Kamis, 21 April 2016

BIOGRAFI AHMAD DAHLAN


A.   RINGKASAN BUKU
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868, Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa. Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
Pada usia 10 tahun, Darwis mulai merasa aneh dengan ajaran islam yang berlangsung di tempatnya, banyak ajaran yang menyusahkan masyarakat. Seperti acara 40 hari, 100 hari dsb. Menurut dia, cara seperti itu hanya menyulitkan masyarakat yang kurang mampu saja. Namun tidak ada yang berani menentang karena itu sudah menjadi tradisi masyarakat setempat. Namun karena beliau masih terlalu kecil, maka masyarakat sekitar belum mau mendengarkan pendapat beliau. Kemudian beliau berencana melaksanakan ibadah haji untuk memperdalam ilmu Islam.
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.
Pada tahun 1968, bapak dari Ahmad Dahlan yaitu Abu Bakar wafat, dan ia menggantikan tugas bapaknya dengan mengurus langgar yang di mandatkan bapaknya untuk ia gunakan sebaik-baiknnya. Pada saat itu juga kyai Ahmad Dahlan di daulat sebagai khotib masjid besar keraton Yogyakarta. Pada masa ini lah, kyai Ahmad Dahlan mulai melakukan perubahan melalui pemikiran-pemikirannya yang bertentangan dengan para masyarakat sekitar. Kyai Dahlan melakukan khutbah pertamanya di masjid Gedhe kauman. Beliau berkata, “Allah Swt berfirman bahwa islam adalah rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam semesta. Islam harus menjadi rahmat bagi siapa saja yang bernaung di dalamnya, baik muslim maupun non muslim. Merahmati itu artinya melindungi, mengayomi, membuat damai, tidak mengekang atau membuat takut umat, atau membuat rumit dan berat berat kehidupan Muslim dengan upacara-upacara dan sesajen yang tidak pada tempatnya”. Isi khutbah Kyai Dahlan ini menimbulkan kontroversi di kalangan masjid Gedhe. Beberapa waktu kemudian, kaka ipar kyai Dahlan datang kerumahnya dan menanyakan tentang khutbah jumatnya yang lalu. Beliau berkata, kyai Dahlan butuh nasihat untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan khutbah. Menurut Kyai Dahlan, ia hanya keberatan terhadap tradisi yang meberatkan rakyat tapi harus dilakukan atas nama agama.
Pada tahun 1888, Kyai Dahlan mulai merasa aneh dengan arah kiblat di masjid Gedhe. Banyak arah kiblat di berbagai masjid yang kurang tepat. Salah satu masjid yang juga tidak benar arah kiblatnya adalah Masjid Gedhe Kauman. Ini mengkhawatirkan karena jika masjid tempat Sri Sultan saja sudah tidak benar arah kiblatnya, bagaimana dengan masjid masjid lain?. Akhirnya Kyai Dahlan membicarakan masalah ini ke kakak iparnya telebih dahulu, namun semuanya merasa kiblat yang sudah memang sudah benar. Akhirnya Kyai Dahlan mengundang para Kyai untuk membahas soal ini di Masjid Gedhe. Tetapi tetap saja tidak ada yang mendengarkan apa yang dikatakan oleh Kyai Dahlan dan menganggap dahlan sudah melenceng dari ajaran Islam. Namun dahlan tetap pada pendiriannya dan tetap melaknsanakan sholat mengarah kearah yang benar.
Pada suatu subuh, sekelompok anak muda yang menganggap apa yang dikatakan Kyai Dahlan tentang arah kiblat, membetulkan arah kiblat di Masjid Gedhe. Namun Kyai Penghulu marah besar dengan apa yang dilakukan mereka. Hingga suatu hari, pada saat melaksanakan sholat berjamaah di Masjid Gedhe, Kyai Dahlan dan 4 muridnya mengarah kea rah kiblat yang menurutnya benar dan berbeda dengan yang lainnya. mulai saat itu, banyak warga yang memilih sholat tarawih di Langgar Kidul tempat Kyai Dahlan biasa mengajarkan murid-muridnya. Sampai pada akhirnya, para Kyai Masjid Gedhe merasa terusik dengan apa yang dilakukan Kyai Dahlan dan menyarankan agar Langgar Kidul ditutup, tapi Kyai Dahlan Menolaknya, dan puncaknya, para warga menghancurkan dengan paksa Langgar itu.
Kyai Dahlan memutuskan untuk meninggalkan Kauman. Karena menurut Kyai Dahlan sudah tidak ada masa depan lagi bagi kami untuk tetap tinggal dan berdakwah di Kauman, paling tidak untuk sementara ini. Namun Dahlan tetap pada pendiriannya dan akan meninggalkan Kauman. Kemudian kakak iparnya mengatakan “seorang pemimpin yang baik di mata Allah, tidak akan pernah meninggalkan keluarganya, apalagi umatnya”. Dan akhirnya Kyai Dahlan mau mendengarkan nasihat Kakak iparnya dan tidak jadi meninggalkan Kauman.
Akhirnya setelah bantuan biaya dari kakak ipar (mas Saleh) dan istrinya sendiri, Kyai Dahlan akan membangun kembali Langgar Kidul. Setelah berpekan-pekan dikerjakan dengan sekuat tenaga, akhirnya Langgar Kidul berdiri kembali. Kali ini dengan bentuk lebih kukuh. Kemudian Kyai Dahlan memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai khotib besar Masjid Gedhe Jogjakarta. Kabar pengunduran itu di dengar oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Akhirnya setelah melewati pembicaraan yang serius, Sri Sultan mempunyai rencana besar untuk memberangkatkan Haji Kyai Dahlan untuk kedua kalinya, keraton yang membiayai semuanya. Dengan maksud agar Kyai Dahlan memperdalam lagi ilmu agama. Kyai Dahlan Diizinkan untuk mengajak putra keduanya, Siraj.
Sepulang dari mekkah, Kyai Dahlan berencana bergabung dengan Budi Utomo. Akhirnya Kyai Dahlan bertemu dengan dr. Wahidin, ketua Budi Utomo. dr. Wahidin mengajak Kyai Dahlan untuk bergabung dengan Budi Utomo, karena menurut dr Wahidin, perkumpulan ini bukan perkumpulan politik. Perkumpulan ini untuk mengurusi pendidikan dan kesehatan masyarakat. Dan akhirnya pada tahun 1909 Kyai Dahlan bergabung dengan Budi Utomo. Kyai Dahlan berencana mengajarkan agama Islam di Kweekschool. Bahkan keikutsertaan Kyai Dahlan di Budi Utomo semakin membuat beliau di cap sebagai Kyai kafir, dan ada sebagian dari muridnya yang tidak diizinkan lagi oleh orangtua nya untuk mengaji di Langgar Kidul.
Sepulang dari mengajar di Kweekschool, gelombang tuduhan kyai kafir semakin banyak di sematkan di diri Kyai Dahlan. Setiap melewati jalanan di Kauman, Kyai Dahlan selalui di hina dengan mengatakan bahwa beliau Kyai kafir. Namun dengan kesabaran yang tinggi, Kyai Dahlan bisa menahan emosinya. Kemudian Kyai Dahlan membuat Madrasah Ibtidaiyah Diniyah. Menggunakan peralatan seperti meja, kursi dll. Masyarakat sekitar semakin menuduh Kyai Dahlan kafir karena menggunakan peralatan yang dibuat oleh orang kafir. Murid murid Madrasah Ibtidaiyah Diniyah ini di ambil dari anak-anak yang belum bersekolah di Kauman dan murid-murid di alun-alun. Beberapa hari selanjutnya, Kyai Dahlan beserta murid-muridnya mengunjungi alun-alun untuk membagikan makanan dan pakaian kepada orang miskin.
Kyai Dahlan bersama pengurus Budi Utomo berkumpul, Kyai Dahlan mengutarakan niatnya untuk membuat suatu perkumpulan Islam seperti Budi Utomo. Budi Utomo akan membantu niat Kyai Dahlan membuat perkumpulan Islam asal syaratnya para calon pengurus perkumpulan yang akan Kyai Dahlan buat itu harus masuk menjadi anggota Budi Utomo. Kemudian Kiai Dahlan mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Muhammadiyah pada 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330). Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui organisasi inilah beliau berusaha memajukan pendidikan dan membangun masyarakat Islam. Namun Kyai Penghulu tetap tidak menyetujui Kyai Dahlan mendirikan Muhamadiyah, bahkan para warga kauman semakin menuduh Kyai Dahlan kafir.
Walaupun awalnya Kyai Penghulu tidak mengizinkan keberadaan Muhamadiyah, namun pada akhirnya Kyai Penghulu hatinya luluh juga dan mau berdamai dengan Kyai Dahlan. Pada akhirnya Muhamadiyah memilik banyak pengikut hingga saat ini.
Di bidang pendidikan, Kiai Dahlan lantas mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu, yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Maka Kiai Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda. Kyai Dahlan terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.
Bagi Kiai Dahlan, Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata modern sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur'an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan Qur'an semata, melainkan dapat memahami makna yang ada di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya merupakan suatu dogma yang mati.
Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan kejawen.
Di bidang organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria.
Melihat metoda pembaruan KH Ahmad Dahlan ini, beliaulah ulama Islam pertama atau mungkin satu-satunya ulama Islam di Indonesia yang melakukan pendidikan dan perbaikan kehidupan umat, tidak dengan pesantren dan tidak dengan kitab karangan, melainkan dengan organisasi. Sebab selama hidup, beliau diketahui tidak pernah mendirikan pondok pesantren seperti halnya ulama-ulama yang lain. Dan sepanjang pengetahuan, beliau juga konon belum pernah mengarang sesuatu kitab atau buku agama.
Pada usia 66 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan wafat di Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di Karang Kuncen, Yogyakarta. Atas jasa-jasa Kiai Haji Akhmad Dahlan maka negara menganugerahkan kepada beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
















B.   TAMBAHAN (REFERENSI)
Ahmad Dahlan lahir pada tahun 1868 dari sebuah kelurga muslim tradisional yang berdomisili di Kauman, sebuah kampung yang sangat religius di Yogyakarta. Kampung ini terletah di samping istana sultan Yogyakarta, dan sangat dikenal sebagai kampung yang dihuni oleh keluarga muslim yang kuat rasa keagamaannya,
Untuk pertama kalinya nama K.H. Ahmad Dahlan menjadi pembicaraan khususnya masyarakat Yogyakarta, tahun 1896. Ia membetulkan arah kiblat di langgar-langgar dan masjid-msjid di Yogyakarta. Biasanya, tempat-tempat ibadah menghadap ke Timur dan orang sembayang menghadap lurus-lurus ke Barat.
Tanggal 8 November 1912 di Yogyakarta ia mendirikan Muhamadiyah dan tanggal 22 Agustus 1914 Muhamadiyah diakui Pemerintah Belanda sebagai badan hukum. Namun, barulah pada tahun 1921 pemerintaah mengizinkan Muhamadiyah mendirikan cabang-cabang di daerah-daerah.
Setelah Muhamadiyah kukuh, ia mulai melakukan usaha-usaha besar terarah. Muhamadiyah mendirikan rumah pengobatan, rumah-rumah sakit, panti asuhan, pemeliharaan orang miskin, sekolah-sekolah dan madarasah-madarasah. Masyarakat menerima perubahan-perubahan yang dilakukannya, karena ternyata besar manfaatnya bagi perkembangan masyarakat khususnya kaum muslimin.
Untuk membangun upaya dakwah (seruan kepada ummat manusia) tersebut, maka Dahlan gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia. Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut. Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu'allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah). Dahlan mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya.

DAFTAR PUSTAKA
Nasery, Akmal. 2010. Sang Pencerah. Jakarta: Mizan Media Utama


Tidak ada komentar:

Posting Komentar