Rabu, 20 April 2016

BIOGRAFI SUTAN SJAHRIR


Sjahrir lahir pada tanggal 5 Maret 1909 di Padang Panjang, Sumatra Barat sebagai anak Moh. Rasad Gelar Maha Raja Soetan (asal Kota Gedang, Bukit Tinggi) yang jabatan terakhirnya ialah Hoofd Jaksa pada Landraad di Medan.
Masa jadi pelajar AMS A di Bandung (1926-1929)           
Sesudah menamatkan Europese Langere School dan Mulo di Medan tahun 1926, ia melanjutkan sekolah di Algemeene Middelbare School, jurusan Westers Klassiek di Bandung. Sjahrir tiba di Bandung pada tahun 1926 waktu PKI mengadakan pemberontakan di Pulau Jawa dan waktu pemerintahan Hindia Belanda mengambil tindakan terhadap para pemimpin PKI dengan membuang mereka ke Boven Digeol.
Sjahrir sebagai pemuda selalu mengikuti perkembangan dengan membaca surat kabar Belanda AID (Algemeene Indische Dagblad) yang diterbitkan oleh Vorkink dan ditempelkan di atas papan agar dapat dibaca oleh khalayak. Sebagai seorang pelajar Sjahrir telah menunjukkan sifat kritisnya dengan lebih mengutamakan pengertian daripada sekedar menghafalkan pelajaran. Sifat-sifat ini terutama menonjol pada mata pelajaran sejarah dan bahasa Latin. Sjahrir tidak hanya mempelajari bahasa Latinnya saja tetapi mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang filsafah dan sejarah Kerajaan Romawi. Perhatiannya terhadap perkembangan masyarakat Indonesia timbul dengan adanya pemberontakan PKI dan dia berusaha memahami serta mendalami filsafah dan sejarah perkembangan masyarakat, negara dalam kemanusiaan.
Dalam usaha semuda itu Sjahrir telah menghubungkan ilmu dan pengetahuan dengan perkembangan masyarakat. Dia menarik perhatian di sekolah karena kecerdasannya, ketajaman berpikir, cepat menangkap isi dan arti soal-soal yang ia lihat, dengar atau baca.
Bersama-sama temannya di AMS ia berhimpun dalam suatu study club yang bernama Patriae Scientiaeque (PSQ), artinya: untuk tanah air dan ilmu pengetahuan. Sjahrir pada tahun 1927 juga aktif dalam organisasi pemuda yang berasaskan persatuan bangsa yaitu Jong Indonesia ia aktif dalam aksi pemberantasan buta huruf. Di samping kegiatan-kegiatan kemasyarakatan ia pun populer karena sifat-sifat pribadinya yang simpatik, murah senyum, selalu bergembira, bersikap terbuka serta bebas terhadap siapa pun. Ia suka musik dan pandai menggesek biola. Ia giat dalam olahraga, khususnya olahraga sepak bola.
Sejak mudanya Sjahrir tidak melihat dan merasakan sebagai suatu persoalan yang harus dipertentangkan yaitu kegiatan kerakyatan, kejelataan dan kebangsaan dengan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang yang datang dari dunia Barat. Kecerdasan dan ketajaman pikirannya disertai dengan jiwa bebas dan wajar telah menyebabkan ia pada usia masih muda melihat dan memiliki pengetahuan tentang keadilan, kebenaran dan kejujuran.
Melihat ketidakadilan dalam kolonialisme
            Sjahrir melihat dalam kolonialisme dan penjajahan Belanda ketidakadilan, kejujuran dan ketidakbenaran pemerintah Hindiu Belanda memperlakukan bangsa dan rakyat Indonesia. Dalam usia semuda itu Sjahrir sudah memiliki pengertian dan kesadaran tentang kolonialisme dan kekuasaan Hindia Belanda yang mengutamakan kekuasaan ketimbang menegakkan keadilan dan kebenaran, terutama untuk bangsa dan rakyat Indonesia. Sebaliknya Sjahrir lebih mementingkan pengertian daripada mengembangkan rasa benci dan permusuhan terhadap bangsa Belanda dan dunia Barat. Oleh sebab itulah ia berani dan wajar dimana saja bertukar pikiran dan menyatakan pendapatnya tentang kolonialisme dan penjajahan dengan tidak mempunyai rasa benci dan permusuhan terhadap bangsa Belanda. Akibat kegiatannya di dalam masyarakat ia beberapa kali dipanggil menghadap rektor sekolahnya.  Tetapi Sjahrir tidak merasa takut terhadap ancamannya, teguran dan tidak mempunyai rasa benci terhadap rektor sekolahnya. Ia menjadi terkenal di kalangan sekolah AMS di Bandung bahwa rektor Dr. Bessem dengan perasaan jengkel dan secara mengolok-olok bertekuk lutut di depan muridnya yang penuh semangat dan penuh keyakinan itu sambil berkata, “Ik geef my gewonnen, o wyze heer” (saya menyerah, ya Tuan yang amat tahu).
            Tidak hanya dia berani terhadap rektor dan guru-guru Belanda yang pada saat itu dianggap sebagai dewa oleh para murid pada umumnya, tetapi juga terhadap pemimpin nasional yang pada waktu itu sedang menanjak namanya seperti Bung Karno sebagai ketua PNI yang didirikan pada tanggal 4 Juli 1927, Sjahrir berani menegurnya dalam suatu rapat organisasi Pemuda Indonesia yang dipimpin oleh Sjahrir.
            Soekarno sebagai ketua PNI diminta memberikan pengarahan pada rapat tersebut. Pada waktu itu timbulah perdebatan seru antar Bung Karno dengan seorang peserta puteri dari Pemuda Indonesia (PI) yang bernama Soewarni. Bung Karno mengemukakan saran dan keinginanya dengan cara beragitasi serta mmenggunakan bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Belanda. Sjahrir berusaha menenangkan suasana dan menyarankan kepada Bung Karno agar membatasi pada soal-soal pokok saja yang mudah dapat dimengerti oleh otak orang-orang muda dan jangan menggunakan bahasa Belanda dalam rapat nasional ini. Seluruh peserta kaget melihat keberanian Sjahrir tersebut. Sebaliknya Bung Karno menyampaikan permintaan maaf kepada pimpinan rapat, kemudia rapat berjalan dengan baik. Di sini kelihatan lagi Sjahrir lebih mengutamakan pengertian daripada mengorbankan agitasi dan permusuhan.
            Setamat dari AMS tahun 1929, Sjahrir melanjutkan pelajarannya ke negeri Belanda mengikuti keluarga Dr. Djuhana, sebab Ny. Djuhana ialah kakak Sjahrir.
Kegiatan sebagai mahasiswa di Nederland (1929-1931)
            Sjahrir meneruskan pelajaran pada Universitas Amsterdam. Setibanya di negeri Belanda dia langsung menghubungi pengurus Amsterdamsche Sociaal Democratische Studenten Club. Sjahrir merupakan mahasiswa Indonesia pertama yang mencari hubungan dengan perkumpulan mahasiswa sosialis. Perkumpulan mahasiswa sosialis  adalah suatu organisasi yang bebas dan tidak merupakan bagian dari SDAP, tetapi banyak berhubungan dengan sayap kiri SDAP (Sociaal Democratische Arbeiders Partij = Partai Buruh). SDAP sebagai partai partai sosial demokrat menentang kolonialisme dan menghendaki Indonesia merdeka dengan jalan evolusi.
            Sjahrir sebagai mahasiswa sesuai dengan semangat mudanya ingin merangkul seluruh kemanusiaan, terutama rakyat jelata atau sekurang-kurangnya kaum buruh. Oleh sebab itulah ia secara sepiritual menyemplungkan diri dalam proletariat.
Menyelami kehidupan kaum buruh
Sjahrir berpandangan kehidupan sosialisme yang sesungguhnya dapat ditemukan pada klas pekerja. Pengertian mengenai klas pekerja dan solidaritas dengan mereka hanya dapat diperoleh dengan turut dalam kehidupan mereka. Sjahrir juga mengikutsertakan seorang mahasiswa wania yaitu Maria Ulfah agar menggunakan kesempatan di negaeri Belanda, negeri yang merdeka, ikut menyelami kehidupan kaum buruh.
Dalam usahanya menyelami sosialisme dan gerakan sosialis ia menceburkan diri dalam gerakan Sekretariat Federasi Buruh Transport Internasional (Internasional Transport Workers Federation) yang pada waktu itu memainkan peranan internasional yang penting.
Sebagai mahasiswa Indonesia Sjahrir menjadi anggota Perhimpinan Indonesia (PI) yaitu suatu gerakan mahasiswa di negeri Belanda yang pada waktu ketuanya ialah Mohammad Hatta dan tiga orang anggota PI yaitu Abdul Madjid Djojohadiningrat, Nazir Pamuntjak dan Ali Sastroamidjojo. Hatta pada waktu Sjahrir bergabung pada PI mempersiapkan beberapa orang kader untuk menggantikannya sebagai ketua PI. Mahasiswa-mahasiswa yang direncanakan oleh Hatta untuk menggantikannya sebagai ketua PI berturut-turut ialah Abdul Sjukur, Roesbandi, dan Sjahrir yang baru datang dari Indonesia.sesuai dengan rencana, Hatta dalam tahun 1929 mengundurkan diri sebagai ketua dan digantikan oleh Abdul Sjukur. Semasa Hatta menjadi ketua PI pada tahun 1927 dia menjadi ketua Delegrasi Indonesia menghadiri Kongres Internasional Anti Penindasan Kolonialisme dan Imperalisme. Pada akhir kongres diputuskanlah kongres itu diubah menjadi suatu badan yang dinamakan League Against Imperialism and for National Independence (Liga Anti Imperialisme dan Untuk Kemerdekaan Nasional). Liga ini mempunyai seksi di negeri Belanda dan PI merupakan pusat dan penggeraknya. Pemerakarsa pembentukan Liga ialah seorang komunis Jerman Willy Muzenberg pada tahun 1927. Orang komunis membuat sel-sel di Liga dan di Belanda orang komunis membuat sel-sel di PI, sehingga kaum komunis berhasil mencapai kemenangan dalam PI dan tindakan mereka adalah menyingkirkan setiap orang yang membantah pengaruh komunis. Waktu itu yang menjadi ketua PI ialah Abdullah Sjukur yang kurang berwibawa. Anggota PI yang beraliran komunis dan mempunyai pengaruh besar adalah Rustam Effendi, Abdul Madjid dan Setiadjid.
Hatta berusaha keras agar PI keluar dari Liga karena menurut Hatta Liga telah menjadi komunis yang sangat ekslusif. Hatta menulis dalam Majalah PI dan di sana di antaranya ada kalimat yang berbunyi “Kita tidak mau dijadikan kuda penarik kereta Moskow”
Orang-orang komunis memecatnya dari PI
Orang-orang komunis dalam PI yaitu Rustam Effendi, Abdul Madjid dan Setiadjid berhasil dalam suatu rapat pleno memecat Hatta dan Sjahrir dari keanggotaan PI. Pemecatan Hatta dan Sjahrir dari PI terjadi pada tanggal 27 November 1931. Buat Hatta yang dalam masa jabatan ketua PI menjadi organisasi politik yang menggariskan strategi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, pemecatan itu dirasakannya sebagai suatu pukulan berat dan menggoyahkan kepercayaan pada dirinya sendiri. Hatta juga merasakan reputasinya dirusak oleh orang-orang komunis. Sjahrir yang pada waktu itu berumur 21 tahun sama sekali tidak gentar oleh pengumuman tentang pemecatan dirinya. Ternyata Sjahrir tidak panik, ia tidak diintimidasikan semenit pun oleh deklarasi resmi atau pura-pura resmi, tidak ditakuti oleh komunike atau formulasi lain, tidak takut sedetik pun terhadap manuver-manuver yang langsung menantang dia, apabila khawatir mengenai reputasinya.
Percampuran kepercayaan diri dan realisme serta keberanian yang berdasarkan tidak adanya ambisi atau kesombongan, itulah yang mencirikan orang itu. Kejadian itu nampaknya kecil walau tidak demikian halnya bagi mahasiswa muda yang masa depannya kelak akan terlibat lagi dalam kejadian seperti itu. Bagaimanapun juga, siapa pun yang telah pernah berdiri tegak dalam suatu krisis, ia akan demikian juga di masa depan.
Pembubaran PNI ditentang “golongan merdeka”
            Sjahrir dan Hatta yang telah bersatu dalam perjuangan melawan komunis kemudian menempuh jalan mereka bersama-sama.
            Pada tanggal 22 Desember 1930 Pengadilan Negeri Bandung menghukum empat orang pemimpin PNI yaitu Soekarno, Gatot Mangkupradja, Maskoen dan Soepriadinata. Keempat orang tersebut naik banding dan pada tanggal 17 April 1931 Raad Van Justitie Batavia mengukuhkan keputusan Pengadilan Negeri Bandungdengan tetap menghukum penjara keempat pemimpin PNI tersebut. Pengurus besar PNI atas anjuran Mr. Sartono berhubung dengan keputusan Pengadilan Negeri Bandung tersebut membubarkan PNI, dan sebagai gantinya mereka mendirikan Partai Indonesia. Kejadian itu ditentang oleh pemimpin tengah, antara lain Soedjadi Moerad, Kantaatmaka, Bondan, Soekarto dan Teguh. Mereka menolak ikut dengan Partai Indonesia dan membentuk dalam daerah masing-masing “Golongan Merdeka”. Soedjadi sudah lama berkorespondensi dengan Hatta yaitu sejak sebelum didirikannya PNI (tanggal 4 Juli 1927) menyampaikan sikap mereka kepada Hatta. Dari jauh Hatta membantu golongan merdeka itu.
            Mohammad Hatta memandang pembubaran PNI memalukan dan perbuatan itu melemahkan pergerakan rakyat. Pemimpin-pemimpin yang membubarkan yang membubarkan PNI lupa bahwa dengan demikian mereka menunjukkan kelemahan mereka dan menyatakan pula mereka tidak bersedia berkorban. Padahal kemauan berkorban itulah yang dididik bertahun-tahun oleh PI.
Rakyatlah yang mempunyai kekuasaan
            Mohammad Hatta membuat suatu perjanjian dengan Soedjadi, salah seorang terkemuka dalam golongan merdeka, untuk menertibkan majalah yang diterbitkan sekali dalam 10 hari guna pendidikan kader baru. Hatta mengusulkan majalah itu diberi nama Daulat Rakyat. Majalah ini akan mempertahankan asas kerakyatan yang sebenarnya dalam segala susunan dalam politik, perekonomian dan pergaulan sosial. Menurut Hatta rakyatlah yang utama, rakyat umum yang mempunyai kekuasaan karena rakyat itulah jantung hati bangsa dan rakyat pulalah yang menjadi tinggi rendahnya derajat suatu bangsa. Hatta dan Sjahrir bermufakat agar Sjahrir pulang ke Indonesia pada bulan Desember 1931 untuk membantu golongan merdeka serta membantu Daulat Rakyat.
            Sebelum Sjahrir meninggalkan negeri Belanda untuk menjalankan tugas di Indonesia, dalam suatu rapat kelompok sayap kiri  partai SDAP ia bertemu dan berkenalan dengan J. de Kadt. Selesai rapat Sjahrir berbincang-bincang sebentar dengan J. de Kadt, Sjahrir menyatakan perlu adanya kerja sama antar kaum sosialis kiri Belanda dengan pergerakan kebangsaan Indonesia yang masih lemah di banyak bidang, karena selalu ditekan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan juga karena kurangnya kesadaran akan sosialisme. Sjahrir mengharapkan sosialis kiri Belanda membantu para pejuang di Indonesia dalam perjuangan mereka yang berat itu dengan jalan menerbitkan karangan-karangan yang bersifat umum dan brosur-brosur.
            Kesan J. de Kadt tentang Sjahrir yang menonjol waktu itu adalah sifat merendahkan diri dan pikiran sehatnya. Sjahrir sama sekali tidak ada niat menjadi pahlawan yang mengorbankan diri di Hindia Belanda. Tetapi ia sadar pula segala tindakannya yang betapa sederhana pun akan dapat membangkitkan reaksi keras dari Pemerintah dan ia siap menghadapi tindakan keras itu.
Kegiatan setelah kembali di Indonesia (1932-1934)
            Sesampainya di Indonesia anggota-anggota yang bergabung dalam gerakan Golongan Merdeka baru menyelesaikan konperensinya pada bulan Februari 1932 di Yogyakarta. Dalam konferensi tersebut diputuskan pendirian partai politik baru dengan nama “Pendidikan Nasional Indonesia” dengan ketuanya Soekemi. Sjahrir menggabungkan diri pada partai Pendidikan Nasional Indonesia cabang Jakarta dan ia dipilih sebagai ketua cabang serta Djohan Sjahruzah sebagai sekretaris cabang.
            Sebelum diadakan kongres Pendidikan Nasional Indonesia pada bulan Juni 1932, kegiatan Sjahrir di samping ketua Cabang Pendidikan Nasional Indonesia Jakarta juga membantu Soedjadi dalam penerbitan majalah “Daulat Rakyat”.


Partai politik dan partai kader
            Dalam kongres itu sesuai dengan namanya dirumuskan: adapun PNI suatu Partai Politik dan suatu Partai Kader. Dalam pembicaraan sebelum sampai pada keputusan tentang sifat Partai Politik yang merupakan Partai Kader itu, argumentasi yang paling kuat adalah yang dianjurkan oleh Sjahrir. Pada waktu itu dia berumur 23 tahun, jadi ia termasuk golongan pemuda. Sebagian anggota yang belum mengenal Sjahrir memang agak kurang antusias waktu kongres memutuskan memilihnya menjadi Ketua Pimpinan Umum karena Sjahrir berperawakan kecildan berwajah mirip anak sekolah. Tetapi mereka yang telah mengenal Sjahrir, terutama teman-temannya waktu dia masih sekolah di AMS dan Pimpinan Pemuda Indonesia, sungguh-sungguh merasakan mempunyai pimpinan yang tahu apa yang ia harus kerjakan dengan keberanian penuh tanggung jawab. Ia seoarang realis yang memiliki pendirian tegas dan tujuan luas dengan mengesampingkan segala sifat pribadi, sentimen dan demagogi. Oleh pihak lawannya, terutama dari pihak Pemerintah Kolonial Hoofdparket, di antara sekian banyak Pemimpin Nasional Revosioner Sjahrir dianggap cukup ditakuti akan pengaruhnya terhadap masa rakyat.
            Pimpinan Sjahrir ditandai oleh pengarahan konsolidasi ke dalam dengan metode pendidikan yang mengarah pada kematangan politik dan jiwa kritis. Tidak lama sesudah kongres I PNI, Hatta tiba kembali ke Indonesia dari negeri Belanda. Dengan itu, Ketua Pimpinan Umum PNI diserahkan Sjahrir kepada Hatta.
“Ke arah Indonesia Merdeka”
            Penulisan tentang azas dan tujuan partai diserahkan kepada Hatta yang kemudian diberi nama Ke arah Indonesia Merdeka (KIM), dan diterbitkan oleh pimpinan PNI sebagai buku kecil. Semua anggota PNI memiliki KIM dan untuk memperdalam serta memahami isi KIM atas gagasan Sjahrir dibuatlah oleh seksi pendidikan Pimpinan Umum PNI pertanyaan-pertanyaan tertulis bertalian dengan isi KIM. Jumlah pertanyaan-pertanyaan tersebut 150 buah yang oleh PID diberi nama “De Honderd Vijftig Vraagstukken”.
            PID Bandung Dinas Penerangan Politik Hindia Belanda dengan beredarnya 150 pertanyaan itu mulai memperhatikan Sjahrir dan pemuka-pemuka PNI dengan serius. Sjahrir dianggap dan dikategorikan sebagai salah seorang pemimpin penggerakan kemerdekaan yang berbahaya bagi kekuasaan Belanda di Indonesia. Disamping membentuk kader, ia memberikan pendidikan dengan memimpin kursus-kursus dalam partai, ia juga menulis karangan dalam majalah Daulat Rakyat.
Sesudah kongres PNI I di Bandung, Sjahrir dibawa oleh Sastra ke desa-desa di daerah Garut. Sastra adalah pemimpin buruh dari keluarga petani di Garut, pendidikannya hanya sekolah desa di “Seungkeu”. Sjahrir menyelami dan menghayati kehidupan rakyat desa, dalam perjalanan mereka acap kali berdiskusi tentang pemberontakan komunis tahun 1926.
Revolusi dengan syarat-syaratnya
Sjahrir menerangkan kepada Sastra sebagai berikut: Revolusi tidak mungkin diadakan sembarangan waktu menurut kehendak nafsu si pemimpin yang gila berontak. Kalau memang mau berhasil maka perjuangan harus tertib dan teratur.
Revolusi hanya mungkin terjadi bila syarat-syaratnya terpenuhi yaitu syarat-syarat obyektif dan syarat-syarat subyektif. Syarat obyektif adalah ketidakpuasan rakyat yang umum merata dalam masyarakat, kekalutan dan lenyapnya disiplin dikalangan aparat pemerintahan dan kebingingan tokoh-tokoh yang memerintah, sedangkan syarat subyektif adalah manusia-manusia pejuang yang memperjuangkan perbaikan keadaan itu.
Yang penting dari ajaran Sjahrir ialah ajaran kedaulatan rakyat, ajaran bagaimana seharusnya mengatur negara sesudah Indonesia Merdeka tidak cukup dengan asal merdeka sambil tidak peduli golongan mana sepatutnya yang mengendalikan pemerintahan. Golongan yang memerintah seharusnya adalah mereka yang bersemangat kemanusiaan dan kerakyatan. Mereka yang keluar mengusahakan kerjasama secara persaudaraan antara bangsa, demi membantu usaha ke dalam untuk memajukan dan memakmurkan seluruh rakyat. Pemerintah harus dipilih secara berkala oleh rakyat, diawasi terus-menerus oleh rakyat dan bertanggungjawab kepada rakyat yang berdaulat dan yang berkuasa, jadi bukan kepada seorang raja atau ratu, bukan kepada sekelompok kaum ningrat, kaum intelek atau sekelompok hartawan kapitalis.
Di samping itu Sjahrir mencurahkan perhatian dan kegiatannya menyusun pergerakan buruh. Pada akhir tahun 1932 kaum buruh di Indonesia mengadakan kongres di Surabaya. Dalam kongres itu Sjahrir memberi prasaran yang kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul Serikat Kerja. Atas dasar prasaran ini pula Sjahrir dipilih menjadi Ketua Central Persatuan Buruh Indonesia yang berkedudukan di Surabaya.
Setelah Pemerintah Hindia Belanda mempelajari kegiatan PNI dan bahan–bahan tertulis itu menyadari PNI lebih berbahaya bagi kelangsungan hidup kolonialisme daripada Soekarno dengan Partindonya. Kalau dalam hal Partindo cukup hanya menagkap Soekarno, dalam PNI Pemerintah Hindia Belanda menganggap perlu menangkap dan menahan pengurus PNI seluruhnya baik yang di Jakarta maupun yang di Bandung.
Masa Pembuangan (1935-1942)
            Sjahrir dan Hatta mengalami pembuangan selama satu tahun di Digoel yaitu dari tanggal 28-1-1935 sampai bulan Desember 1935, kemudian mereka dipindahkan ke Banda Neira sampai pecah Perang Pasifik dan pada bulan Februari 1942 dipindahkan ke Sukabumi.
            Masa pembuangan dimanfaatkan oleh Sjahrir dengan membaca dan belajar baik mengenai ekonomi, budaya maupun politik. Ia mengikuti perkembangan dunia melalui surat-surat kabar yang terbit di Pulau Jawa maupun yang terbit di negeri Belanda. Usaha yang paling sadar ia kerjakan ialah tidak menyerah dan hanyut pada penderitaan akibat pembuangan, baik secara fisik maupun secara spiritual. Pengasingan ke Diegoel dan Banda Neira dimanfaatkan oleh Sjahrir untuk meningkatkan kesadaran pengetahuannya tenteng perkembangan dunia dan sejarah kemanusiaan sambil mendidik dan mendewasakan dirinya sendiri dalam hubungan perkembangan dunia dan sejarah kemanusiaan.
            Di Banda Neira Sjahrir dan Hatta, berlainan dengan di Boven Diegoel dapat bergerak leluasa di tengah-tengah masyarakat. Keadaan dan kehidupan mereka lebih baik dan lebih bebas sekalipun di bawah pengawasan pemerintah dan polisi daerah.
            Sjahrir dan Hatta di amping ada kesempatan belajar dan membaca juga ada kesempatan mendidik dan memberi pelajaran pada anak-anak. Bagi Sjahrir memberi pelajaran pada anak-anak tidak semata-mata untuk mendidik dan mengajar tetapi juga untuk teman dan penghibur dalam hidupnya di pengasingan. Bahkan ia mengambil seorang bayi berumur 8 bulan bernama Ali, karena kedua orang tua anak tesebut kena penyakit malaria dan ibumya sedang mengandung lagi. Ali diasuh Sjahrir dengan susu kaleng. Anak-anak mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan Sjahrir.
Mengembangkan daya pikir yang asli
            Bersama-sama dengan anak-anak yang segar dan terbuka dia menikmati keindahan alam di Banda Neira sambil mendidik dan membuka mata anak-anak yang masih muda dan segar itu tentang sejarah perasaan indah dan cinta pada alam. Ditunjukkannya peninggalan-peninggalan historis sepeti benteng Belgica dan benteng Nassau yang merupakan bukti nyata dari peperangan antar bangsa. Dengan demikian anak-anak mendapat pengertian tentang fakta-fakta sejarah dan cita-cita kebangsaan. Di pantai yang sunyi anak-anak diajar menyanyi lagu Indonesia Raya yang mereka nyanyikan keras-keras dan bebas karena tidak dapat didengar oleh orang lain.
            Keseimbangan yang ditemukan oleh Sjahrir di Banda Neira yang alamnya indah dan pergaulannya engan anak-anak memungkinkan ia hidup dan berkembang sebagai manusia yang sehat baik secara fisik maupun secara spiritual. Dalam keadaan demikian ia dapat mengatur kehidupannya sehingga dalam studinya di segala bidang baik ekonomi, politik dan kebudayaan secara intensif dan segar dengan pandangan yang bebas ia tidak merasa terikat dan tidak lagi menjadi budak ilmu pengetahuan resmi.
            Ia dapat mengembangkan pikirannya yang asli. Dengan demikian ia juga dapat mengikuti dan merenungkan perkembangan politik dunia dengan jernih dan tajam. Perkembangan dunia yang demikian membuat Sjahrir meninjau kembali kedudukan dan peran gerakan rakyat Indonesia. Pergerakan rakyat Indonesia adalah pergerakan rakyat kebangsaan yang ditimbulkan oleh hubungan antara Belanda dengan Indonesia. Kita tumbuhkan kesadaran kebangsaan kita, ideologi kita atas dasr antitesa sejarah Belanda di Indonesia dengan kolonialisme Belanda di Indonesia.
Mempersiapkan rakyat menghadapi bahaya fasisme
            Pada Sjahrir sudah timbul kesadaran bahwa bahaya dan ancaman fasismelah yang utama dan pergerakan rakyat harus dipersiapkan untuk menghadapi bahaya dan ancaman fasisme tersebut. Renungan dan kesadaran Sjahrir ini serta pandangannya terhadap perkembangan dunia selanjutnya seperti ditulisnya dalam bukunya Renungan Indonesia.
            Kesadaran yang dimiliki Sjahrir sesuai dengan perkembangan dunia internasional tentang kemungkinan kerjasama antara rakyat Belanda dan Indonesia dalam menghadapi ancaman dan bahaya fasisme tidaklah dimiliki dan tumbuh di kalangan Pemerintah Belanda di negeri Belanda. Oleh karena tidak ada kesadaran baik dari pihak Belanda dan Pemerintah Hindia Belanda maupun dari gerakan rakyat Indonesia seperti yang dimiliki oleh Sjahrir, tidak adalah kerjasama antara Belanda dengan pergerakan rakyat Indonesia untuk menghadapi fasisme.
            Sesudah Sjahrir dan Hatta dibebeskan oleh Jepang pada bulan Maret 1942, Sjahrir mengambil keputusan dengan pasti tidak akan bekerja sama dengan Jepang serta akan mempersiapkan penyusunan gerakan rakyat untuk melawan fasisme Jepang. Sjahrir bekerja sama dengan Hatta agar hubungan ini tidak diketahui oleh Jepang karena Sjahrir tidak begitu dikenal oleh Jepang.
Dengan diam-diam Sjahrir memulai kegiatannya dibawah tanah dengan menemui orang-orang yang ia yakin betul pejuang-pejuang demokrasi dan kemanusiaan melawan fasisme, antara lain J. de Kadt. Sjahrir menemui J. de Kadt karena memiliki suatu rencana yang dibuat oleh J. de Kadt, rancangan ini merupakan semacam pola tenteng tindakan peralihan setelah Indonesia dibebeskan dari pendudukan negara asing dan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Tindakan ini harus diambil bersama dengan pemimpin-pemimpin kebangsaan Indonesia agar masa peralihan ini dapat berlangsung secapat mungkin.
Masa pendudukan Jepang (1942-1945)
            Jadi apa yang direnungkan oleh Sjahrir pada tahun 1938 tentang peranan gerakan rakyat dan kerjasama dan mendapat saling pengertian dengan rakyat dan Pemerintah Belanda dalam menghadapi lawan bersama yaitu fasisme, dilakukanlah selama pendudukan Jepang. Ia memperkembangkan suatu gerakan di bawah tanah atau setidak-tidaknya suatu sikap tidak mau bekerjasama dengan Jepang dengan tujuan yang jelas. Kalau perlu tujuan itu dicapainya dengan suatu pemberontakan pada akhir perang, biarpun kemungkinannya sangat besar usaha itu akan ditumpas oleh Jepang dengan kekuatan senjata.
            Untuk mencapai tujuan itu secara tertutup dan berhati-hati ia menemui tokoh-tokoh pemuda dan cendikiawan yang berpotensi dan bertekad untuk sekurang-kurangnya tidak bekerjasama dengan Jepang, dan kalau mungkin mempersiapkan perlawanan baik secara politik maupun fisik terhadap Jepang. Untuk itu Sjahrir mengadakan perjalanan di pulau Jawa yaitu di pusat-pusat konsentrasi pemuda dan cendikiawan seperti Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Malang dan Cirebon.
Yakin Jepang tidak akan menang perang
            Sjahrir bisa dikatakan satu-satunya pemimpin yang dengan sadar tidak mau bekerjasama dengan Jepang. Dalam bergerak di bawah tanah ini untuk dapat mengikuti perkembangan dunia dan jalannya perang dia mengikutinya melalui radio yang tidak disegel dan yang disembunyikan dalam lemari. Dan dia tetap memelihara hubungannya dengan Hatta melalui anak angkatnya, cara memelihara hubungan dengan Hatta adalah mereka mengadakan makan malam bersama sambil belajar bermain bridge di rumah Dr. Djuhana (ipar Sjahrir) dan sekali-kali ditempat tersebut Sjahrir bertemu dengan Bung Karno.
            Dengan mengikuti perkembangan politik dunia dan jalannya perang melalui radio gelap Sjahrir dapat memberi informasi baik kepada Hatta maupun kepada jaringan-jaringan yang telah ia susun di seluruh pulau Jawa sehingga ia dapat meningkatkan persiapan menggerakkan golongan-golongan yang anti Jepang dan yang pro demokrasi untuk memberi pukulan pada waktu yang tepat.
Masa Revolusi (1945-1950)
            Proklamasi kemerdekaan seperti yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 pada akhirnya tidak semata-mata usaha dari gerakan politik di bawah tanah, juga tidak merupakan usaha dari kaum nasionalis yang bekerjasama dengan Jepang, akan tetapi penjelmaan perpaduan dari kedua golongan nasionalis yaitu yang pro Jepang dan yang tidak mau bekerjasama dengan Jepang. Dalam sebuah rapat raksasa di lapangan Ikada, Jakarta pada tanggal 19 September 1945 yang telah dikerahkan oleh pemuda-pemuda sebagai suatu pernyataan bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri, yang sudah mempunyai negara yang merdeka yang bukan sebagai hadiah dari Jepang.
            Keadaan di pusat (Jakarta) baik di tingkat kabinet pemerintahan maupun di tingkat KNIP tidak memperlihatkan usaha nyata bahwa kekuasaan sudah ada di tangan bangsa Indonesia. Pemerintah Pusat Indonesia menerima Jepang sebagai kekuatan untuk menjaga keamanan dan hukum sebagai status quo selama tentara Sekutu belum datang bertindak atas nama Sekutu. Dan rapat yang dilakukan di lapangan Ikada, Jakarta juga merupakan usaha pemuda untuk memaksa kabinet RI untuk tidak mengakui keadaan status quo, akan tetapi berani melawan kekuasaan Jepang.
            Pada tanggal 16 Oktober 1945, diadakan sidang pleno KNIP. Sidang yang suasananya dipengaruhi sekali oleh pemuda dan mahasiswa memutuskan untuk menggantikan pimpinan KNIP dengan orang yang revolusioner. Sidang memilih Sjahrir sebagai ketua dan Amir Sjarifudin sebagai wakil ketua. Sebagai ketua Badan Pekerja KNIP, Sjahrir ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara yang diwujudkan dalam Manifes Politik 1 November 1845, yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Manifes Politik ini adalah pedoman di tingkat negara. Untuk melengkapi Manifes Politik di tingkat rakyat dan masyarakat ia tulislah buku kecil Perdjoangan Kita.
            Dalam buku itu disamping berusaha melepaskan pemuda dan bangsa Indonesia umumnya dari pengaruh fasisme Jepang ia menekankan bahwa perjuangan dan revolusi adalah revolusi demokrasi.
Apakah tujuan perjuangan bangsa?
            Kemerdekaan hanyalah merupakan jembatan untuk mencapai tujuan yaitu kerakyatan, kemanusiaan, kebebasan dari kemelaratan, tekanan dan penghisapan, keadilan, pembebasan bangsa dari gangguan sisa-sisa feodalisme, pendewasaan bangsa.
            Sesudah meletakkan pedoman dalam tingkat kenegaraan dalam Maklumat Politik 1 November 1945 dan pedoman untuk gerakan rakyat dan bangsa dalam buku Perdjoangan Kita, maka persoalan yang dihadapai bangsa Indonesia adalah kelemahan dan keragu-raguan dari pimpinan negara, Pemerintah Republik. Pimpinan negara Soekarno-Hatta selaku Presiden dan Wakil Presiden di mata internasional, terutama di mata Belanda dinilai sebagai kolaborator Jepang, bahkan mungkin sebagai penjahat perang. Sehingga dengan pandangan ini kedudukan Republik dapat dinilai dengan kedudukan Presiden dan Wakil Presidennya.
Siasat menghadapi pihak Sekutu
            Sekalipun Sjahrir sudah diikutsertakan dalam kepemimpinan bangsa tapi dia terbatas pada bidang legislatif yaitu sebagai ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Untuk mengatasi persoalan kepemimpinan negara, diusulkannya suatu pemerintahan kabinet perlementer yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri sebagai hasil perjuangan demokrasi melawan fasisme. Presiden dan Wakil Presiden dapat menerima pemecahan itu dengan menunjuk Sjahrir sebagai formatur dan kemudian mengangkatnya sebagai PM dari kabinet yang bertanggung jawab. Dengan demikian kedudukan Republik baik ke luar maupun ke dalam kuat karena pemerintahnya dipimpin oleh seorang pejuang demokrasi yang bersih dari noda fasisme bahkan berjaung melawan fasisme.
            Kemerdekaan Indonesia adalah perwujudab hak menentukan nasib sendiri ini di alam kemenangan demokrasi dan Pemerintah RI dipimpin oleh seorang PM yang pejuang demokrasi, maka lahirnya RI adalah sesuai dengan tujuan Perang Dunia II dari Sekutu.
            Siapa juga dari pihak Sekutu terutama pihak Belanda yang datang ke Indonesia untuk melanjutkan kolonialisme barulah dianggap sebagai lawan dan musuh. Karena memang Belanda pada hekekatnya mau kembali manjajah Indonesia, maka siasat Sjahrir hanya menghadapi Belanda saja sebagai lawan. Sjahrir kemudian memaksa Inggris membatasi kekuasaannya hanya pada tugas Inggris melucuti senjata tentara Jepang, membebaskan tawanan perang dan melikuidasi kekuasaan Jepang. Dan dalam melikuidasi kekuasaan Jepang, Pemerintah RI membantu Inggris dalam melaksanakan tugasnya.
            Dengan jalan begini Sjahrir memaksakan kepada Inggris untuk memperlakukan RI sebagai negara yang merdeka (de facto).
Memberikan pendidikan politik kepada rakyat
            Sjahrir menulis buku Perdjoangan Kita untuk memberi pedoman kepada rakyat tentang arti revolusi yaitu suatu revolusi demokratis anti fasis dan anti feodal, suatu perjuangan untuk kemanusiaan, kerakyatan, pendewasaan bangsa, dan membebaskan diri dari noda-noda fasisme Jepang. Sebagai PM ia di satu pihak mempertahankan kemerdekaan RI ke luar, di lain pihak dia ke dalam mengembangkan kehidupan demokrasi, kerakyatan dan kemanusiaan.
            Sjahrir sebagai PM dan sebagai pemimpin eksekutif dalam tiga kabinet berturut-turut melaksanakan apa yang ia telah letakkan sebagai haluan negara dan pedoman perjuangan rakyat waktu ia masih berkecimpung dalambidang legislatif seperti maklumat politik menganjurkan pendirian partai-partai politik serta pedoman perjuangan rakyat bangsa Inndonesia seperti tertulis dalam buknya Perdjoangan Kita.
            Perundingan Sjahrir dengan Belanda melalui perundingan De Hoge Veluwe samapi kepada perundingan Linggarjati adalah atas dasar bahwa RI suatu negara yang merdeka, duduk sama tinggi dengan negeri Belanda, sedia kerjasama dengan Belanda untuk melikuidasi Hindia Belanda dan bersama-sama membentuk negara RI Serikat yang merdeka dan berdaulat. Pihak Belanda, baik waktu perundingan De Hoge Veluwe tidak terdapat persetujuan sama sekali maupun pada persetujuan Linggarjati, oleh sebab pikiran yang realistis dan reaksioner tidak mau mengakui kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia selama masa peralihan sampai terbentuknya negara RI Serikat.

Bertindak sesuai dengan hukum demokrasi
Untuk mencegah pecahnya perang dengan Belanda, Sjahrir mengadakan pidato radio pada tanggal 19 Juli 1947 yang berisi antara lain memberi konsensi pada Belanda secara yuridis mau mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia selama masa peralihan, akan tetapi dengan mempertahankan kedaulatan RI ke dalam. Baik kabinet dan Partai Sosialis menyetujui kebijakan Sjahrir ini. Partai Sosialis adalah anggota dari Sayap Kiri yang terdiri dari Partai Sosialis, Partai Kominis Indonesia, Partai Buruh Indonesia dan Pesindo. Sayap Kiri umumnya didominasi oleh kaum komunis tidak dapat menerima kebijakan Sjahrir bukan semata-mata atas pertimbangan kebijaksanaan melainkan karena Sjahrir bukan seorang komunis.
Oleh karena Sjahrir tidak mendapat dukungan oleh sayap kiri, maka ia meletakkan jabatan sebagai PM.  Sebenarnya Sjahrir dengan dukungan Kabinet, Presiden dan Wakil Presiden dapat bertahan sebagai PM dan mengabaikan keputusan Sayap Kiri. Disini Sjahrir harus memilih antara kekuasaan dan demokrasi. Sebagai seorang demokrat tulen ia memilih demokrasi dan meletakkan jabatannya. Sjahrir meletakkan jabatan Perdana Menteri ia sesuai dengan aturan-aturan permainan dan hukum demokrasi.
            Dengan demikian dia memberi pendidikan politik. Memang Sjahrir dalam seluruh hidupnya lebih mengutamakan pendidikan politik daripada kekuasaan. Ia lebih mengutamakan pendidikan politik untuk menegakkan demokrasi daripada menggunakan kekuasaan untuk memaksakan kemauannya dan mempertahankan kedudukannya. Sebaliknya ia tetap menyediakan diri untuk mempertahankan kemerdekaan RI terhadap Belanda. Untuk menunjukkan sikapnya ia bersedia waktu diminta oleh Presiden Soekarno untuk diangkat menjadi penasehat Presiden.
Mengapa kaum komunis menjatuhkan Sjahrir?
            Kaum komunis menjatuhkan Sjahrir oleh karena mereka tahu Sjahrir tidak akan bersedia menjalankan perintah mereka yaitu perintah Moskow. Sjahrir dijatuhkan oleh komunis ketika dalam perkembangan dunia pada tahun 1947 itu hanya ada dua kekuatan yaitu kekuatan anti imperialisme dibawah pimpinan Moskow dan kekuatan kapitalis dibawah Amerika Serikat. Kaum komunis tahu betul Sjahrir sekalipun ia seorang anti imperialisme, mempunyai sikap bebas dari Moskow dan tidak bersedia dipergunakan untuk kepentinagn Moskow.
            Waktu Sjahrir masih menjabat PM ia ikut menyokong dan melahirkan terbentuknya konperensi “Inter Asian Relations Conference”yang diadakan di New Delhi pada bulan April 1947. Konperensi New Delhi itu pada hakeketnya dasar permulaan politik luar negeri RI yang bebas tidak memihak pada blok-blok. Maka, untuk kedua kalinya dalam kehidupanya Sjahrir dapat pukulan dari komunis karena sikapnya yang bebas. Sedangkan yang memberi pukulan adalah orang komunis itu-itu saja yaitu Abdul Madjid dan Setiadjid.
            Waktu Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 menyerang Republik, Sjahrir sebagai penasehat Presiden dan selaku duta keliling Republik dengan pesawat terbang berangkat ke luar negeri. Pada tanggal 14 Agustus 1947 Sjahrir sebagai wakil RI berbicara dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Di sana ia mengupas politik penjajahan Belanda dan mendesak supaya Dewan Keamanan PBB membentuk suatu Badan Arbitrase yang tidak berpihak. Sjahrir di dalam forum internasional di Dewan Keamanan sekali lagi mempertahankan dan membela kemerdekaan RI seperti yang telah dikonsolidasi dalam perjanjian Linggarjati dan diakui oleh dunia internasional.
Penggarisan perjuangan bangsa
            Jabatan sebagai ketua Delegrasi RI di Dewan Keamanan PBB adalah kedudukan Sjahrir yang terakhir sebagai pejabat negara. Sesudah itu ia lebih memusatkan pikirannya menggariskan kembali perjuangan rakyat dan bangsa Indonesia yang disesuaikan dengan perkembangan dan percaturan politik internasional dewasa itu. Ia menggariskan suatu perjuangan untuk rakyat dan bangsa yang baru merdeka bekas jajahan.
            Pada pokoknya dalam menggariskan perjuangan rakyat dan bangsa yang baru merdeka bekas jajahan dianjurkannya untuk mengadakan kerjasama dan menjalankan politik bebas aktif dengan tidak memihak pada kedua blok yang ada dan menyusun kekuatan ketiga sehingga dapat mencegah pecahnya Perang Dunia ke III dan menjamin perdamaian dunia. Garis perjuangan ini akan ditawarkan oleh Partai Sosialis sehingga Partai Sosialis dapat melepaskan diri dari dominan kaum komunis.
Dan Partai Sosialis yang menjadi anggota Front Demokrasi Rakyat telah dikuasai oleh kaum komunis, maka anggota Partai Sosialis yang menyutujui garis perjuangan Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada bulan Februari tahun 1948. Sjahrir sebagai ketua umum PSI memusatkan perhatiannya dan kegiatannya untuk mengembangkan PSI.
            Sosialisme yang diperjuangkan oleh Partai Sosialis Indonesia adalah sosialisme yang berdasarkan kerakyatan yaitu yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat setiap manusia perorangan. Sosialisme mestinya tidak lain daripada penyempurnaan dari segala cita-cita kerakyatan yaitu kemerdekaan serta kedewasaan kemanusiaan yang sebenarnya, pada mana seharusnya  tiap manusia merdeka untuk mengembangkan kehidupannya serta kesanggupan yand ada pada dirinya masing-masing. Sosialisme mestilah berhasil menciptakan keadaan pada mana hal-hal jasmani tiada lagi menjadi halangan untuk kemajuan serta perkembangan segala kesanggupan tiap manusia kepada kebijakan dan keindahan.
Masa 1952-1966
            Sesudah kongres pertama PSI di Bandung pada tahun 1952, PSI yang dipimpin oleh Sjahrir bersama-sama dengan Partai Sosialis Birma dan Partai Sosialis India mendirikan Asia Socialist Conference yang berpusat di Rangoon, Burma.
            Merupakan halangan dan saingan yang besar suatu PSI yang memperjuangkan cita-cita dan nilai-nilai seperti di atas bagi PKI yang bersifat totaliter yang menganjurkan pemerintahan diktatur.
Difitnah lagi oleh PKI
            PSI yang memperjuangkan cita-cita kerakyatan, betapa kecilnya pun partai itu dibandingkan dengan PKI, namun bagi PKI penting sekali untuk meniadakan kehadiran PSI dalam kehidupan politik Indonesia.
            PKI berhasil dalam hal ini yaitu dengan cara fitnahnya mengatakan PSI adalah alat CIA dan menjadi dalang penggolakan daerah yang memuncak dengan terbentuknya PRRI. PKI berhasil mempengaruhi Presiden Soekarno sehingga pada tahun 1960 PSI tidak paus dengan pembubaran PSI  dan melanjutkan fitnahnya terhadap pimpinan-pimpinan PSI sehingga Sjahrir, Subadio Sastrosatomo bersama-sama beberapa pemimpin Masyumi ditahan pada tahun 1962.
            Sjahrir yang memang menderita sakit tekanan darah tinggi meninggal dunia pada tanggal 9 April 1966 di rumah sakit Zurich, Swiss. Ia diizinkan oleh Presiden Soekarno untuk berobat ke Swiss tapi masih dalam kedudukan tahanan politik. Tiada dapat diketahui apa pikirannya pada saat-saat terakhir di Swiss itu, oleh karena Sjahrir tiada lagi dapat berbicara, juga tidak dapat menulis.
Kehidupan keluarga
            Sjahrir menikah pada tahun 1936 dengan Ny. Maria Duchateau, dilangsungkan dengan surat kuasa serentak di negeri Belanda dan di Banda Neira, tempat pengasingan Sjahrir. Karena pecah Perang Dunia ke-II, istrinya yang berdomisili di negeri Belanda tidak dapat bergabung dengan Sjahrir di Banda Neira. Oleh karena perkembangan keadaan pada tahun 1948 maka berakhirlah pernikahan ini dengan perceraian.
            Pada tahun 1951 Sjahrir menikah dengan Siti Wahjunah S.H. putri Prof. Dr. Moch. Sholeh Mangundiningrat, Solo, dan pernikahan ini dilangsungkan di Kairo. Dari perkawinan ini ia dapat dua orang anak, Kriya Arsyah dan Siti Rubiyah Parvati.
Kerjamu ada yang akan meneruskannya
            Akhirnya dalam mengenang Sjahrir dan artinya dalam sejarah, tidaklah ada yang lebih tepat lagi daripada mengutip bagian penghabisan dari kata perpisahan Bung Hatta pada upacara pemakaman Sjahrir di Taman Pahlawan Kalibata, tanggal 19 April 1966.
            Bung Hatta berkata pada waktu itu antara lain, “Saudaraku Sutan Sjahrir, sampai disinilah kami mengantarkan engkau dalam perjalananmu pulang ke kampung akhirat. Di sana engkau akan mendapat rumah peristirahatan yang tetap, kekal dan abadi. Beristirahatlah dengan tenang.
            “Jasamu di dunia ini tidak akan dilupakan orang. Kerjamu yang belum selesai ada yang meneruskannya. Sejarah akan membuktikan bahwa hidupmu di dunia tidak sia-sia. Dalam sejarah namamu tercatat sebagai pejuang kemerdekaan bangsa dan sebagai Perdana Mentri yang pertama dari pada Republik Indonesia yang baru merdeka dan berjuang.”
            “Penghormatan yang luar biasa yang diberikan pada upacara ini dan simpati berpuluh ribu orang banyak yang mengikuti pamakaman Sjahrir ini dari dekat dan dari jauh dengan khimat semoga menjadi obat dari  pada hati yang  luka. Waktu akan meringankan raasa sedih. Tiap-tiap barang dan keadaanb ada dua belahnya. Setelah sedih dan rindu, anak-anak dan turunan Sjahrir dapat merasa bangga bahwa mereka turunan seorang pahlawan.”
            “Pemuda Indonesia, tanamlah dalam hatimu, Sjahrir Pahlawan Nasional Indonesia”.
TAMBAHAN
Syahrir lahir dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat. Ayahnya menjabat sebagai penasehat sultan Deli dan kepala jaksa (landraad) di Medan. Syahrir mempuyai satu kakak perempuan beserta dua adik laki-laki. Sjahrir saudara seayah dengan kakak perempuannya yaitu Rohana Kudus, aktivis serta wartawan wanita yang terkemuka.
            Syahrir mengenyam sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan, dan membetahkannya bergaul dengan berbagai buku-buku asing dan ratusan novel Belanda. Malamnya dia mengamen di Hotel De Boer (kini Hotel Natour Dharma Deli), hotel khusus untuk tamu-tamu kulit putih.
Pada 1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung, sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu. Di sekolah itu, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Hasil mentas itu dia gunakan untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volksuniversiteit, Cahaya Universitas Rakyat. Sjahrir menguasai beberapa bahasa asing, seperti Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, dan Latin.
Pada usia 36 tahun, mulailah lakon Syahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.
Ada satu cerita perihal sikap konsekuen pribadi Syahrir yang anti-kekerasan. Di pengujung Desember 1946, Perdana Menteri Syahrir dicegat dan ditodong pistol oleh serdadu NICA. Saat serdadu itu menarik pelatuk, pistolnya macet. Karena geram, dipukullah Syahrir dengan gagang pistol. Berita itu kemudian tersebar lewat Radio Republik Indonesia. Mendengar itu, Syahrir dengan mata sembab membiru memberi peringatan keras agar siaran itu dihentikan, sebab bisa berdampak fatal dibunuhnya orang-orang Belanda di kamp-kamp tawanan oleh para pejuang republik, ketika tahu pemimpinnya dipukuli.
Meski jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III(1945 hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi. Syahrir tak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan jelas jauh lebih canggih. Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk berunding dengan pemerintah republik. Secara politik, hal ini berarti secara de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah RI.
Syahrir populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang Dewan Keamanan PBB, terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa surat kabar menamakan Syahrir sebagai The Smiling Diplomat.
Syahrir mewakili Indonesia di PBB selama 1 bulan, dalam 2 kali sidang. Pimpinan delegasi Indonesia selanjutnya diwakili oleh Lambertus Nicodemus Palar (L.N.) Palar sampai tahun 1950.
Meskipun perawakannya kecil, yang oleh teman-temannya sering dijuluki Si Kancil, Tahun 1955 PSI gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. Setelah kasus PRRI tahun 1958, hubungan Sutan Syahrir dan Presiden Soekarno memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960. Tahun 1962 hingga 1965, Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita stroke. Setelah itu Syahrir diijinkan untuk berobat ke Zürich Swis, salah seorang kawan dekat yang pernah menjabat wakil ketua PSI Sugondo Djojopuspito menghantarkan beliau di Bandara Kemayoran dan Syahrir memeluk Sugondo degan air mata, dan akhirnya meninggal di Swiss pada tanggal 9 April 1966.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, H. Rosihan. Mengenang Sjahrir. PT Gramedia. Jakarta: 1980


Tidak ada komentar:

Posting Komentar