Kamis, 21 April 2016

BIOGRAFI ABDUL HARIS NASUTION


Masa Kecil dan Masa Pendidikan
            Pada tanggal 3 Desember 1918, H.A. Halim Nasution seorang pedagang tekstil dari Huta Pungkut mendapatkan kabar bahwa istrinya telah melahirkan anak kedua. H.A. Halim Nasution saat itu sedang menjalankan perniagaannya di Sibolga yang berjarak kurang lebih 180 km dari Huta Pungkut. Bayi yang lahir itu berjenis kelamin laki-laki yang selanjutnya diberi nama Abdul Haris Nasution. Meski terlahir sebagai anak kedua, Abdul Haris Nasution adalah anak laki-laki pertama dalam keluarga itu.
            Ketika memasuki usia sekolah, Nasution masuk sekolah pendidikan dasar zaman Hindia Belanda yaitu Holland Inlandsche School (HIS) di Kotanopan. Nasution menjalani pendidikannya di HIS Kotanopan pada pagi hari hingga siang hari, selanjutnya sore hari ia belajar di madrasah dan malam harinya ditambah kegiatan mengaji di surau. Selama belajar di HIS Nasution mulai dihinggapi rasa cinta Tanah Air. Sikap ini tercermin pada kesukaannya dalam dua pelajaran yakni, ilmu bumi dan sejarah.
            Pada tahun 1932, Nasution berhasil menyelesaikan pendidikannya di HIS dan selanjutnya menjalani pendidikan di Hogere Inlandsche Kweekschool (HIK) yang populer disebut dengan Sekolah Raja atau Sekolah Guru di Bukittinggi, Sumatera Barat. Di asrama dan sekolah itu, Nasution mempunyai sahabat yang bernama Artawi. Ia berasal dai Madura dan mempunyai keluarga berlatar belakang KNIL (Koninkljik Nederlands Indische Leger) atau dinas tentara kerajaan di Hindia Belanda. Dalam kesehariannya sebagai anak asrama dengan cerita-cerita tentang kehidupan tentara dari Artawi itu, Nasution mulai ada ketertarikan terhadap kehidupan para tentara. Baginya, hehidupan tentara yang penuh disiplin dan teratur itu akan berperan banyak dalam pembentukan karakter dan diri seseorang.
            Karena sesuatu dan lain hal, pada tahun 1935 Sekolah Guru Bukittinggi dibubarkan. Menyikapi hal ini maka pihak pengurus sekolah mengeluarkan kebijakan, jika para siswa ingin menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Guru itu maka mereka dipersilakan untuk melanjutkan pendidikannya ke Bandung. Namun untuk dapat melanjutkan serta menamatkan pendidikan tersebut seluruh siswa harus melalui tahapan penyeleksian. Dari sekitar 100 siswa, tersaring lima siswa yang diperbolehkan melanjutkan di Bandung. Salah satu siswa di antara yang lulus adalah Nasution, demikian halnya dengan rekan karibnya Artawi.
            Selama belajar di Bandung, Nasution selalu meneruskan kebiasaannya yakni memperdalam pengetahuan tentang sejarah dan politik. Bersama beberapa kawannya ia seringkali turut menghadiri pertemuan dan rapat politik. Hal tersebut menimbulkan minatnya terhadap kehidupan politik semakin tinggi dan ia mulai merasakan keinginannya menjadi guru mulai sedikit luntur. Namun begitu, ia tetap bertekad dan berusaha keras untuk menyelesaikan pendidikannya. Akhirnya tahun 1937, Nasution berhasil menamatkan Sekolah Guru (Kweekschool) Bandung.
            Daerah pertama yang menjadi tempat tugas mengajar adalah Bengkulu. Bengkulu merupakan tempat pengasingan dari Bung Karno (pemimpin Partai Nasional Indonesia, PNI) yang merupakan tokoh politik paling populer di masa itu. Nasution seringkali bertemu dan berbicara dengan sosok yang dikaguminya itu.
            Di lain pihak menjadi seorang guru, Nasution berkeinginan memasuki dunia militer. Berkat ketekunan, kegigihan serta bantuan dari rekan-rekan sesama guru, Nasution dapat mengikuti ujian Algemene Middelbare School (AMS) di palembang dan lulus.

Memasuki Dunia Militer
            Pada tahun 1940, Negeri Belanda mendapatkan serangan dari Jerman, serangan tersebut merupakan imbas dari Perang Dunia I dan dengan munculnya aksi militer Jerman itu maka Perang Dunia II sudah diambang pintu. Peperangan di Eropa berimbas ke Asia, Jepang yang merupakan sekutu Jerman di Asia mulai melakukan serangan mendadak yang diawali dengan serangan terhadap pangkalan militer AS di Pearl Harbour, Hawaii. Setelah itu Jepang berhasil merebut Indochina dan Muangthai, Semenanjung Malaya lalu Filipina berhasil mereka duduki.
            Untuk menghadapi ancaman serangan dari Jepang, pemerintah Kolonial mengeluarkan himbauan kepada kaum muda di seluruh kawasan Hindia Belanda untuk memasuki pendidikan Milisi yang bernama Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO) yang nantinya akan dipersiapkan untuk membantu menghadapi serangan belanda. Dengan berbekal ijazah AMS Nasution mendaftarkan diri dan menjalani tes masuk di tahun 1940. Seleksi penerimaan dilakukan di Palembang dan Nasution lulus dan kemudian menjalani pendidikan militer di CORO. Di CORO Nasution berkawan dengan T.B. Simatupang dan Alex Kawilarang. Beberapa lama setelah menjalani pendidikan pada September 1940, Nasution naik pangkat dari kadet taruna menjadi kopral. Tiga bulan kemudian pangkatnya naik menjadi sersan.
            Pada akhir Februari 1942 pasukan Balatentara Jepang yang dipimpin Letnan Jenderal Hitoshi Imamura mendarat di berbagai tempat di Pulau Jawa. Beberapa waktu sebelum kedatangan Jepang itu, pendidikan CORO ditutup. Para taruna yang telah menjalani pendidikan mendapatkan pengangkatan sebagai perwira dengan pangkat Vaandrig (pembantu letnan) termasuk Nasution. Vaandrig Nasution tergabung dalam Batalyon III dan dikirim ke Surabaya dengan tugas mempertahankan Pelabuhan Tanjung Perak dari serangan pasukan Jepang.
Masa Pendudukan Jepang
            Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Setelah kalah memepertahankan Pelabuhan Tanjung Perak, Nasution kembali ke Bandung dan langsung menuju rumah Gondokusumo. Di sini Nasution mendapat kabar jika Jepang mengajak pihak Indonesia untuk bekerja sama membangun kemakmuran bersama Asia dengan membentuk Gerakan Tiga A, Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dan Jawa Hookokai.
            Jepang membentuk pendidikan militer kepada para pemuda Indonesia dalam wadah Giyugun, Heiho, Peta, Seinedan dan Keibodan. Nasution kemudian memutuskan ikut kegiatan tersebut. Selain itu Nasution dipercaya membentuk Barisan Pemuda Parahiyangan (Bandung).
            Memasuki tahun 1994 keadaan Jepang terbalik menjadi pihak yang diserang. Jepang lebih sering menderita kekalahan di peperangan. Dengan santernya berita kekalahan Jpang itu bangsa Indonesia bersiap menyambut kemerdekaan.

Mempertahankan Kemerdekaan
            Jepang akhirnya menyerah pada 14 Agustus 1945 setelah kota Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh AS. Tanpa menunggu janji Jepang, Bung Karno dan Bung Hatta dengan mengatasnamakan rakyat Indonesia menyatakan Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Guna menjamin ketertiban umum, Pemerintah RI membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), dimana Nasution diangkat menjadi penasihat BKR di Bandung berkat pengalamannya sebagai bekas vaandrig.
            Pada 5 Oktober 1945 BKR dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuklah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dikepalai oleh Oerip Soemohardjo. Nasution sendiri ditunjuk sebagai Kepala Staf (Kastaf) Komandemen Jawa Barat yang bermarkas di Tasikmalaya, Nasution mendapat pangkat Kolonel. Sebagai Kastaf, Kolonel Nasution mendapatkan tugas menyusun TKR di Jawa Barat. Ditengah kesibukannya itu, Kolonel Nasution diperintahkan menanggalkan jabatan Kastaf dan selanjutnya memegang jabatan baru sebagai Panglima Divisi III Priangan.
            Pada tanggal 29 September 1945, pasukan Inggris yang diboncengi pasuka Belanda mendarat di Indonesia. Tujuan dari pasukan Inggris yaitu untuk melucuti tentara Jepang, sedangkan pasukan Belanda bertujuan ingin kembali menguasai Indonesia. Mengetahui tujuan tersebut, sering terjadinya bentrok antara pasukan Belanda dengan pemuda Indonesia. Akibatnya meletusnya pertempuran di sepanjang Bandung sampai Bogor. Selanjutnya dicapai kesepakatan antara Inggris dan pemerintah Indonesia untuk mengosongkan Bandung Selatan. Tetapi sebagai panglima pasukan, Kolonel Nasution tidak ingin menyerahkan Bandung begitu saja. Setelah melalui kesepakatan yang diambil bersama jajaran staf di Divisi III, diputuskan untuk membumihanguskan kota Bandung sebelum diduduki Inggris dan Belanda. Tindakan bumi hangus akhirnya dilaksanakan pada 23 Maret 1946 dan para penduduk mengungsi ke luar kota. Peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan “Bandung Lautan Api”.
            Saat berada di Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta, Nasution ditunjuk sebagai Panglima Divisi I Siliwangi yang pelantikannya dilakukan oleh Bung Karno. Tugas Nasution adalah melanjutkan program penertiban tentara di Jawa Barat. Hari-harinya terkuras untuk melakukan perjalanann ke markas-markas kesatuan dalam rangka konsolidasi. Dengan upaya yang gigih itu Nasution berhasil menciptakan kebersamaan sebagai sesama anggota Siliwangi. Pada tahun 1947, Belanda mengerahkan kekuatan militernya untuk menyerang daerah-daerah RI. Akibat serangan mendadak ini kekuatan dan pertahan Divisi Siliwangi tercerai-berai.
Konsep Gerilya
            Akibat Agresi Militer Belanda, Kolonel Nasution berusaha keras menyatukan dan membangkitkan semangat tempur Divisi Siliwangi yang tercerai-berai. Setelah Divisi Siliwangi berhasil disatukan, selanjutnya Nasution menyusun strategi perang baru untuk menghadapi Belanda. Maka lahirlah konsep Perang Gerilya. Strategi ini sangat ampuh dengan membuat pasukan Belanda terdesak oleh pasukan Siliwangi. Tetapi sekali lagi pemerintah Indonesia membuat perjanjian perdamaian dengan pihak Belanda yaitu perjanjian Renville. Akibat dari perjanjian tersebut wilayah Indonesia dipersempit menjadi hanya Jawa Tengah.
            Seminggu di Yogyakarta, Kolonel Nasution diangkat sebagai Wakil Panglima Besar (Wapansar) oleh panglima TNI, Letnan Jenderal Soedirman. Karena suatu tuntutan, jabatan Wapansar ditiadakan yang selanjutnya Kolonel Nasution ditunjuk sebagai Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang.

Mempersatukan Angkatan Darat
            Pada tahun 1949 setelah penyerahan kedaulatan RI oleh pihak Belanda, Kolonel Nasution menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Sementara jabatan Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) dipercayakan kepada Letjen Soedirman, namum tidak lama beliau wafat dan jabatannya digantikan oleh Kolonel T.B. Simatupang yang kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi mayor jenderal. Setelah menjadi KSAD, Kolonel Nasution tetap ingin melanjutkan program-program yang pernah dilakukannya saat menjadi Panglima Siliwangi dan Wapansar. Program tersebut ditujukan untuk mewujudkan angkatan perang yang ramping, efisien dengan dilengkapi kemampuan dan teknik kemiliteran yang memadai.
            Pada tahun 1952, jabatan KSAD Kolonel Nasution dicopot karena Kolonel Nasution dkk diangkap melakukan upaya kudeta karena meminta Bung Karno membubarkan parlemen terjadi perpecahan di Angkatan Darat.
            Setelah tidak aktif, Nasution terjun ke dunia politik dengan membentuk Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Partai IPKI menjadi salah satu kontestan dalam pemilu 1955, dan A.H. Nasution terpilih menjadi anggota Konstituante untuk daerah pemilihan Jawa Tengah.
Kembali Menjadi KSAD
            Pada tahun 1955, Mayjen Bambang Sugeng selaku KSAD akan segera mengakhiri masa jabatannya. Pertikaian pun timbul mengenai masalah siapa sosok yang tepat untuk menggantikan Mayjen Bambang Sugeng yang berhasil meredam konflik selama menjadi KSAD. Awalnya ditunjuklah nama Kolonel Bambang Utoyo sebagai KSAD, tetapi justru banyak tentangan keras dari para perwira. Untuk mencari solusi, pemerintah mengajukan lima nama yang akan dipilih untuk jabatan KSAD baru, mereka adalah: Kolonel M.Simbolon, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Alex Kawilarang dan A.H. Nasution.
            Melalui rapat kabinet, diputuskan untuk mengangkat kembali A.H.Nasution sebagai KSAD untuk kedua kalinya. Pada tanggal 7 November 1955, A.H. Nasution pun dilantik oleh Bung Karno menjadi KSAD serta pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Jenderal. Kritik keras pun muncul akibat pengangkatan Nasution menjadi KSAD untuk kedua kalinya, yang paling menentang yaitu Kolonel Zulkifli Lubis yang sebelumnya menjabat menjadi wakil KSAD. Yang lebih membuat penentangan Kolonel Zulkifli Lubis terhadap Mayjen Nasution yaitu dipindahkannya Kolonel Zulkifli Lubis dari Wakil KSAD menjadi Panglima Tentara I Bukit Barisan. Sementara alasan Mayjen Nasution memindah tugaskan Kolonel Zulkifli Lubis yaitu berdasarkan pertimbangan etnis, Nasution tidak ingin pejabat KSAD dan Wakilnya bersamaan dipegang oleh orang Batak Mandailing.
            Beberapa perwira yang menentang Mayjen Nasution pun membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang berencana melakukan pemberontakan kepada pemerintah pusat. Pada Februari 1958 meletus pemberontakan PRRI di Sumbar dan Sumut, serta Permesta di Sulut. Namun dengan kegighan dan ketepatan strategi dalam serangkaian operasi militer, seperti Operasi 17 Agustus, Operasi Saptamarga, Operasi Tegas, dsb pemberontakan dapar diselesaikan.

Pembebasan Irian Barat
            Pada tahun 1960 pemerintah RI menghadapi tugas berat yaitu membebaskan Irian Barat yang masih dikuasai Belanda. Berbagai upaya jalur diplomatik telah dilakukan tetapi pihak Belanda tidak mau melepaskan Irian Barat. Pada akhirnya mengomandokan Trikora (Tri Komando Rakyat). Nasution yang sudah menjadi Jenderal penuh pada saat itu juga disibukkan dengan persiapan yang harus dilakukan guna mendukung Trikora itu. A.H. Nasution menjadi perwira kedua setelah Jenderal Soedirman yang mencapai pangkat Jenderal penuh.
            Jenderal Nasution selaku KSAD dan Mayjen Ahmad Yani selaku Deputi KSAD melakukan misi pembelian senjata dan perlengkapan militer untuk mendukung operasi militer dalam rangka menghadapi Belanda. Jenderal Nasution juga melakukan penggalangan sukarelawan Trikora yang terdiri dari mahasiswa dan pemuda. Para relawan Trikora ini difungsikan sebagai pendukung TNI dalam melakukan penyusupan keberbagai tempat di Irian Barat, dikarenakan militer Belanda melakukan penjagaan ketat dan rapat di wilayah perairan Irian Barat.
            Setelah melakukan tekanan dan penyusupan militer serta upaya diplomasi di forum internasional dengan perantara PBB, akhirnya Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia 15 Agustus 1962.

Berseberangan Dengan Bung Karno
            Pada tanggal 26 Juli 1962, Jenderal Nasution mengakhiri jabatannya sebagai KSAD dan sebagai penggantinya ditunjuk Mayjen Ahmad Yani. Sebenarnya Nasution menghendaki Mayjen Gatot Subroto menjadi penggantinya dengan pertimbangan Mayjen Gatot Subroto telah cukup lama menjadi wakil KSAD.
            Setelah tidak menjadi KSAD, Nasution menempati jabatan sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB). Ada isu yang menyatakan, salah satu pihak menginginkan agar pengaruh Nasution di AD habis. Dengan hanya menjadi KSAB, Jenderal Nasution sudah tidak punya wewenang komando pasukan. Penenpatannya sebagai KSAB hanya menangani hal-halo administratif semata. Penempatan ini juga dinilai sebagai akibat dari terganggunya hubungannya dengan Bung Karno.



Peristiwa G30S
            Pada tahun 1960-an PKI berhasil membangun hubungan erat dengan presiden. Meskipun Bung Karno bukan komunis namun dengan adanya hubungan ini PKI menjadi sangat leluasa. PKI juga melakukan provokasi terhadap Angkatan Darat terutama kepada jajaran perwira tingginya. Isu paling panas adalah mengenai Dewan Jenderal. Dewan ini diisukan terdiri dari para Jenderal AD yang telah mempersiapkan upaya kudeta terhadap Bung Karno. Isu tersebut disebutkan bahwa Jenderal Nasution diplot sebagai Perdana Menteri dan Letnan Jenderal Ahmad Yani sebagai wakil perdana menteri.
Menanggapi isu tersebut Ahmad Yani menyatakan secara langsung kepada Bung Karno, bahwa isu Dewan Jenderal tidak ada. Tetapi, isu tersebut sudah terlanjur menyebar luas yang mengakibatkan pecahnya peristiwa G30S yang dilakukan oleh PKI. Tujuan gerakan tersebut yaitu untuk melindungi presiden dari kudeta Dewan Jenderal dan untuk itu mereka telah menangkap bebarapa Jenderal yang disebutnya sebagai anggota Dewan Jenderal, termasuk Jenderal Nasution dan Jenderal Ahmad Yani. Tetapi Jenderal Nasution berhasil lolos dari peristiwa penangkapan itu, sedangkan Jenderal Ahmad Yani dan enam perwira AD ditemukan mayatnya di kawasan Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur.

Menjadi Ketua MPRS
            Setelah aksi G30S berakhir, maka seluruh intitusi Angkatan Darat yang bercerai berai akibat isu dari PKI mulai dapat dipersatukan kembali. Awalnya banyak pihak yang meminta Jenderal Nasution kembali menjadi KSAD menggantikan Jenderal Ahmad Yani yang tewas menjadi korban G30S. Namun Nasution menolaknya dengan pertimbangan untuk membuktikan ketidakbenaran isu Dewan Jenderal atas tuduhan tentang sosoknya yang dinilai ambisius terhadap kekuasaan. Dengan itu Jenderal Nasution mengangkat Mayjen Soeharto sebagai KSAD.
            Pada 21 Juni 1966, Jenderal Nasution dipercaya menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Setelah menjadi ketua MPRS ini, tugas Nasution yaitu mananggapi tuntutan rakyat serta mahasiswa serta sebagian besar anggota MPRS yang menanggapi Bung Karno melepaskan jabatannya. Tugasnya semakin berat karena ia tahu persis Bung Karno Masih mempunyai banyak pendukung selain juga secara pribadi dirinya mengagumi dan mengakui sosok Bung Karno sebagai pendiri dan pemimpin bangsa. Meski begitu karena sudah menjadi tuntutan dan pilihan yang konstitusional, Nasution dalam kapasitasnya sebagai Ketua MPRS dengan berat hati melaksanakan tuntutan itu.
            Pertanggungjawaban Bung Karno kepada MPRS secara mayoritas mendapatkan penolakan dari para anggota. Dengan ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967, sebagai Ketua MPRS, Jenderal Nasution melimpahkan kekuasaan Bung Karno kepada pejabat Presiden, Jenderal Soeharto.
            Dengan berbagai tindakan yang telah dilakukannya tersebut sekaligus menjadi bukti bahwa tuduhan tentang sosoknya yang dinilai ambisius terhadap kekuasaan pupus sudah. Jika Nasution menghendaki kekuasaan, maka hal itu dengan mudah dapat dilakukan karena ia adalah Jenderal paling senior di Korps Angkatan Bersenjata RI, selain itu sosoknya sangat pantas untuk menjadi presiden menggantikan Bung Karno. Semua yang telah dilakukannya itu tidak lebih sebagai bentuk pengabdian dan keyakinan dalam menjawab panggilan tugas yakni mempersatukan Angkatan Bersenjata RI dan menegakkan konstitusi negara.

Dicekal Rezim Orde Baru
            Jenderal Nasution adalah sosok kunci dalam menegakkan pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto. Ia juga dikenal sebagai sosok yang paling berjasa dalam mempersatukan Angkatan Darat yang sebelumnya selalu identik dari konflik. Belum lagi jasa dan sumbangannya dalam mengembangkan konsep Perang Gerilya yang tebukti ampuh dalam menghadapi Belanda dalam Perang Kemerdekaan 1945-1949.
            Namun dengan berbagai jasa dan kiprahnya itu bukan berarti rezim Orde Baru dan Jenderal Soeharto lantas memberikan penghargaan yang layak. Bahkan ketika kekuasaan Jenderal Soeharto dan Orde Barunya sudah mantap, Nasution justru dipinggirkan. Diawali dengan pembubaran MPRS oleh Presiden Soeharto tahun 1971, selain itu pada 1972 Jenderal Nasution dipensiunkan dari TNI. Selain itu semua aktivitas dan gerak-geriknya dibatasi dan diawasi, pencekalan pidato dan ceramah di kampus-kampus bahkan tulisan-tulisannya juga tidak boleh diterbitkan di media massa. Dengan begitu praktis posisinya semakin terjauh dan terpinggirkan.
            Perlakuan agak berbeda baru diperoleh tahun 1997, satu tahun menjelang jatuhnya kekuasaan Soeharto. Pada peringatan Hari ABRI ke-52, A.H. Nasution mendapatkan gelar sebagai Jenderal Besar (jenderal berbintang lima). Gelar ini juga diberikan kepada Soeharto (presiden RI) dan Jenderal Soedirman, Panglima Besar TNI tahun 1945-1950.
            Dua tahun setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru, pada Rabu 6 Agustus 2000, Jenderal A.H. Nasution wafat di Rumah Sakit Gatot Subroto, Jakarta. Bangsa Indonesia kehilangan salah seorang putra terbaiknya.











Sumber Lain

JENDERAL BESAR ABDUL HARIS NASUTION (1918-2000)

            Sebagai seorang tokoh militer, Nasution sangat dikenal sebagai ahli perang gerilya. Pak Nas demikian sebutannya dikenal juga sebagai penggagas dwifungsi ABRI. Orde Baru yang ikut didirikannya (walaupun ia hanya sesaat saja berperan di dalamnya) telah menafsirkan konsep dwifungsi itu ke dalam peran ganda militer yang sangat represif dan eksesif. Selain konsep dwifungsi ABRI, ia juga dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya. Gagasan perang gerilya dituangkan dalam bukunya yang fenomenal, Fundamentals of Guerrilla Warfare. Selain diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, karya itu menjadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite militer dunia, West Point, Amerika Serikat.
            Tahun 1940, ketika Belanda membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda Indonesia, ia ikut mendaftar. Ia kemudian menjadi pembantu letnan di Surabaya. Pada 1942, ia mengalami pertempuran pertamanya saat melawan Jepang di Surabaya. Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, Nasution bersama para pemuda eks-PETA mendirikan Badan Keamanan Rakyat. Pada Maret 1946, ia diangkat menjadi Panglima Divisi III/Priangan. Mei 1946, ia dilantik Presiden Soekarno sebagai Panglima Divisi Siliwangi. Pada Februari 1948, ia menjadi Wakil Panglima Besar TNI (orang kedua setelah Jendral Soedirman). Sebulan kemudian jabatan "Wapangsar" dihapus dan ia ditunjuk menjadi Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Di penghujung tahun 1949, ia diangkat menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat.
            Akibat pertentang internal di dalam Angkatan Darat maka ia menggalang kekuatan dan melawan pemerintahan yang terkenal dengan peristiwa 17 Oktober 1952. Akibat peristiwa ini Presiden Soekarno mencopotnya dari jabatan KSAD dan menggantinya dengan Bambang Sugeng. Setelah inilah akhirnya pada November 1955 ia menjabat kembali posisinya sebagai KASAD. Tidak hanya itu, pada Desember 1955 ia pun diangkat menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia.
            Memang tragis. Pak Nas pernah bertahun-tahun dikucilkan dan dianggap sebagai musuh politik pemerintah Orba. Padahal Pak Nas sendiri menjadi tonggak lahirnya Orba. Ia sendiri hampir jadi korban pasukan pemberontak yang dipimpin Kolonel Latief. Pak Nas-lah yang memimpin sidang istimewa MPRS yang memberhentikan Bung Karno dari jabatan presiden, tahun 1967.
            Pak Nas, di usia tuanya, dua kali meneteskan air mata. Pertama, ketika melepas jenazah tujuh Pahlawan Revolusi awal Oktober 1965. Kedua, ketika menerima pengurus pimpinan KNPI yang datang ke rumahnya berkenaan dengan penulisan buku, Bunga Rampai TNI, Antara Hujatan dan Harapan.
            Apakah yang membuatnya meneteskan air mata? Sebagai penggagas Dwi Fungsi ABRI, Pak Nas ikut merasa bersalah, konsepnya dihujat karena peran ganda militer selama Orba yang sangat represif dan eksesif. Peran tentara menyimpang dari konsep dasar, lebih menjadi pembela penguasa ketimbang rakyat.
            Pak Nas memang salah seorang penandatangan Petisi 50, musuh nomor wahid penguasa Orba. Namun sebagai penebus dosa, Presiden Soeharto, selain untuk dirinya sendiri, memberi gelar Jenderal Besar kepada Pak Nas menjelang akhir hayatnya. Meski pernah “dimusuhi” penguasa Orba, Pak Nas tidak menyangkal peran Pak Harto memimpin pasukan Wehrkreise melancarkan Serangan Umum ke Yogyakarta, 1 Maret 1949.
            Pak Nas dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya melawan kolonialisme Belanda. Tentang berbagai gagasan dan konsep perang gerilyanya, Pak Nas menulis sebuah buku fenomenal, Strategy of Guerrilla Warfare.
            Buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, jadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite bagi militer dunia, West Point Amerika Serikat (AS). Dan, Pak Nas tak pernah mengelak sebagai konseptor Dwi Fungsi ABRI yang dikutuk di era reformasi. Soalnya, praktik Dwi Fungsi ABRI menyimpang jauh dari konsep dasar.
            Jenderal Besar Nasution menghembuskan nafas terakhir di RS Gatot Subroto, pukul 07.30 WIB (9/9-2000), pada bulan yang sama ia masuk daftar PKI untuk dibunuh. Ia nyaris tewas bersama mendiang putrinya, Ade Irma, ketika pemberontakan PKI (G-30-S) meletus kembali tahun 1965. Tahun 1948, Pak Nas memimpin pasukan Siliwangi yang menumpas pemberontakan PKI di Madiun.
            Usai tugas memimpin MPRS tahun 1972, jenderal besar yang pernah 13 tahun duduk di posisi kunci TNI ini, tersisih dari panggung kekuasaan. Ia lalu menyibukkan diri menulis memoar. Sampai pertengahan 1986, lima dari tujuh jilid memoar perjuangan Pak Nas telah beredar. Kelima memoarnya, Kenangan Masa Muda, Kenangan Masa Gerilya, Memenuhi Panggilan Tugas, Masa Pancaroba, dan Masa Orla. Dua lagi memoarya, Masa Kebangkitan Orba dan Masa Purnawirawan, sedang dalam persiapan. Masih ada beberapa bukunya yang terbit sebelumnya, seperti Pokok-Pokok Gerilya, TNI (dua jilid), dan Sekitar Perang Kemerdekaan (11 jilid).
Sumber :
-       http://kolom-biografi.blogspot.com/2010/02/biografi-jendral-ah-nasution.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar