Rabu, 20 April 2016

BIOGRAFI BUNG TOMO


RESUME

dr. Sutomo adalah salah seorang dari sekian banyak pahlawan nasional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Ia merupakan tokoh pejuang pergerakan nasional dalam melawan pemerintahan kolonial Belanda. Berikut uraian tentang perjuangan dan perjalanan hidup tokoh nasional tersebut.
Sutomo atau yang lebih dikenal sebagai Pak Tom lahir pada 30 Juli 1888 di Desa Ngepah, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Ia terlahir dengan nama Soebroto. Ia adalah anak dari Raden Suwaji, seorang bangsawan yang menjabat sebagai wedana di Maospati, Madiun.
Sejak kecil Soebroto diasuh oleh nenek dan kakeknya. Kakeknya bernama Raden Ngabehi Singowijoyo. Kakek dan neneknya sangat sayang kepadanya. Bahkan, Soebroto selalu dimanja. Meskipun begitu Soebroto tidak rewel dan cengeng. Saat masih kecil, Soebroto juga nakal, tapi ia tidak angkuh dan sombong. Terhadap teman-temannya, ia bersikap baik dan sopan terhadap orang tua.
Pada usia 8 tahun, Soebroto dititipkan oleh orang tuanya kepada pamannya yang bernama Arjodipuro di Bangil. Di tempat ini Soebroto didaftarkan di sekolah dasar Belanda, Europeesche Lagere School (ELS). Namun, ia tidak diterima. Gagal memasukkan Soebroto, pamannya tidak berputus asa. Keesokan harinya Pak Arjodipuro kempali membawa Soebroto ke sekolah. kepada kepala sekolah Pak Arjudipuro kembali menyampaikan keinginannya untuk memasukkan keponakannya tersebut, namun dengan menggunakan nama Sutomo. Dengan nama tersebut, Soebroto berhasil diterima di Europeesche Lagere School. Sejak itu pula (1896), Soebroto berganti nama menjadi Sutomo. Sutomo pun suka dengan nama baru itu. Demikian pula orang tuanya tidak keberatan.
Di sekolah, Sutomo termasuk anak yang pintar sehingga disegani oleh kawan-kawannya, baik anak-anak Indonesia maupun Belanda. Bahkan, guru-guru Belanda juga saying kepadanya. Sutomo juga gemar berolahraga.
Setelah menyelesaikan pelajarannya di sekolah dasar, Sutomo bermaksud untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah dokter di Jakarta (STOVIA). Cita-cita Sutomo ini mendapat dukungan penuh dari orang tuanya.
Saat menginjak usia 15 tahun, pada 10 Januari 1903, Sutomo bersama 13 orang temannya yang berasal dari berbagai daerah mendaftarkan diri di STOVIA. Diantara teman-teman dekatnya terdapat nama Gumbreg, Soeratji, Gunawan Mangunkusumo, Mohamad Saleh, dan M. Sulaiman.
Saat menuntut ilmu di STOVIA, Sutomo mendapat cobaan yang berat. Ia mendapat telegram pada 28 Juli 1907 yang memberitakan bahwa ayahnya telah meninggal dunia. Kejadian in membawa kesadaran dan perubahan yang sangat besar pada sikap dan pemikirannya di kemudian hari. Kesadaran itulah yang akan membawanya ke jenjang kesuksesan sebagai seorang pemuka. Ketika keadaan jiwanya sudah mantap dan matang, ia bertemu dengan dr. Wahidin Sudiro Husodo.
dr. Wahidin Sudiro Husodo adalah seorang pensiunan dokter. Ia bercita-cita untuk mendirikan suatu badan yang menyelenggarakan dana pendidikan bagi anak-anak yang tidak mampu. Cita-citanya tersebut diwujudkannya dlam bentuk perjalanan kelilinga Jawa pada akhir 1906-1907. Ia menemui orang-orang terkemuka dan para bangsawan. dr. wahidin mengajak mereka untuk aktif memikirkan pendidikan bagi bangsa Indonesia.
Pada 1907, dr. Wahidin pergi ke Banten. Dalam perjalannya tersebut, ia sempat singgah dan menemui siswa-siswa STOVIA di Jakarta. Di tempat ini, ia bertemu dengan Sutomo dan Suwaji. dr. Wahidin lalu memaparkan cita-citanya kepada kedua pemuda itu. Bagi beberapa siswa STOVIA, pertemuan dengan dr. Wahidin sangat berkesan karena telah membuka wawasan kebangsaan dan cita-cita untuk membela rakyat kecil. Pertemuan ini memantapkan cita-cita Sutomo untuk membela kaum lemah dan mematangkan jiwanya.
Selain dari dr. Wahidin, Sutomo juga mendapat pengaruh dari dr. Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang banyak berjuang untuk kepentingan rakyat Indonesia. Tokoh pergerakan nasional ini mendirikan Indische Partij bersama dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara.
Tulisan-tulisannya antara lain di surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad banyak menyerang kebijakan pemerintah colonial Hindia-Belanda yang bertindak tidak adil dan sewenang-wenang terhadap kaum pribumi. Berbagai tulisan Douwes Dekker ini sangat besar pengaruhnya kepada bangsa Indonesia, yaitu mendorong dan mempercepat timbulnya pergerakan nasional. Para pelajar STOVIA, termasuk sutomo juga telah lama mengikuti surat kabar ini. mereka sangat terkesan dan terpengaruh akan cita-cita Douwes Dekker.
Setelah pertemuan dengan dr. Wahidin, para pelajar STOVIA sepakat bahwa “cita-cita yang luhur tidak mungkin dapat dicapai jika tidak mendirikan sebuah perkumpulan”. Oleh karena itu mereka berencana membahas hasil pertemuan tersebut.
Pada hari rabu tanggal 20 mei 1908, kurang lebih pukul 9 pagi, Sutomo dan kawan-kawannya berkumpul. Mereka berkumpul di dalam ruang kuliah anatomi dan membicarakan rencana mendirikan suatu perkumpulan. Mereka yang hadir diantaranya Sutomo, Suwaji, Mohamad Saleh, Suwarno, gunawan Mangunkusumo, M. Sulaiman, Suwarno, Gumbreg, dan Angka.
Mereka sepakat memilih nama Budi Utomo (budi yang utama) untuk menjadi nama perkumpulan mereka. Nama ini lahir ayas usul Suwaji yang diambil dari kata-kata dr. Wahidin ketika perpisahan dengan Sutomo, yaitu “punika satunggaling pedamelan sae serta nelakeken budi utami” (itu suatu perbuatan yang baik dan menunjukkan budi yang utama).
Setelah nama Budi Utomo diterima oleh semua peserta rapat, diadakan pemilihan pengurus. Sutomo kemudian dipilih menjadi ketua dengan susunan pengurus sebagai berikut.
Ketua              : Sutomo
Wakil ketua     : Sulaiman
Sekertaris I      : Suwarno
Sekertaris II    : Gunawan Mangunkusumo
Bendahara       : Angka
Komisaris        : suwarno dan Mohamad Saleh
Dalam waktu yang singkat, Budi Utomo mendapat pendukung dan anggota yang banyak. Para pelajar STOVIA banyak yang masuk menjadi anggota Budi Utomo. Namun, perkembangan ini mendapat respon negatif terutama dari beberapa ornag guru STOVIA yang merasa khawatir perkumpulan tersebut pada akhirnya akan melawan pemerintah Hindia-Belanda. Bahkan, sutomo diancam akan dikeluarkan dari sekolah.
Dalam keadaan yang begitu gawat, Sutomo tetap mendapat dukunga yang besar dari kawan-kawannya dan kepala sekolah, yaitu dr. H. F. Roll. Berkat pengaruh dr. H. F. Roll, Sutomo dan teman-temannya tidak jadi dikeluarkan dari sekolah dokter. Bahkan, dr. H. F. Roll memberikan pinjaman uang untuk keperluan kongres Budi Utomo yang pertama di Yogyakarta.
Setelah kesulitan pertama berhasil diatasi, Budi Utomo meningkatkan perjuangannya. Sutomo mengadakan hubungan dengan pelajar-pelajar di kota lain. Ia kemudian membuka cabang-cabang Budi Utomo di Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Magelang. Pembentukan cabang di Magelang langsung ditangani oleh Sutomo dan beberapa pengurus pusat.
Selain dengan pelajar, para pengurus Budi Utomo juga mendekati para pemimpin dan pemuka masyarakat di berbagai daerah, antara lain Bupati Cokroadikusumo di Temanggung, Bupati Jepara R.M.A.A. Kusumo Utoyo, Bupati Serang Pangeran Ahmad Jayadiningrat, P.A.A. Kusumoyudo di Jakarta, dan Bupati Karang Anyar, R.A.A.T. Tirtokusumo.
Pada tanggal 3 Oktober 1908 pukul 21.00, kongres Budi Utomo yang pertama di Yogyakarta dibuka secara resmi. Kongres ini berlangsung sampai dengan 5 Oktober 1908. Kongres kemudian memilih 9 orang pengurus besar, yaitu sebagai berikut:
1.         R.A.A.T. Tirtokusumo (Bupati Karang Anyar)
2.         M.B. Dwijosewoyo (Guru dari Yogyakarta)
3.         R. Kuwatin Sosrosugondo (Guru dari Yogyakarta)
4.         dr. Tjipto Mangoenkoesoemo (Dokter dari Demak)
5.         dr. Wahidin Sudirohusodo (Dokter dari Yogyakarta)
6.         R.M. Arjo Suryodiputro (Jaksa dari Bondowoso)
7.         R.A. Danukusumo (Bupati dari Magelang)
8.         R.M. Panji Gondoatmojo (Paku Alam dari Yogyakarta)
9.         R.M. Panji Gondosumaryo (Jaksa dari Surakarta)
R.A.A.T. Tirtokusumo kemudian dipilih sebagai ketua dan dr. Wahidin Sudirohusodo sebagai wakil ketua. Kongres yang dipimpin oleh dr. Wahidin ini berhasil menetapakan serta mengesahkan anggaran dasar. Pada pokoknya tujuan perhimpunan Budi Utomo ditetapkan sebagai berikut:
a.          Memajukan Negara dan bangsa secara selaras (harmonis).
b.         Memajukan pengajaran dan kebudayaan, kesenian, dan ilmu pengetahuan.
c.          Memajukan pertanian, peternakan, dagang, teknik, dan industri.
Meskipun kesadaran nasional belum tumbuh betul dikalangan para anggota Budi Utomo, organisasi ini tetap merupakan pelopor pergerakan nasional di Indonesia. Tujuan yang diutamakan ialah memajukan dan membina rakyat untuk mencapai kemerdekaan. Organisasi ini hendak mencapai pertumbuhan yang selaras bagi nusa dan bangsa.
Pada akhir 1909, Budi Utomo telah memiliki 40 cabang dengan anggota 10.000 orang. Sutomo tetap memimpin Budi Utomo cabang Jakarta sampai lulus sebaga dokter dari STOVIA pada 1911.
Setelah lulus dari STOVIA, daerah pertama dr. Sutomo mula-mula ditugaskan adalah Semarang. Di kota ini, ia mulai menjalankan tugas pengabdiannya kepada masyarakat. Disini ia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana sengsaranya rakyat Indonesia.
dr. Sutomo hanya bertugas selama setahun di Semarang. Ia kemudian dipindahkan ke Tuban. Seperti halnya di Semarang, dr. Sutomo hanya bertugas selama setahun di Tuban. Kemudian ia dipindahkan kembali ke Lubuk Pakam, Sumatera Barat.
Kepindahannya ke Lubuk Pakam merupakan perjalanan pertama yang dilakukan dr. Sutomo keluar Jawa. Pengalaman pertamanya di Sumatera Barat lebih memberikan keyakinan pada dr. Sutomo bahwa pergerakan nasional jangan hanya terpusat di pulau Jawa, tetapi harus betul-betul meliputi seluruh Indonesia. Oleh karena itu, dr. Sutomo sering menyampaikan gagasan-gagasannya.
Pada 1914, dr. Sutomo dipindahkan ke Malang, Jawa Timur. Hampir tiga tahun ia bertugas di daerah ini. pegalamannya semakin lengkap, baik dalam bidang kesehatan maupun bidang pergerakan.
Ia juga pernah bertugas di daerah Kepajen, Magelang dan Blora. Dari daerah tersebut, ia kemudian dipindahkan ke Batu Raja, Sumatera Selatan. Ini merupakan tugas kedua bagi dr. Sutomo di daerah Sumatera. Pengalaman yang kedua ini ikut memperkaya hidupnya, baik sebagai seorang dokter maupun pemimpin pergerakan.
Dr. Sutomo tidak lama bertugas di Batu Raja karena pada 1917 ia ditugaskan di RS. Blora, Jawa Tengah. RS. Blora merupakan RS zending. Di RS ini ia berkenalan dengan Ny. E. Burning, seorang juru rawat wanita asal Belanda yang baru ditinggal suaminya. dr. Sutomo kemudian menikah dengan Ny. E. Burning.
Pada 1919 dr. Sutomo memperoleh kesempatan belajar di Universitas Amsterdam, Belanda. dr. Sutomo dan istrinya kemudian pindah ke negeri kincir angin tersebut. Kehidupan keluarga dr. Sutomo di negeri Belanda dapat dikatakan prihatin. Sebagian besar waktu Sutomo digunakan untuk menambah pengetahuan. Nafkah yang diterimanya hanya cukup untuk keperluan sehari-hari. Ny. Sutomo terpaksa bekerja keras untuk memelihara rumah tangga yang sederhana. Namun kemikian Ny. Sutomo menerima keadaan ini dengan sabar dan selalu mendampingi suaminya dengan setia.
Selain belajar, kesibukan dr. Sutomo di Belanda bertambah karena ia juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI). Organisasi ini adalah perkumpulan mahasiswa Indonesia di negeri Belanda. perkumpulan ini dengan tegas memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan telah memberikan dorongan yang kuat kepada pergerakan nasional di Indonesia. Kerja sama yang erat antara kaum pergerakan Indonesia dan PI di Negeri Belanda saat itu berjalan dengan baik.
Pertemuan dengan tokoh-tokoh PI lainnya seperti Mohammad Hatta, Ahmad Subarjo, Ali Sastroamijoyo, Sunariyo, Iwa Kusuma Sumantri, dan Nazir Pamuncak di negeri Belanda semakin mempertebal keyakinan dr. Sutomo bahwa Budi Utomo harus menanggalkan baju jawanya dan bersifat nasional serta dengan tegas memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Pada Juni 1923, dr. Sutomo pulang ke Indonesia. Sebelum meninggalkan negeri Belanda, ia berpesan kepada teman-temannya yang masih tinggal di negeri Belanda, agar terus berjuang mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Setibanya di Indonesia, dr. Sutomo bertugas menjadi guru sekolah dasar NIAS (Nederlandse Indische Artsen School) di Surabaya. Selain menjadi guru, dr. Sutomo menjadi anggota Dewan Kota(Gemeenteraad) di Surabaya. Keanggotaannya dalam dewan ini didorong oleh keyakinannya bahwa melalui dewan ini suara rakyat makin cepat didengar. Keluhan rakyat dapat langsung disampaikan kepada pemerintah Hindia-Belanda.
Namun, harapan beliau itu ternyata tidak terwujud karena kedudukannya di dewan dalam pelaksanaannya tidak menguntungkan rakyat banyak. Kepentingan rakyata yang sejang awal diperjuangkan tidak dapat diharapkan lagi dalam dewan ini. oleh karena itu, bersama-sama dengan kawan-kawannya, yaitu R.M.H. Suyono, Sunyoto, dan Asmiwinangun, dr. Sutomo keluar dari Dewan Kota.
Dalam kedudukannya sebagai guru sekolah dasar NIAS di Surabaya, keluarga Sutomo memiliki kehidupan yang lebih baik dibandingkan ketika masih tinggal di Belanda. Dengan gaji yang cukup, suami-istri itu dapat hidup sejahtera. Ia tinggal di kota besar dan kemungkinan untuk berpindah-pindah sangat tipis.
Namun, kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama. Ny. Sutomo jadi sering sakit-sakitan karena tidak cocok dengan udara kota Surabaya yang panas. Lama-kelamaan, badan Ny. Sutomo semakin lemah dan kesehatannya semakin menurun. Akhirnya Ny. Sutomo meninggal dunia pada 17 Februari 1934.
Pergaulannya dengan para pemimpin PI saat masih belajar di negeri belanda telah menyadarkan dr. Sutomo bahwa Budi Utomo harus segera menanggalkan baju jawanya dan bersifat nasional serta dengan tegas memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Saat itu dr. Sutomo menganggap bahwa perkumpulan Budi Utomo perlu mengalami perubahan. Mementingkan pengjaran dan kebudayaan saja tidak cukup dalam pergerakan nasional. Apalagi anggotanya hanya terdiri atas orang yang berkebudayaan Jawa dan Madura. Karena sifat keanggotaannya tersebut Budi Utomo sudah tidak menarik perhatian masyarakat luas lagi. Akibatnya, lambat laun Budi Utomo kehilangan pengikut. Apalagi setelah munculnya perkumpulan yang anggotanya meliputi seluruh bangsa Indonesia, seperti Serikat Islam (SI) dan Muhammadiyah.
Oleh karena usulan perubahan yang diajukan kepada pengurus pusat Budi Utomo tidak mendapat respon yang positif, dr. Sutomo kemudian mendirikan perkumpulan lain. Perkumpulan itu didirikan pada 11 Juli 1924 dan diberi nama Indonesische Studieclub (IS). Perkumpulan ini berjuang untung membangkitkan semangat kaum terpelajar supaya memilki keinsyafan dan kewajiban terhadap masyarakat.
IS juga menerbitkan majalah bulanan dengan nama Indonesia Muda. dr. Sutomo ikut membimbing majalah ini dan setiap terbit memberikan tulisan yang berharga. Melalui majalah ini, dr. Sutomo menguraikan cita-citanya yaitu perjuangan untuk mencapai kemerdekaan.
Perasaan persatuan dikalangan pemimpin Indonesia makin lama makin kuat. dr. Sutomo termasuk salah seorang pemimpin yang dikehendaki persatuan itu. Sesudah dicetuskannya sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928, jiwa persatuan Indonesia makin mantap. Kongres para pemuda Indonesia di Jakarta mengakui lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.
Pada 16 Oktober 1930, Indonesische Studieclub (IS) berubah menjadi Partai Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). PBI betul-betul merupakan partai politik yang tetap diketuai dr. Sutomo. Anggotanya tidak hanya terbatas pada kaum pelajar, tapi terbuka untuk seluruh bangsa Indonesia. PBI berusaha menyempunakan derajat bangsa dan tanah air, berdasarkan kebangsaan Indonesia. PBI bekerja dengan cara mengadakan pidato-pidato dan kursus politik.
Pada 1931, PBI telah memiliki 15 cabang. Pengurus besarnya terdiri atas dr. Sutomo dan Mr. Soebroto. Setahun kemudian cabangnya sudah berjumlah 30 dengan anggota 2500 orang. Pada Juli 1933, PBI mengadakan rapat tahunan Rukun Tani yang pertama. Waktu itu Rukun Tani PBI memiliki 158 cabang dan beranggota 2000 orang. Pada tanggal 28 maret-2 April 1934 PBI mengadakan kongres ketiga. Waktu itu PBI telah memiliki 38 cabang.
Pada kongres 1935 di Surabaya, disetujui adanya fusi antara Budi Utomo dan PBI. Keputusan ini kemudian ditindaklanjuti dengan adanya penyelenggaraan kongres fusi pada 24-26 Desember 1935 di Solo. Partai baru hasil fusi itu diberi nama Partai Indonesia Raya (Parindra). Tujuan Parindra antara lain sebagai berikut:
a.          Memperkukuh semangat kebangsaan Indonesia.
b.         Menjalankan aksi politik untuk memperoleh hak dalam politik dan pemerintahan berdasarkan demokrasi dan nasionalisme.
c.          Memajukan kehidupan rakyat dalam hal ekonomi dan sosial.
Dalam perkembangannya partai baru ini dalam waktu singkat telah memiliki 53 cabang dengan anggota 2.425 orang di seluruh Indonesia. Parindra kemudian mengadakan rapat-rapat umum untuk mensosialisasikan tujuannya.
Pada Maret 1936, dr. Sutomo mengadakan perjalanan ke luar negeri. Negeri-negeri yang dikunjungi adalah Jepang, Malaka, India, Thailan, Mesir, Belanda, Inggris, Turki dan Palestina. Semua negeri yang telah dikunjungi dipelajari oleh dr. Sutomo dengan melihat segala sesuatu yang dapat dijadikan contoh bagi kemajuan Indonesia. Kisah perjalanan dr. Sutomo tersebut dipaparkan dalam harian nasional yang terbit dibawah asuhannya, yaitu Suara Umum dan Tempo di Surabaya, Pewarta Umum di Solo, serta Berita Umum dan mingguan Penyebar semangat di Surabaya. Buku tentang perjalanannya pernah pula diterbitkan, yaitu Puspita Manca Negara dan Melawat Ke Mesir.
Perjalanan dr. Sutomo ke luar negeri memakan waktu kurang lebih setahum lamanya. Setelah dr. Sutomo sampai di Indonesia, Parindra mengadakan kongres yang pertama di Jakarta pada 15 Mei 1937. Dalam kongres itu dr. Sutomo dipilih kembali menjadi ketua umum Parindra. Bersama beberapa pengurus pusat, dr. Sutomo kemudian mengadakan perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia untuk kepentingan partai dan kepentingan umum.
Akibat kesibukan dan pekerjaan yang terlampau berat, dr.Sutomo jatuh sakit dan semakin parah. Akhirnya pada 3 Mei 1938 dr. Sutomo menghembuskan nafas terakhirnya. Beliau dikebumikan di halaman Gedung Nasional Surabaya.
LAMPIRAN

TEXT PIDATO BUNG TOMO 10 NOVEMBER 1945
Bismillahirrahmanirrahim …
Merdeka !!!

Saoedara-saoedara ra’jat djelata di seloeroeh Indonesia, teroetama, saoedara-saoedara pendoedoek kota Soerabaja. Kita semoeanja telah mengetahoei bahwa hari ini tentara Inggris telah menjebarkan pamflet-pamflet jang memberikan soeatoeantjaman kepada kita semoea. Kita diwadjibkan oentoek dalam waktoe jang mereka tentoekan, menjerahkan sendjata-sendjata jang kita reboet dari tentara Djepang.

Mereka telah minta supaja kita datang pada mereka itoe dengan mengangkat tangan. Mereka telah minta supaja kita semoea datang kepada mereka itoe dengan membawa bendera poetih tanda menjerah kepada mereka.

Saoedara-saoedara, didalam pertempoeran-pertempoeran jang lampaoe, kita sekalian telah menundjukkan bahwa ra’jat Indonesia di Soerabaja, pemoeda-pemoeda jang berasal dari Maloekoe, pemoeda-pemoeda jang berasal dariSoelawesi, pemoeda-pemoeda jang berasal dari Poelaoe Bali, pemoeda-pemoeda jang berasal dari Kalimantan, pemoeda-pemoeda dari seloeroeh Soematera, pemoeda Atjeh, pemoeda Tapanoeli & seloeroeh pemoeda Indonesia jang ada diSoerabaja ini, didalam pasoekan-pasoekan mereka masing-masing dengan pasoekan-pasoekan ra’jat jang dibentuk di kampoeng-kampoeng, telah menoenjoekkan satoe pertahanan jang tidak bisa didjebol, telah menoenjoekkan satoe kekoeatan sehingga mereka itoe terdjepit di mana-mana.

Hanja karena taktik jang litjik daripada mereka itoe, saoedara-saoedara dengan mendatangkan presiden & pemimpin-pemimpin lainnja ke Soerabaja ini, maka kita toendoek oentoek menghentikan pertempoeran. Tetapi pada masa itoe mereka telah memperkoeat diri, dan setelah koeat sekarang inilah keadaannja.

Saoedara-saoedara, kita semuanja, kita bangsa Indonesia jang ada di Soerabaja ini akan menerima tantangan tentara Inggris ini. Dan kalaoe pimpinan tentara Inggrisjang ada di Soerabaja ingin mendengarkan djawaban ra’jat Indonesia, ingin mendengarkan djawaban seloeroeh pemoeda Indonesia jang ada di Soerabaja ini. Dengarkanlah ini hai tentara Inggris, ini djawaban ra’jat Soerabaja, ini djawaban pemoeda Indonesia kepada kaoe sekalian.

Hai tentara Inggris !

Kaoe menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera poetih takloek kepadamoe, menjuruh kita mengangkat tangan datang kepadamoe, kaoe menjoeroeh kita membawa sendjata-sendjata jang kita rampas dari Djepang oentoek diserahkan kepadamoe.

Toentoetan itoe walaoepoen kita tahoe bahwa kaoe sekalian akan mengantjam kita oentoek menggempoer kita dengan seloeroeh kekoeatan jang ada. Tetapi inilahdjawaban kita: Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin setjarik kain poetih mendjadi merah & putih, maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah kepada siapapoen djuga!

Saoedara-saoedara ra’jat Soerabaja, siaplah keadaan genting tetapi saja peringatkan sekali lagi, djangan moelai menembak, baroe kalaoe kita ditembak, maka kita akanganti menjerang mereka itu.

Kita toendjoekkan bahwa kita adalah benar-benar orang jang ingin merdeka. Dan oentoek kita, saoedara-saoedara, lebih baik kita hantjur leboer daripada tidak merdeka. Sembojan kita tetap: MERDEKA atau MATI.

Dan kita jakin, saoedara-saoedara, pada akhirnja pastilah kemenangan akan djatuh ke tangan kita sebab Allah selaloe berada di pihak jang benar, pertjajalah saoedara-saoedara, Toehan akan melindungi kita sekalian

Allahu Akbar..! Allahu Akbar..! Allahu Akbar…!
MERDEKA!!!


DAFTAR PUSTAKA

Saleh, B.A. 2007. dr. Sutomo. Bandung. CV Citra Praya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar