak terdapat persetujuan sama sekali maupun pada
persetujuan Linggarjati, oleh sebab pikiran yang realistis dan reaksioner tidak
mau mengakui kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia selama masa peralihan
sampai terbentuknya negara RI Serikat.
Bertindak sesuai dengan hukum demokrasi
Untuk mencegah pecahnya perang dengan Belanda, Sjahrir mengadakan
pidato radio pada tanggal 19 Juli 1947 yang berisi antara lain memberi konsensi
pada Belanda secara yuridis mau mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia
selama masa peralihan, akan tetapi dengan mempertahankan kedaulatan RI ke
dalam. Baik kabinet dan Partai Sosialis menyetujui kebijakan Sjahrir ini.
Partai Sosialis adalah anggota dari Sayap Kiri yang terdiri dari Partai
Sosialis, Partai Kominis Indonesia, Partai Buruh Indonesia dan Pesindo. Sayap
Kiri umumnya didominasi oleh kaum komunis tidak dapat menerima kebijakan
Sjahrir bukan semata-mata atas pertimbangan kebijaksanaan melainkan karena
Sjahrir bukan seorang komunis.
Oleh karena Sjahrir tidak mendapat dukungan oleh sayap kiri, maka
ia meletakkan jabatan sebagai PM. Sebenarnya
Sjahrir dengan dukungan Kabinet, Presiden dan Wakil Presiden dapat bertahan
sebagai PM dan mengabaikan keputusan Sayap Kiri. Disini Sjahrir harus memilih antara
kekuasaan dan demokrasi. Sebagai seorang demokrat tulen ia memilih demokrasi
dan meletakkan jabatannya. Sjahrir meletakkan jabatan Perdana Menteri ia sesuai
dengan aturan-aturan permainan dan hukum demokrasi.
Dengan demikian
dia memberi pendidikan politik. Memang Sjahrir dalam seluruh hidupnya lebih
mengutamakan pendidikan politik daripada kekuasaan. Ia lebih mengutamakan
pendidikan politik untuk menegakkan demokrasi daripada menggunakan kekuasaan
untuk memaksakan kemauannya dan mempertahankan kedudukannya. Sebaliknya ia
tetap menyediakan diri untuk mempertahankan kemerdekaan RI terhadap Belanda.
Untuk menunjukkan sikapnya ia bersedia waktu diminta oleh Presiden Soekarno
untuk diangkat menjadi penasehat Presiden.
Mengapa kaum komunis menjatuhkan Sjahrir?
Kaum komunis
menjatuhkan Sjahrir oleh karena mereka tahu Sjahrir tidak akan bersedia
menjalankan perintah mereka yaitu perintah Moskow. Sjahrir dijatuhkan oleh
komunis ketika dalam perkembangan dunia pada tahun 1947 itu hanya ada dua
kekuatan yaitu kekuatan anti imperialisme dibawah pimpinan Moskow dan kekuatan
kapitalis dibawah Amerika Serikat. Kaum komunis tahu betul Sjahrir sekalipun ia
seorang anti imperialisme, mempunyai sikap bebas dari Moskow dan tidak bersedia
dipergunakan untuk kepentinagn Moskow.
Waktu Sjahrir
masih menjabat PM ia ikut menyokong dan melahirkan terbentuknya konperensi
“Inter Asian Relations Conference”yang diadakan di New Delhi pada bulan April
1947. Konperensi New Delhi itu pada hakeketnya dasar permulaan politik luar
negeri RI yang bebas tidak memihak pada blok-blok. Maka, untuk kedua kalinya
dalam kehidupanya Sjahrir dapat pukulan dari komunis karena sikapnya yang
bebas. Sedangkan yang memberi pukulan adalah orang komunis itu-itu saja yaitu
Abdul Madjid dan Setiadjid.
Waktu Belanda pada
tanggal 21 Juli 1947 menyerang Republik, Sjahrir sebagai penasehat Presiden dan
selaku duta keliling Republik dengan pesawat terbang berangkat ke luar negeri.
Pada tanggal 14 Agustus 1947 Sjahrir sebagai wakil RI berbicara dalam sidang
Dewan Keamanan PBB. Di sana ia mengupas politik penjajahan Belanda dan mendesak
supaya Dewan Keamanan PBB membentuk suatu Badan Arbitrase yang tidak berpihak.
Sjahrir di dalam forum internasional di Dewan Keamanan sekali lagi
mempertahankan dan membela kemerdekaan RI seperti yang telah dikonsolidasi
dalam perjanjian Linggarjati dan diakui oleh dunia internasional.
Penggarisan perjuangan bangsa
Jabatan sebagai ketua Delegrasi RI di Dewan Keamanan PBB adalah
kedudukan Sjahrir yang terakhir sebagai pejabat negara. Sesudah itu ia lebih
memusatkan pikirannya menggariskan kembali perjuangan rakyat dan bangsa
Indonesia yang disesuaikan dengan perkembangan dan percaturan politik
internasional dewasa itu. Ia menggariskan suatu perjuangan untuk rakyat dan
bangsa yang baru merdeka bekas jajahan.
Pada pokoknya
dalam menggariskan perjuangan rakyat dan bangsa yang baru merdeka bekas jajahan
dianjurkannya untuk mengadakan kerjasama dan menjalankan politik bebas aktif
dengan tidak memihak pada kedua blok yang ada dan menyusun kekuatan ketiga
sehingga dapat mencegah pecahnya Perang Dunia ke III dan menjamin perdamaian
dunia. Garis perjuangan ini akan ditawarkan oleh Partai Sosialis sehingga
Partai Sosialis dapat melepaskan diri dari dominan kaum komunis.
Dan Partai Sosialis yang menjadi anggota Front Demokrasi Rakyat
telah dikuasai oleh kaum komunis, maka anggota Partai Sosialis yang menyutujui
garis perjuangan Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada bulan
Februari tahun 1948. Sjahrir sebagai ketua umum PSI memusatkan perhatiannya dan
kegiatannya untuk mengembangkan PSI.
Sosialisme yang
diperjuangkan oleh Partai Sosialis Indonesia adalah sosialisme yang berdasarkan
kerakyatan yaitu yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan dengan mengakui
dan menjunjung persamaan derajat setiap manusia perorangan. Sosialisme mestinya
tidak lain daripada penyempurnaan dari segala cita-cita kerakyatan yaitu
kemerdekaan serta kedewasaan kemanusiaan yang sebenarnya, pada mana
seharusnya tiap manusia merdeka untuk
mengembangkan kehidupannya serta kesanggupan yand ada pada dirinya
masing-masing. Sosialisme mestilah berhasil menciptakan keadaan pada mana
hal-hal jasmani tiada lagi menjadi halangan untuk kemajuan serta perkembangan
segala kesanggupan tiap manusia kepada kebijakan dan keindahan.
Masa 1952-1966
Sesudah kongres pertama PSI di Bandung pada tahun 1952, PSI yang
dipimpin oleh Sjahrir bersama-sama dengan Partai Sosialis Birma dan Partai
Sosialis India mendirikan Asia Socialist Conference yang berpusat di Rangoon,
Burma.
Merupakan halangan
dan saingan yang besar suatu PSI yang memperjuangkan cita-cita dan nilai-nilai
seperti di atas bagi PKI yang bersifat totaliter yang menganjurkan pemerintahan
diktatur.
Difitnah lagi oleh PKI
PSI yang memperjuangkan cita-cita kerakyatan, betapa kecilnya pun
partai itu dibandingkan dengan PKI, namun bagi PKI penting sekali untuk
meniadakan kehadiran PSI dalam kehidupan politik Indonesia.
PKI berhasil dalam
hal ini yaitu dengan cara fitnahnya mengatakan PSI adalah alat CIA dan menjadi
dalang penggolakan daerah yang memuncak dengan terbentuknya PRRI. PKI berhasil
mempengaruhi Presiden Soekarno sehingga pada tahun 1960 PSI tidak paus dengan
pembubaran PSI dan melanjutkan fitnahnya
terhadap pimpinan-pimpinan PSI sehingga Sjahrir, Subadio Sastrosatomo
bersama-sama beberapa pemimpin Masyumi ditahan pada tahun 1962.
Sjahrir yang
memang menderita sakit tekanan darah tinggi meninggal dunia pada tanggal 9
April 1966 di rumah sakit Zurich, Swiss. Ia diizinkan oleh Presiden Soekarno
untuk berobat ke Swiss tapi masih dalam kedudukan tahanan politik. Tiada dapat
diketahui apa pikirannya pada saat-saat terakhir di Swiss itu, oleh karena
Sjahrir tiada lagi dapat berbicara, juga tidak dapat menulis.
Kehidupan keluarga
Sjahrir menikah
pada tahun 1936 dengan Ny. Maria Duchateau, dilangsungkan dengan surat kuasa
serentak di negeri Belanda dan di Banda Neira, tempat pengasingan Sjahrir.
Karena pecah Perang Dunia ke-II, istrinya yang berdomisili di negeri Belanda
tidak dapat bergabung dengan Sjahrir di Banda Neira. Oleh karena perkembangan
keadaan pada tahun 1948 maka berakhirlah pernikahan ini dengan perceraian.
Pada tahun 1951
Sjahrir menikah dengan Siti Wahjunah S.H. putri Prof. Dr. Moch. Sholeh
Mangundiningrat, Solo, dan pernikahan ini dilangsungkan di Kairo. Dari
perkawinan ini ia dapat dua orang anak, Kriya Arsyah dan Siti Rubiyah Parvati.
Kerjamu ada yang akan meneruskannya
Akhirnya dalam
mengenang Sjahrir dan artinya dalam sejarah, tidaklah ada yang lebih tepat lagi
daripada mengutip bagian penghabisan dari kata perpisahan Bung Hatta pada
upacara pemakaman Sjahrir di Taman Pahlawan Kalibata, tanggal 19 April 1966.
Bung Hatta berkata
pada waktu itu antara lain, “Saudaraku Sutan Sjahrir, sampai disinilah kami
mengantarkan engkau dalam perjalananmu pulang ke kampung akhirat. Di sana
engkau akan mendapat rumah peristirahatan yang tetap, kekal dan abadi.
Beristirahatlah dengan tenang.
“Jasamu di dunia
ini tidak akan dilupakan orang. Kerjamu yang belum selesai ada yang
meneruskannya. Sejarah akan membuktikan bahwa hidupmu di dunia tidak sia-sia.
Dalam sejarah namamu tercatat sebagai pejuang kemerdekaan bangsa dan sebagai
Perdana Mentri yang pertama dari pada Republik Indonesia yang baru merdeka dan
berjuang.”
“Penghormatan yang
luar biasa yang diberikan pada upacara ini dan simpati berpuluh ribu orang
banyak yang mengikuti pamakaman Sjahrir ini dari dekat dan dari jauh dengan
khimat semoga menjadi obat dari pada
hati yang luka. Waktu akan meringankan
raasa sedih. Tiap-tiap barang dan keadaanb ada dua belahnya. Setelah sedih dan
rindu, anak-anak dan turunan Sjahrir dapat merasa bangga bahwa mereka turunan
seorang pahlawan.”
“Pemuda Indonesia,
tanamlah dalam hatimu, Sjahrir Pahlawan Nasional Indonesia”.
TAMBAHAN
Syahrir
lahir dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar
Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat. Ayahnya
menjabat sebagai penasehat sultan
Deli dan kepala jaksa (landraad) di Medan. Syahrir mempuyai
satu kakak perempuan beserta dua adik laki-laki.
Sjahrir saudara seayah dengan kakak perempuannya yaitu Rohana
Kudus, aktivis serta wartawan wanita yang terkemuka.
Syahrir
mengenyam sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan, dan membetahkannya bergaul
dengan berbagai buku-buku asing dan ratusan novel Belanda. Malamnya dia
mengamen di Hotel De Boer (kini Hotel Natour Dharma
Deli), hotel khusus untuk tamu-tamu kulit putih.
Pada
1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung,
sekolah termahal di Hindia Belanda saat
itu. Di sekolah itu, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia
(Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Hasil mentas itu
dia gunakan untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volksuniversiteit,
Cahaya Universitas Rakyat. Sjahrir menguasai beberapa bahasa asing, seperti Inggris, Belanda,
Prancis, Jerman, dan Latin.
Pada usia 36 tahun, mulailah lakon Syahrir
dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana
Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam
Negeri.
Ada satu
cerita perihal sikap konsekuen pribadi Syahrir yang anti-kekerasan. Di
pengujung Desember 1946, Perdana Menteri Syahrir dicegat dan ditodong pistol
oleh serdadu NICA. Saat serdadu itu menarik pelatuk, pistolnya macet. Karena
geram, dipukullah Syahrir dengan gagang pistol. Berita itu kemudian tersebar
lewat Radio Republik Indonesia. Mendengar itu, Syahrir dengan mata sembab
membiru memberi peringatan keras agar siaran itu dihentikan, sebab bisa
berdampak fatal dibunuhnya orang-orang Belanda di kamp-kamp tawanan oleh para
pejuang republik, ketika tahu pemimpinnya dipukuli.
Meski
jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai
dengan Kabinet Sjahrir III(1945
hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi.
Syahrir tak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan
jelas jauh lebih canggih. Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara.
Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak
Belanda untuk duduk berunding dengan pemerintah republik. Secara politik, hal
ini berarti secara de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah
RI.
Syahrir
populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang Dewan Keamanan PBB,
terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa
surat kabar menamakan Syahrir sebagai The
Smiling Diplomat.
Syahrir
mewakili Indonesia di PBB selama 1 bulan, dalam 2 kali sidang. Pimpinan
delegasi Indonesia selanjutnya diwakili oleh Lambertus Nicodemus Palar (L.N.)
Palar sampai tahun 1950.
Meskipun
perawakannya kecil, yang oleh teman-temannya sering dijuluki Si Kancil, Tahun 1955 PSI gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. Setelah kasus PRRI tahun
1958, hubungan Sutan Syahrir dan Presiden Soekarno memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun
1960. Tahun 1962 hingga 1965, Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili
sampai menderita stroke. Setelah itu Syahrir diijinkan untuk berobat
ke Zürich Swis, salah
seorang kawan dekat yang pernah menjabat wakil ketua PSI Sugondo Djojopuspito menghantarkan beliau di Bandara Kemayoran dan Syahrir memeluk Sugondo degan air mata, dan
akhirnya meninggal di Swiss pada tanggal 9 April 1966.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, H. Rosihan. Mengenang Sjahrir. PT
Gramedia. Jakarta: 1980
Tidak ada komentar:
Posting Komentar