Rabu, 20 April 2016

BIOGRAFI SEKARMADJI MARIDJAN KARTOSOEWIRJO



Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo lahir di Cepu , Jawa Tengah , 7 Januari 1907, itu sesungguhnya sosok yang tidak terlalu islami. Ayahnya adalah seorang yang mempunyai jabatan cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu. Keluaraga Kartosoewirjo ialah priayi feodal , dan bukan pemeluk islam yang taat, keluarganya cenderung abangan. Meski priayi feodal , keluarganya demokratis, perbedaan prinsip , pandangan politik , dan ideologi dihargai. Anak- anak dihargai berpendirian teguh , itulah mengapa Mas Marco dan Sekarmadji teguh mempertahankan prinsip. 
 Setelah menamatkan Inlandsche School der Tweede Klassa , Karto kecil melanjutkan ke sekolah Hollands Inlandsche School di Rembang , Jawa Tengah. Setelah itu dia meneruskan pendidikan ke Europeesche Lagere School , sekolah elite khusus untuk anak Belanda , di Bojonegoro , Jawa Timur. Hanya anak pribumi yang cerdas dan berasal dari keluarga tenar yang boleh masuk sekolah itu. Lalu melanjutkan lagi ke Nederlandsch Indische Artsen School (Sekolah Dokter Jawa) di Surabaya. Di masa remaja , Kartosoewirjo mulai tertarik pada dunia pergerakan terutama pemikiran kebangsaan – bahkan “kiri”.
Dia diketahui membaca banyak buku sosialisme yang diperoleh dari pamannya , Mas Marco Kartodikromo. Terpengaruh bacaan itu , Karto terjun ke politik dengan bergabung di Jong Java dan kemudia Jong Islamietan Bond. Buku-buku Marco lah yang membuat pemerintahan Hindia Belanda mencoret nama Kartosoewirjo dari sekolah dokter. Ia didepak  pada 1972 lantaran kedapatan memiliki bacaan komunis dan antikolonial. Sampai titik ini , hidup Kartosoewirjo mirip Mas Marco, pamannya. Bedanya : Marco komunis, Kartosoewirjo memilih islam sebgai perjuangan.
Pengetahuan agama islam digalinya secara otodidak , guru mengajarnya yang pertama adalah Notodihardjo , aktivis Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) sekaligus Muhammadiyah di Bojonegoro. Ketika tinggal di Malangbong , Garut ,Kartosoewirjo kembali mempelajari Islam dari sejumlah ajengan , alias kyai lokal ,seperti Ardiwisastra dari Malangbong , Kyai Mustafa Kamil dari Tasikmalaya , dan Kyai Yusuf Tanziri dari Wanareja.    
 Gurunya di dunia pergerakan sekaligus guru agamanya terbesar ialah Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Tjokroaminoto dikenal sebagai guru Semaoen yang beraliran komunis dan Soekarno yang beraliran nasionalis. Kesamaan tujuan untuk memerdekakan Indonesia dari Penjajahan Belanda membuat mereka bersatu dan mengesampingkan perbedaan.Kartosoewirjo kemudian mondok di rumah Tjokroaminoto. Sebagai pengganti ongkos pemondokan, Karto diminta bekerja di surat kabar Fadjar Asia. Ia juga sempat menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto dan berguru soal islam dan politik kepadanya.
Pada tanggal 7 Agustus 1945 Ia bersama dengan Kyai Haji Wahid Hasyim , Mohammad Natsir dan lainnya-mendirikan Masyumi yang menghendaki organisasi ini dapat menghadirkan semangat islam dalam perang kemerdekaan. Ia terpilih sebagai komisaris Jawa Barat merangkap sebagai Sekretaris I Mayumi , ia pun telah aktif dalam Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan mendirikan cabang MIAI di lima kabupaten di Priangan. Atas usul Kartosoewirjo , Wahid Hasyim , Natsir , dan anggota lainnya , pada 7 November 1945 di Yogyakarta, menyatakan Masyumi sebagai partai politik yang programnya menciptakan negara hukum berdasarkan ajaran agama Islam.       
Dengan latar belakang Islam-Jawa tidak mengherankan jika ada berita Ia melakukan tapa geni tidak makan dan tidak minum selama 40 hari di Gunung Kidul, Yogyakarta. Setelah bertapa Karto mengaku menerima wahyu cakraningrat yang mengklaim dirinya sebagai “ Khalifatullah” dan mengangkat dirinya sebagai iman seluruh umat Islam di dunia. Ia pun diberi julukan : Ratu Adil , Imam Mahdi, Sultan Heru Tjokro , dan Satrija Sakti yang disesuaikan dengan ramalan Joyoboyo , pujangga jawa , tentang orang yang akan memimpin manusia. Konon Kartosoewirjo akan bisa menjadi ratu adil jika bisa menyatukan dua senjata pusaka, yakni Keris Ki Dongkol dan Pedang Ki Rompang. Ketika ia ditangkap pada 4 Juni 1962 , keris Ki Dongkol ada di tangannya.  
Pada masa perang kemerdekaan 1945-1949, Kartosoewirjo terlibat aktif tetapi sikap kerasnya membuatnya sering bertolak belakang dengan pemerintah, termasuk ketika ia menolak pemerintah pusat agar seluruh Divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa Tengah. Perintah long march itu merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville yang sangat mempersempit wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Kartosoewirjo juga menolak posisi menteri yang ditawarkan Amir Sjarifuddin yang saat itu menjabat Perdana Menteri.
Ia  bertemu dengan Raden Oni Syahroni selaku Panglima Laskar Sabililah membahas mengenai perjanjian Renville dan sepakat bahwa mereka menentang hasil perjanjian renville dan menolak perintah pengosongan. Oni dan Karto pun sepakat menggelar konferensi pemimpin umat Islam se-Jawa Barat di Desa Pamendusan , Cisayong, Tasikmalaya, pada Februari 1948. Dan menghasilkan keputusan yaitu, semua organisasi Islam termasuk Masyumi melebur menjadi satu Majelis Islam Pusat dan menunjuk Kartosoewirjo sebagai imam. Pada konferensi itu pula tercetus ide pembentukan Negara Islam Indonesia, namun belum disetujui dan peserta hanya menyepakati perlunya gerakan perlawanan sementara , berupa pembentukan Tentara Islam Indonesia (TII) dan menunjuk Raden Oni sebagai pemimpin. 
Dua bulan setelah konferensi pertama, mereka menggelaar konferensi Cipendeuy , Bantarujeg , Cirebon. Konferensi ini meminta pemerintah Indonesia membatalkan sejumlah perundingan dengan Belanda. Jika tidak berhasil, pemerintah RI diminta membubarkan diri atau membentuk pemerintahan baru. Konferensi ini juga memutuskan mengadakan persiapan negara Islam untuk menandingi negara pasundan bentukan Belanda. Pada akhir 1948 , Ibukota Yogyakarta diserang Belanda , para pemimpin nasional yang berkantor disana ditawan , termasuk Presiden dan Wapres. Peristiwa ini dimanfaatkan Kartosoewirjo sebagai propaganda tamatnya riwayat Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Pada 21 Desember 1948, Kartosoewirjo mengumumkan komando perang suci , perang total melawan penjajah. Akhirnya melalui Maklumat Nomor 6 , Kartosoewirjo mengumumkan kejatuhan Negara RI dan lahirnya Negara Islam Indonesia. Pada saat yang bersamaan divisi siliwangi yang hijrah ke Jawa Tengah telah kembali ke Jawa Barat dengan melakukan long march, dan mengakibatkan perang segitiga TII-TNI-Belanda. Perang itu baru padam setelah digelarnya perjanjian Roem Royen. Kartowosirjo mengecam hasil perjanjian tersebut , Ia menuding Mohamad Roem ,wakil masyumi yang memimpin perundingan itu , telah menjual negara. Perjanjian itu dinilainya menimbulkan kekosongan kekuasaan di Indonesia. Maka keadaan itu digunakan oleh Kartosoewirjo untuk memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia , 7 Agustus 1949.     
Kekecewaan atas kebijakan pemerintah pusat pun dirasakan oleh Daud Beureuh dan Kahar Muzakar yang akhirnya bergabung dengan Kartosoewirjo melalui gerakan . Penangkapan beberapa tokph Aceh menjadi pemicu gerakan Aceh melawan pusat. Pada 21 September 1953 meletus perang antara masyarakat Aceh pimpinan Beureuh dan pemerintahan pusat. Perasaan tidak puas dan kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat sebenarnya sudah bergejolak pascakemerdekaan. Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh , organisasi bentukan Beureuh, menuntut otonomi dengan menjadikan Aceh provinsi. Tuntutan itu tidak dipenuhi, Pemerintah Republik Insonesia Serikat 1950 , yang membagi wilayah Indonesia menjadi 10 provinsi , menjadikan Aceh kabupaten dan bagian dari Sumatera Utara.
Pasca pembagian kekuasaan di masa kemerdekaan pada akhirnya membuat hubungan pusat dan daerah tegang. Di Sulawesi Selatan , Kahar Muzakar mengangkat senjata melakukan perlawanan terhadap pusat. Sebelumnya ia adalah pemimpin kesatuan gerilya Sulawesi Selatan dengan pangkat terakhir letnan kolonel. Kahar marah kepada pusat karena, antara lain tuntutan anak buahnya diterima menjadi Tentara Nasional tanpa proses seleksi ditolak. Pada Agustus 1951, Kahar mendapat tawaran dari Kartosoewirjo untuk bergabung dan menerima tawarannya pada 7 Agustus 1953. Ia menjadi panglima Divisi Hasanuddin Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo merencanakan Negara Islam Indonesia berbentuk kesatuan dengan rotasi tiga imam : Kartosoewirjo , Daud Beureuh, dan Kahar Muzakkar. Kahar ialah imam pertama pengganti Kartosoewirjo , dan rotasi model ini ditiolak Beureuh.
Menurutnya , sistem imam tak memberikan rencana yang jelas mengenai pembagian kekuasaan atau struktur negara. Beureuh kerap mengkritik kebijakan NII Jabar , dalam pidato Majelis Syura pada 1960 misalnya, Ia menyebut sistem militer NII sebagai sistem bobrok. Kelompok Jawa Barat memandang struktur militer dibutuhkan saat perang sebaliknya Aceh memandang prinsip sebuah negara tak dapat dihilangkan dalam suasana apapun. Perbedaan pendapat terus berlanjut , Januari 1955 Aceh mengeluarkan struktur pemerintah dengan presiden Imam Kartosoewirjo dan sebaai wakil presiden Daud Beureuh. Selain itu Beureuh mengumumkan Aceh sebagai bagian dari negara bagian atau negara konstituen Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo tak setuju dengan tindakan Beureuh.  Pada 7 Maret 1957 , Kartosoewirjo mengirim surat , menegur Beureuh dan menyatakan perubahan ini belum saatnya.
 Meski Kahar tak banyak melakukan protes atas kebijakan Kartosoewirjo seperti Beureuh , secara mendasar terdapat perbedaan ideologi di antara keduanya. Kahar ingin wilayah kekuasaannya mengikuti negara islam model kekhalifahan pasca-Rasulullah. Kahar mengubah istilah imam menjadi khalifah dan menggunakan istilah “Darul Islam” untuk menggantikan sebutan “Negara Islam”. Karakter dan gaya yang berbeda dari tiga imam ini pada akhirnya membuat gerakan yang mereka pimpin berbeda pula nasibnya.
Tidak mudah untuk meruntuhkan pertahanan Kartosoewirjo dan pasukannya. Pada awal 1950 satu batalion Siliwangi bersenjata lengkap mengepung sebuah rumah di daerah Tasikmalaya yang diduga tinggal salah satu perwira DI/TII Haji Syarif alias Ghozin. Setelah dibombardir oleh peluru, sang target utama , Ghozin malah berhasil melarikan diri. Kolonel Alex Evert Kawilarang , Panglima Tentara Teritorium III/ Siliwangi , yang dua hari kemudian datang memeriksa , terheran-heran. “Harusnya seekor ayam pun tidak akan bisa kabur,” kata Sardjono Kartosoewirjo. Alex mengakui kesulitannya menundukkan Kartosoewirjo kendati di awal pemberontakan dia sempat berjanji akan menumpas Darul Islam dalam waktu enam bulan saja.
Ada beberapa faktor yang membuat pasukan Kartosoewirjo bertahan lama yaitu, sebagian warga Priangan yang mendukung Kartosoewirjo memberikan tempat persembunyian bagi Tentara Islam. Harus diakui pula bahwa Kartosoewirjo lihai merengkuh simpati masyarakat dengan simbol Islam yang digunakannya. Tahun 1962 pemerintah melancarkan taktik berikutnya dengan cara tentara Indonesia menyekat-nyekat daerah perlawanan, sehingga Kartosoewirjo sulit bergerak. Operasi ini bernama Brata Yuda , tapi lebih dikenal sebagai Operasi Pagar Betis. Digelar mulai  April 1962 , operasi ditargetkan setengah tahun , tapi baru dilangsungkan dua bulan Sersan Ara Suhara sudah menangkap Kartosoewirjo.
Salah satu kunci sukses operasi ini adalah keterlibatan rakyat sipil sehingga kepungan terhadap DI/TII sangat rapat dan dikatakan tidak tertembus, keterlibatan rakyat ini membuat operasi lebih dikenal sebagai operasi pagar betis. Dalam operasi , militer meminta para pemuda dan pamong desa bersiaga. Pasukan Kartosoewirjo tertekan karena mobilitasnya tergangu terutama akses logistik sehingga banyak yang menyerahkan diri. Pemerintah Jakarta pun menawarkan amnesti bagi pasukan DI/TII yang menyerah pada 1961. Dengan posisi tertekan kuat sekaligus diberi jalan keluar yang bagus, yakni amnesti , kekuatan DI/TII mulai berkurang.
Yang terakhir  Mei 1962, Adah Djaelani Tirtapradja, seorang komandan wilayah juga menyerahkan diri di pos pagar betis Gunung Cibitung. Praktis sejak saat itu Kartosoewirjo ditemani segelintir pengikut setianya. Operasi ini juga memaksa istri dan anak kelompok Kartosoewirjo terpisah dari induknya. Selain itu pasukan pengawal mereka, merasa bahwa mereka malah menjadi beban. Akhirnya diputuskan para perempuan itu turun gunung atau menyerah. Selain keterlibatan warga , tentara pun ikut aktif memburu pasukan Kartosoewirjo seperti yang dilakukan Sersan Ara dan Kompi C yang dipimpin Letnan Dua Anda Suhanda tempat Ara bertugas. Kompi ini berpatroli dari desa ke desa, setelah tiga hari berpatroli dengan berjalan kaki, mereka mendengar ada penggarongan. Mereka mengikuti jejak penggarong yang ternyata memutari Gunung Rakutak.  Sersan Ara meminta izin atasannya , Suhanda untuk menyebrang sungai dan mencari sendiri jejaknya. Ia segera menjadi pelacak hingga sampai ke lembah Geber di sekitar Gunung Rakutak, tempat Ia menemukan sepasukan anak buah Kartosoewirjo.
Setelah menunggu sejumlah rekan datang, Ara merangsek maju , Ia sempat menembak salah satu penjaga pos pengintai. Tidak terjadi banyak perlawanan karena kelompok Kartosoewirjo sudah kehabisan amunisi. Agak jauh , sekitar 50 meter dari tempatnya berdiri, tampak gubuk tanpa dinding. Di depan gubuk itu ada pemuda yang ternyata, Dodo Muhammad Darda , salah satu putra Kartosoewirjo. Di dalam gubuk , Ara menemukan makanan mewah dan Kartosoewirjo yang tergeletak sakit. Perjuangan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962.      
Markas besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat di Gambir , Jakarta Pusat , 14 Agustus 1962. Hari itu sidang pertama imam besar NII Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dimulai. Sebuah pengadilan khusus dibentuk, namanya Mahkamah Angkatan Daratdalam keadaan perang untuk Jawa dan Madura. Seperti layaknya persidangan militer , TNI AD memilih tiga perwira sebagai Majelis Hakim : Letkol CKh. Soekana , BcHk, sebagai ketua dan didampingi dua anggota , Mayor Imf Rauf Effendi dan Mayor Muhammad Isa. Tentara juga menentukan jasa penuntut umum sendiri: Mayor  Chk Soetarjono BcHk. Bahkan anggota tim pembela Kartosoewirjo juga diangkat oleh tentara : 4 orang pengacara yang dipimpin Wibowo , SH.
Tentara hanya butuh dua bulan untuk mempersiapkan sidang besar ini. Karto ditangap pada awal Juni 1962 dan langsung dibawa ke Jakarta untuk persiapan persidangan. Karena sidang dinyatakan tertutup , sulit memperoleh gambaran mengenai jalannya sidang dari media massa. Jaksa menuntut Kartosoewirjo yang saat disidangkan berusia 55 tahun dengan pasal berlapis. Dia dituduh hendak menggulingkan pemerintah yang sah , dan memberontk melawan RI, dan merencanakan pembunuhan atas Presiden Soekarno. Jaksa Sutarjono menghadirkan enam saksi , yaitu anak buah Karto : Djaja Sudjadi (Menteri Keuangan NII), Mardjuki ( Bupati Tasikmalaya NII) , Asbar (Komandan Resimen TII), Agus Abdullah (Perwira berpangkat Brigjen di TII), Sanusi Fikrap dan Kamil Ali.
Dua yang disebut terakhir adalah tersangka yang tersangkut insiden pencobaan pembunuhan Presiden Soekarno saat salat Idul Adha di Istana Merdeka pada 14 Mei 1962. Keenam saksi memberikan keterangan yang memberatkan Karto, mereka mengakui peran sang Imam dalam setiap operasi perlawanan NII. Sejumlah peristiwa juga diangkat khusus, misalnya penyerangan di Garut pada Juli 1961 dan bentrok di Sumedang pada November 1961. Jaksa juga menyoroti peran Kartosoewirjo dalam rencana pembunuhan Soekarno. Salah satu saksi, Asbar , mengaku mendapat perintah langsung dari Kartosoewirjo. Selain oleh tiga peristiwa itu , dakwaan atas Kartosoewirjo diperkuat dengan laporan kerugian dan korban jiwa selama pemberontakan DI/TII. Periode 1953-1960 saja ada 22.895 orang yang tewas, 115.822 rumah yang musnah, dan negara dirugikan hampir Rp650 juta.
Tak tercatat ada saksi yang meringankan dalam persiangan ini. Namun , ketika diminta membela diri, Karto dilaporkan menyangkal tuduhan bahwa Ia melawan RI dan merencanakan pembunuhan Presiden Soekarno. Dia hanya menerima tuduhan pertama : menyerang pemerintahan yang sah. Pembelaan dan penyangkalannya diabaikan majelis hakim , dalam persidangan didampingi oleh tim pengacara yang tidak ia pilih sendiri , Karto memang terpojok. Saking tertutupnya berita mengenai persidangan Kartosoewirjo dama sekali tak ada di halaman-halaman koran. Baru pada Sabtu, 19 Agustus 1962 , dua hari setelah vonis dibacakan, harian Pikiran Rakjat menulis kabar soal vonis hukuman mati untuk Kartosoewirjo.
Pada 5 September 1962 , Kartosoewirjo dieksekusi di depan regu tembaksetelah permohonan ampunnya ditolak. Dia ditembak bersama lima anak buahnya , yang dituduh terlibat percobaan pembunuh presiden. 
DAFTAR PUSTAKA
Dewanto , Nugroho .2011. Kartosoewirjo . Jakarta : PT Gramedia
id.wikipedia.org/wiki/Sekarmadji_Maridjan_Kartosoewirjo
kabarnet.wordpress.com/2011/04/29/biografi-kartosuwiryo/ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar